BERITA SUFI

Adab Bersama Allah dan RasulNya, Syeikh dan Sesama

Syeikh Ibnu ‘Ajibah Al-Hasany

Adab Bersama Allah dan RasulNya

Untuk kalangan awam:
Menjalankan perintah dan menjauhi larangan-laranganNya. Mengikuti Sunnah Nabi dan menjauhi ahli bid’ah.
Untuk kalangan Khawash:
Memperbanyak dzikir, muroqobah bagi kehadiranNya dan memprioritaskan Cinta kepadaNya dibanding lainnya. Syeikh Zaruq menambahkan, dengan: menjaga aturan, menepati janji dengan Allah dengan bergantung pada Allah, Ridlo dengan pemberianNya dan mencurahkan kemampuan jiwanya. Sedangkan adab bersama Rasulullah SAW, (bagi Khawash) adalah memprioritaskan cinta pada Rasul, mengikuti petunjuk, berakhlak dengan budi pekertinya.
Khawashul Khawash (Al-Arifun):
Senantiasa patuh dalam segala hal kepadaNya, mengagungkanNya untuk segalanya, dan melanggengkan ma’rifat dalam Tajally Jalal dan JamalNya. Sedangkan bersama Rasulullah saw.: Mewujudkan seluruh hakikat dirinya dalam cakupan Rasul saw, mengagungkan ummatnya dan senantiasa memandang cahayanya.

Adab Bersama Syeikh

Adab Dzohir:
Menjalankan perintahnya (walaupun bertentangan dengan keinginannya), menjauhi larangannya, walau pun tampaknya (secara lahiriyah) keliru.

Harus tenang , sopan dalam kharisma Syeikh ketika berada di hadapan Syeikh. Tidak tertawa juga tidak mengeraskan suaranya, tidak pula memulai pembicaraan sebelum ditanya. Atau memahami bahasa isyaratnya, dengan pemahaman jiwa. Tidak makan bersamanya (kecuali diajak), tidak makan di depannya, juga tidak tidur bersamanya, atau dekat dengannya.

Bergegas khidmah padanya secara material maupun jiwanya menurut kemampuannya. Khidmah ini bisa menjadi penentu Wushul kepada Allah.
Mengikuti majlisnya, atau minimal sering bertemu. Karena pertemuan ini bisa mempercepat wushul kepada Allah.

Adab Bathin:
Meyakini keparipurnaannya, dan meyakini kemursyidannya, karena Syeikh telah menyatu dalam syariat dan hakikat, jadzab dan suluk secara paripurna. Dan Syeikh senantiasa berada pada jejak-jejak Rasulullah SAW.

Mengangungkan dan menghormatinya baik secara ghaib maupun hadir, dengan tetap mencintai di hatinya sebagai bukti pembenaran jiwanya.

Melepaskan akal rasional, prestasi dan pristis serta kapasitas ilmiah dan amaliyahnya, kecuali yang tumbuh dari hadapan Syeikhnya. Sebagaimana dilakukan oleh Syekh Abul Hasan as-Syadzily ketika bertemu Syeikhnya. Siapa pun yang hendak menemui syeikhnya, hendaknya ia memandikan ilmu dan amalnya sebelum ia bertemu dengan syeikhnya, agar mendapatkan minuman yang murni dari lautan ilmunya yang mulia.

Tidak boleh pindah dari satu Syeikh ke Syeikh lain. Karena perpindahan ini sangat tercela menurut ahli thariqah. Namun, diperkenankan pindah dari Syeikh Ilmu Dzohir (syariat) ke Syeikh syariat lainnya.

Adab dengan Sesama

Menjaga kehormatan mereka, apakah ia hadir atau tidak. Tidak boleh saling mencela, saling menggunjing, tidak boleh meremehkan sesama. Karena itu tidak boleh mengatakan, “murid si syeikh Fulan lebih sempurna dibanding murid syeikh fulan.” Si Fulan ini ‘arif, si fulan itu tidak arif. Si Fulan kuat dan si fulan lemah. Karena ungkapan itu tergolong pergunjingan, dan jelas haram. Apalagi bagi menggunjing para auliya’. Jangan sampai si murid menggunjing Waliyullah.

Turut menasehati jika terjadi kesalahan dan kesesatan, membantu keperluan mereka, karena diantara mereka ada yang pemula, ada pula yang sudah sampai (wushul).

Saling bertawadlu’ antar mereka, membantu mereka untuk mudah mengingat Allah. Saling membantu secara maksimal. Pembantu seorang kaum itu berarti pemuka kaum itu. “Saling tolong menolonglah kamu atas dasar kebajikan dan ketaqwaan.” (Firman Allah).

Memandang dengan pandangan hati yang jernih pada mereka, tidak menganggap kurang pada sesama kaum Thariqat Sufi.

Jika ia melihat kekuarangan secara dzahir (tampak di permukaan) hendaknya sebagai mukmin ia menempuh rasa maaf, hingga tujuh puluh kali. Dan jika saja masih tampak kurang, hendaknya ia melihat cermin dirinya sendiri. Karena seorang mukmin adalah cermin bagi sahabatnya. Sabda Rasulullah saw, “Dua perilaku utama yang tak ada unggulannya dalam hal kebaikannya: Husnudzon kepada Allah dan Husnudzon kepada hamba Allah. Sebaliknya tidak ada yang lebih buruk dari dua perilaku: Su’udzon kepada Allah dan Su’udzon kepada hamba Allah.”

—(ooo)—

Kedudukan Para Wali

Rasulullah Saw. bersabda, “Sesungguhnya dari kalangan para hamba Allah ada segolongan orang yang bukan nabi dan bukan pula syuhada, namun para nabi dan para syuhada’ berebut dengan mereka dalam kedudukan terhadap Allah.”

Orang pun bertanya, “Wahai Rasulullah, ceritakan kepada kami siapa mereka itu dan apa amal perbuatan mereka. Sebab kami senang kepada mereka karena yang demikian itu.”

Nabi menjawab, “Mereka adalah kaum yang saling mencintai karena Allah, dengan Ruh Allah, tidak atas dasar pertalian keluarga antara sesama mereka dan tidak pula karena harta yang mereka saling beri. Demi Allah, wajah mereka adalah cahaya terang, dan mereka berada di atas cahaya terang. Mereka tidak merasa takut ketika semua orang merasa takut, dan mereka tidak merasa kuatir ketika semua orang merasa kuatir.” Dan beliau membaca ayat ini: Ketahuilah, sesungguhnya para wali Allah itu tiada rasa takut pada mereka dan tidak pula mereka merasa kuatir.
(Kitab Fath al-Bari, Syarh Sahih al-Bukhari)

Ciri-ciri Wali Badal

Wahai yang berhasrat memperoleh kedudukan para badal
Yang tanpa kesungguhan menjalani amalan-amalan.
Samasekali janganlah berharap, karena kau tidak berhak,
Sampai kau ikuti mereka dalam kiprah dan langkah
Diamlah dalam hatimu dan menyingkirlah dari setiap orang,
Yang mendekat, selain pencinta dan yang berwenang.
Jika kau malam berjaga dan lapar kau peroleh maqam mereka,
Dan kau temani mereka saat menetap dan bepergian.
Wisma kewalian terbagi-bagi biliknya dalam sekatan-sekatan,
Dan junjungan kita para badal berada di dalamnya.
Antara bilik-bilik diam sempurna dan pengasingan diri abadi,
Serta bilik-bilik lapar dan berjaga, suci luhur di hati.

Hakikat Karamah

Fatwa Syeikh Abul Hasan Asy Syadzili

Soal Karamah yang dilimpahkan oleh Allah kepada para auliya’ seringkali ditentang oleh mereka yang anti dunia sufi. Mereka menganggap Karamah itu seperti sihir, bahkan termasuk kategori khurafat dan zindiq. Padahal Karamah adalah bentuk lain dari sesuatu yang luar biasa, jika itu turun kepada Nabi dan Rasul disebut Mu’jizat, tetapi karena diturunkan kepada para wali maka disebut Karamah.
Pada era terakhir ini muncul di berbagai media massa sejumlah iklan yang menonjolkan istilah Karamah, misalnya, Ilmu Karomah, Kadigdayan Karamah, Karamah Sejati, dan sebagainya. Sebenarnya, istilah yang disebarluaskan dalam iklan tersebut sama sekali bukan masuk dalam istilah Karamah para sufi atau para wali. Karena itu perlu ekstra hati-hati untuk melihat dan memandang apakah keluarbiasaan seseorang itu bersifat Karamah atau sekadar Ilmu Jin, atau Ilmu Hikmah. Semuanya berbeda, walau pun punya kemiripan.

Banyak sekali kisah al-Qur’an yang mengilustrasikan Karamah itu sendiri. Misalnya kisah-kisah Maryam, Ibunda Nabiyullah Isa as, seperti dalam surat ali Imran 37: “Maka Tuhannya menerima (nazarnya) dengan penerimaan yang baik dan mendidiknya dengan pendidikannya yang baik, dan Allah menjadikan Zakaria pemeliharanya. Setiap Zakaria masuk untuk menemui Maryam di Mihrab ia dapati makanan di sisinya. Zakaria berkata, “Hai Maryam dari mana kamu memperoleh (makanan) ini?” Maryam menjawab, “Makanan itu dari sisi Allah.” Sesungguhnya Allah memberi rizki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa terhitung.”
Pada surat lain, misalnya Maryam 25 disebutkan, “Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu niscaya pohon itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu.”
*Sementara itu dalam hadits Nabi, soal Karamah itu juga dijelaskan, misalnya, riwayat Abu Hurairah dari Nabi SAW bersabda: “Tak ada bayi yang bicara kecuali tiga bayi: Isa bin Maryam, seorang bayi di zaman Juraij dan seorang lainnya….dst.” Juga kisah Ashabul Kahfi.
Sedangkan Amirul Mu’minin ra pernah berucap, “Wahai pasukan! Awas bukit…awas bukit…!” diucapkan di tengah-tengah Umar bin Khaththab sedang berkhutbah jum’at. Suara Umar ketika itu didengar oleh pasukan yang sedang bertempur sengit di medan laga saat itu.

Proses-proses munculnya Karamah adalah sebagaimana munculnya Mu’jizat. Bisa muncul karena doa seseorang, bisa karena muncul tiba-tiba secara luar biasa. Namun, hakikatnya Karamah itu, bukan saja sesuatu yang muncul dengan kedahsyatan. Seseorang bisa menahan kesabarannya, ketika harus marah besar, bisa disebut sebagai Karamah Allah atas orang itu.

Kebajikan-kebajikan dan barakah-barakah para sufi terhadap para pengikutnya juga bisa disebut Karamah. Namun munculnya Karamah itu bukan atas usaha seseorang yang disertai ilmu-ilmu tertentu atau dzikir tertentu supaya Karamah bisa datang. Dan ciri-ciri orang yang punya Karamah itu tentu berbeda dengan orang yang punya ilmu hikmah. Kalau Karamah mesti tumbuh dari para sufi, sementara ilmu hikmah muncul dari kalangan ahli hikmah, yaitu mereka yang menguasai ilmu-ilmu tertentu yang bisa mendatangkan keluarbiasaan. Derajatnya pasti jauh, dan Karamah berada di tempat yang sangat luhur.
Tetapi di dalam perjalanan sufi menuju kepada Allah, seseorang dilarang mencari Karamah. “Uthlubil istiqamah walaa tahlubil Karamah.” (Carilah istiqamah, dan jangan mencari Karamah). Karena hakikat Karamah itu adalah istiqamah itu sendiri. Orang yang bisa istiqamah akan mendapatkan Karamah, tetapi orang yang mencari Karamah belum tentu dapat Karamah sekaligus juga belum tentu bisa istiqamah.—(ooo)—

Hati

  1. Yang paling menakjubkan pada diri manusia adalah hatinya, padahal ia merupakan sumber hikmah sekaligus lawannya. Jika timbul harapan, ketamakan akan menundukkannya. Jika ketamakan telah berkobar, ia akan dibinasakan oleh kekikiran. Jika ia telah dikuasai oleh keputusasaan, penyesalan akan membunuhnya. Jika ditimpa kemarahan, menjadi jadilah marahnya. Jika sedang puas, ia lupa menjaganya. Jika dilanda ketakutan, dia disibukkan oleh kehati-hatian. jika sedang dalam kelapangan (kaya), bangkitlah kesombongannya. Jika mendapatkan harta, kekayaan menjadikannya berbuat sewenang wenang. Jika ditimpa kefakiran, ia tenggelarn dalam kesusahan. Jika laparnya menguat, kelemahan menjadikannya tidak mampu berdiri tegak. Dan jika terlampau kenyang, perutnya akan mengganggu kenyamanannya. Sesungguhnya setiap kekurangan akan membahayakan, dan setiap hal yang melampaui batas akan merusak dan membinasakan.
  1. Ada empat hal yang mematikan hati, yaitu: dosa yang bertumpuk-tumpuk, (mendengarkan) guyunon orang pandir, banyak bersikap kasar dengan kaum perempuan, dan duduk bersarna orang orang mati.
    Orang orang bertanya, “Siapakah orang orang mati itu, wahai Amirul Mu’minin?”

    Imam ‘Ali a.s. menjawab, “Yaitu setiap hamba yang hidup bergelimang dalam kemewahan.”

  1. Ketahuilah! Sesungguhnya di antara bencana ada kefakiran, yang lebih berat daripada kefakiran adalah penyakit badan, dan yang lebih berat daripada penyakit badan adalah penyakit hati. Ketahuilah! Sesungguhnya di antara kenikmatan adalah banyak harta, yang lebih utama daripada banyak harta adalah kesehatan badan, dan yang lebih utama daripada kesehatan badan adalah ketakwaan hati.
  1. Tanyailah hati tentang segala perkara karena sesungguhnya ia adalah saksi yang tidak akan menerima suap.
  1. Sebaik baik hati adalah yang paling ingat.
  1. Nyalakanlah hatimu dengan adab, sebagaimana nyalanya api dengan kayu bakar.
  1. Harta simpanan yang paling bermanfaat adalah cinta hati.
  1. Sesungguhnya hati memiliki keinginan, kepedulian, dan keengganan. Maka, datangilah ia dari arah kesenangan dan kepeduliannya. Sebab, jika hati itu dipaksakan, ia akan buta.
  1. Sesungguhnya hati mengalami kejemuan, sebagaimana jemunya badan. Maka, berikanlah padanya anekdot anekdot hikmah.
  1. Jika engkau ragu dalam hal kecintaan seseorang, maka tanyailah hatimu tentangnya.

—(ooo)—

Wara’

Nasehat-Nasehat Sulthonul Auliya’ Syeikh Abul Hasan asy-Syadzily

Thariqat ini bukanlah jalan kependetaan, tidak makan gandum dan kurma atau makanan yang direbus. Tetapi thariqat ini adalah kesabaran, keyakinan dan hidayah.
Allah swt. berfirman:
“Kami jadikan mereka para pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami, ketika mereka bersabar, dan mereka yakin dengan ayat-ayat Kami. Sesungguhnya Tuhanmu adalah yang memisahkan antara mereka di hari kiamat atas apa yang mereka perselisihkan.”
Inilah benteng yang mulia, bagi seorang yang mulia yang memiliki lima karakter: kesabaran, ketaqwaan, wara’, yakin dan ma’rifat.

Sabar ketika disakiti, takwa ketika tidak disakiti, wara’ terhadap apa yang keluar dan masuk dari sini (mulutnya), sementara dalam hati tidak bergejolak kecuali gejolak cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, yakin dalam rizki dan ma’rifat terhadap Allah swt. dimana ma’rifat itu tak akan menggelincirkan makhluk manapun. “Bersabarlah, karena akibat baik itu bagi orang-orang yang bertaqwa. Dan janganlah kamu gelisah atas (tindakan) mereka, dan jangan pula kamu merasa sumpek atas cobaan Allah, sesungguhnya Allah bersama-sama orang-orang yang bertaqwa dan orang-orang yang berbuat baik.”
Wara’ adalah adalah jalan terbaik bagi mereka yang ingin memetik warisannya dan menginginkan pahalanya.

Wara’ bagi mereka adalah berpangkal kepada upaya meraih dari Allah dan kepada Allah, berucap bersama Allah dan beramal bagi dan demi Allah, atas dasar kejelasan bukti dan ketajaman mata hati yang baik.

Mereka pada seluruh waktunya dan seluruh kondisi ruhaninya tidak ikut campur mengatur dan memilih, mereka tidak berkehendak dan tidak berfikir, tidak melihat dan tidak berbicara, tidak memukul, tidak berjalan dan tidak bergerak kecuali bersama Allah dan bagi Allah. Hanya saja mereka tidak tahu, ilmu telah mengusir mereka dari persoalan yang sebenarnya. Mereka berkumpul dalam integrasi nyata, dimana mereka tidak membeda-bedakan mana yang lebih tinggi, lebih rendah dan lebih rendah lagi.”

—(ooo)—

Faqd (Kehilangan Allah) Dan Wajd (Menemukan Allah)

Syeikh Abul Hasan asy Syadzili

Faqd dan Wajd senantiasa beriringan kepada kita seperti beriringnya malam dan siang. Lingkaran perkara ini ada empat hal:

Bersyukurlah terhadap nikmat-nikmat Allah apabila Anda menemukan Allah,

Ridhalah kepada Allah apabila Anda resah “kehilangan Allah”,
Curahkanlah pada karunia, dan jangan gelisah atas kesyukuran yang menyebabkan syukur menjadi beban bagi diri Anda, namu gelisahkan adanya amanah manakala amanah itu ditambah.

Pasrahkan wajahmu kepada Allah pada segala sesuatu yang Anda tuju (Maka apabila mereka bermaksud, maka ucapkanlah, aku pasrahkan wajahku hanya kepada Allah)

Kemudian:
Janganlah Anda menjadi hamba yang merekayasa
Janganlah menjadi orang zuhud yang menyimpang
Janganlah menjadi pendosa yang mengulang-ulang
Janganah menjadi ekstrim dengan sikap keras kepala.

Apabila Anda meraih empat kategori pertama, Anda telah masuk dalam pujian Allah swt, sebagimana firman-Nya: (Orang yang bersyukur atas nikmat-nikmat-Nya, diaman Allah membimbing dan menunjukkannya kepada jalan yang lurus.

—(ooo)—

IKHLAS

Fatwa Syeikh Abul Hasan Asy Syadzili

Ikhlas merupakan nur dari nur Allah swt. yang dititipkan Allah dalam hati hamba-Nya yang beriman, lalu Allah memotong dengan nur itu dari selain-Nya. Itulah prinsip ikhlas.

Kemudian ikhlas itu bercabang menjadi empat kehendak:
1. Kehendak ikhlas dalam beramal untuk mengagungkan Allah swt.
2. Kehendak ikhlas untuk mengagungkan perintah Allah swt.
3. Kehendak ikhlas untuk meraih balasan dan pahala
4. Kehendak ikhlas dalam membersihkan dari cacat-cacat yang tidak bisa dihalau, selain tindakan tersebut.

Semua kehendak tersebut kita lakukan. Barangsiapa berpegang salah satu dari kategori di atas, ia disebut orang yang ikhlas (mukhlish) yang mendapatkan derajat di sisi Allah swt. Sebagaimana firman-Nya:
“Allah Maha Melihat atas apa yang mereka kerjakan.”
Untuk itulah Allah swt. menceritakan, sebagaimana dikisahkan Jibril kepada Rasulullah saw. “Ikhlas itu merupakan rahasia dari rahasia-Ku, yang Kutitipkan dalam hati orang yang Aku cintai dari hamba-hamba-Ku.”

Apabila engkau ingin selamat dari tipudaya, maka ikhlaslah dalam beramal semata karena Allah swt. disertai ilmu pengetahuan. Dan janganlah engkau rela sedikitpun terhadap nafsumu. Aku melihat seakan-akan aku thawaf di Ka’bah, untuk mencari ikhlas dalam diriku. Aku sedang menyelidiku ikhlas tersebut dalam rahasia batinku. Tiba-tiba ada suara yang tertuju pada, “Sudah berapa kali engkau ragu-ragu bersama-sama orang yang ragu. Sedangkan Aku adalah Maha mendengar, lagi Maha Dekat, Maha Mengetahui lagi Maha Mengawasi? Pengenalanku mencukupkan dirimu dari ilmu generasi awal dan akhir, selain ilmu Rasul dan para Nabi.”

Ikhlas itu ada beberapa kategori:
Ikhlas dari seorang yang mukhlis, maka ia ikhlas bersama-Nya dan ikhlas bagi-Nya.

Dalam hal ini terbagi dua:
Ikhlasnya kaum “Shadiqin” dan ikhlasnya kaum “Shiddiqin”. Ikhlasnya Shadiqin semata untuk mendapatkan balasan dan pahala, sedangkan ikhlasnya Shiddiqin, semata untuk memandang Wujud Al-Haq, sebagai tujuan, bukan tertuju pada sesuatu di sisi-Nya.

Maka barang siapa disinggahi hatinya oleh ikhlas yang sedemikian rupa itu, maka ia dikategorikan orang yang dikecualikan dari ucapan musuh-Nya, dengan firman-Nya: “…dan pasti akan menyesatkan mereka semua, kesuali hamba-hamba-Mu yang ikhlas.” (Q.s. Al-Hijr: 39-40)

—(ooo)—

Nasehat-Nasehat Sulthonul Auliya’ Syeikh Abul Hasan asy-Syadzily

Menyikapi Beban Dunia
Syeikh Abul Abbas al-Mursy bercerita:
Suatu hari aku dan Syaikh Abul Hasan asy-Syadzily melakukan satu perjalanan dan kami menuju kota Iskandariyyah, dari Marokko. Aku telah merasakan kesulitan sehingga aku begitu lemah akibat beban yang saya bawa. Syeikh tiba-tiba berkata:
“Ahmad!”
“Ya, tuanku”
“Adam ‘alaihissalam telah diciptakan oleh Allah dengan tanganNya, dan para malaikat telah bersujud kepadanya. Dia telah tinggal di syurga selama setengah hari (yakni lima ratus tahun), kemudian dia telah diturunkan ke muka bumi. Demi Allah, dia tidak diturunkan oleh Allah ke atas bumi untuk merendahkan derajatnya, tetapi justru untuk menyempurnakannya. Sesungguhnya, dia diturunkan ke atas bumi untuk dijadikan seorang khalifah, seperti firmanNya: “Aku akan melantik seorang khalifah di atas bumi.”

Allah tidak mengatakan (pelantikan Adam ‘alaihissalam itu) di syurga ataupun di langit. Karena itu, turunnya ke bumi adalah turun dengan kemuliaan, bukannya turun dengan kehinaan. Sesungguhnya, dia telah menyembah Allah di syurga melalui ibadah ma’rifat (ubudiyatut-ta’rif), maka telah diturunkannya ke bumi agar dia menyembahNya dengan ibadah Taklif (mengemban tugas, ‘ubudiyatut-taklif). Apabila telah terhimpun dua sifat kehambaan (ubudiyatain), barulah dia layak dilantik sebagai khalifah.
Dan engkau pun memiliki bagian dari Nabi Adam ‘alaihissalam. Engkau bermula di Langit ar Ruh, di dalam Syurga al Ma’arif. Maka, diturunkannya dirimu ke atas Bumi an Nafs, agar engkau menyembahNya dengan at taklif. Agar setelah berhimpun pada dirimu kedua sifat kehambaan ini, barulah engkau layak dilantik sebagai seorang khalifah.”

Makan yang Enak, Tidur yang Nyenyak
Makanlah makanan yang paling enak, minumlah minuman yang paling segar, tidurlah di atas hamparan yang paling empuk, dan pakailah pakaian yang paling halus. Maka, jika seseorang dari kalian berbuat demikian, lalu dia mengucapkan alhamdulillah, niscaya seluruh anggota tubuh badannya juga turut mengucapkan syukur kepada Allah.
Berbeda jika seseorang itu hanya makan roti dengan garam, memakai pakaian yang kasar, tidur di atas tanah (atau lantai), dan minum air panas, lalu mengucapkan alhamdulillah. Sebenarnya, di dalam ucapan itu, ada rasa keluh kesah dan tidak puas hati dengan takdir Allah Ta’ala.
Padahal ia mengetahui bahwa berkeluh kesah dan tidak merasa puas hati dengan takdir Allah itu lebih besar dosanya daripada mereka yang bersenang-senang dengan kepentingan duniawi.
Mereka yang bersenang senang dengan kepentingan duniawi itu masih berada di dalam batas melakukan sesuatu yang telah dihalalkan oleh Allah. Sedangkan orang yang berkeluh kesah dan tidak rela (dengan takdir Allah), benar-benar telah melakukan sesuatu yang telah dilarang oleh Allah.

Wirid yang Sampai Kepada Allah
Abul Abbas Al-Mursy bercerita, “Aku bertanya kepada guruku berkenaan wirid orang orang yang telah benar-benar sampai (wushul) kepada Allah.”
Beliau berkata, “Dengan cara menggugurkan hawa nafsu dan mencintai Tuhannya. Dan teguh memegang kecintaan itu, dibanding mencintai yang lain daripada Allah.”
“Siapa yang ingin bersahabat dengan Allah, maka seharusnya ia memulai dengan meninggalkan segala syahwat diri (kepentingan pribadi). Sang hamba tidak akan sampai kepada Allah, jika masih ada pada dirinya segala kesenangan dirinya. Dan tidak juga sampai, jika dalam dirinya ada segala keinginan.”—(ooo)—

Wasiat-wasiat Ibnu `Arabi

Kebajikan Diri dan Kebajikan Sosial

Hendaklah engkau memperbanyak sujud, dan hendaklah engkau selalu bersama jamaah”.
Jika engkau mampu untuk tinggal di kota Syam, lakukanlah. Sebab Rasulullah SAW pernah bersabda : “Hendaklah engkau tinggal di kota Syam, karena kota itu adalah pilihan Allah di bumi-Nya. Kota itulah yang dipilih-Nya bagi hamba-hamba-Nya”.
Hindarilah berbicara dengan prasangka, karena prasangka adalah sebesar-besar dusta pembicaraan. Hindarilah HASAD.
Janganlah engkau duduk dijalanan, dan jangan engkau nikahi biduan perempuan.
Jika engkau melakukan jual beli, janganlah terlalu banyak mengambil keuntungan dari barang dagangan.
Berhati-hatilah engkau, agar jangan menguasai salah satu urusan kaum muslim.

Jika engkau dipercaya untuk itu, janganlah engkau putuskan hukum di antara dua orang dalam keadaan marah, jangan pula dalam keadaan menahan keinginan buang hajat atau dalam keadaan menderita sulit buang hajat, ketika lapar dan dalam keadaan tidak tenang.
Berlaku adillah kepada kedua kakimu ketika memakai sandal atau ketika engkau meletakan salah satu kakimu di atas yang lain.
Dan jika engkau menunggangi kendaraan, janganlah meringankan kaki yang satu dan memberatkan kaki yang lain. Ketahuilah, bahwa anggota tubuhmu berada dalam penjagaanmu.

Karena itu, berlaku adillah kepadanya, karena Allah memerintahkanmu untuk berlaku adil dalam segala sesuatu yang berada dalam tanggung jawabmu.
Jika engkau seorang budak, janganlah katakan kepada tuanmu “Rabbi”, tetapi katakanlah “Sayyidi”.
Jika engkau memiliki budak laki-laki atau perempuan, janganlah engkau katakan “Abdi” dan “Amati” (budakku), tetapi katakanlah “Ghulaami” dan “Jaaratii”.
Janganlah engkau katakan kepada seseorang “Mawlaaya”, karena “Mawlaa” adalah Allah.

Dan engkau dilarang untuk mengatakan “khabutsat nafsii” (jeleknya diriku), tetapi katakanlah “laqarat nafsii” (tercelanya diriku).
Jika tetanggamu meminta izin kepadamu untuk menempelkan sesuatu pada dinding rumahmu, janganlah engkau melarangnya.
Janganlah engkau melihat aurat seseorang, dan juga isi rumahnya, kecuali dengan izinnya.
Janganlah menjadikan sahabat, kecuali orang yang persahabatannya medatangkan keutamaan dalam agama dan keimananmu.
Persembahkanlah kebaikanmu kepada setiap orang yang bertakwa.
Janganlah engkau berikan kepada orang yang durhaka sesuatu yang dapat menambah kedurhakaannya.

Jika engkau mempunyai istri dan engkau memukulnya karena sesuatu yang datang darinya, maka janganlah engkau menggaulinya pada saat itu.
Berhati-hatilah engkau agar jangan meminta (melihat) wajah Allah, kecuali meminta kepada-Nya melihat surga-Nya dan malaikat-Nya.
Dan janganlah engkau meminta sesuatu dari kekayaan dunia.
Janganlah engkau melamar perempuan yang sudah dilamar oleh saudaramu, dan janganlah menawar suatu barang yang telah ditawar orang lain sampai ia pergi meninggalkannya.
Jika engkau bertamu kepada suatu kaum, janganlah berpuasa kecuali dengan izin mereka.—(ooo)—

Ta’at

Janganlah menunda ketaatan pada waktunya, hingga ia kehilangan taat pada waktunya, atau karena ketaatan lain yang sepadan, yang turut menundanya, dengan alasan sebagai tebusan atas waktu yang yang ditentukan tersebut.

Sebab masing-masing waktu memiliki bagian dalam ubudiyah yang telah ditentukan Allah swt. pada diri Anda melalui aturan Rububiyah.
Saya pernah berkata pada diri sendiri, “Abu Bakar ash-Shiddiq menunda witir hingga akhir malam,” maka tiba-tiba muncul suara dalam tidur, “Tindakan itu adalah kebiasaan yang berlaku dan sunnah yang ditetapkan, dimana Allah telah menetapkannya atas kebiasaan tersebut disertai pelestariannya. Lalu bagaimana dengan Anda (melakukan tindakan seperti itu) sementara ada kecenderungan untuk bersantai-santai dan menikmati keinginan nafsu? — Sungguh jauh bedanya — Anda pun cenderung untuk masuk dalam berbagai penyimpangan; alpa dari musyahadah? — Sungguh jauh bedanya –.” Lalu akhirnya kukatakan pada diri sendiri: “Apakah ini aturan atau rintangan?” Lalu suara itu berkata lagi, “Suatu aturan yang relevan dengan etika dan peringatan bagi kealpaan. Itu merupakan wasiat bagi diri Anda, dan wasiat dari Anda untuk hamba-hamba-Nya yang shalih. Ingatkan akan hal itu, dan Anda jangan tergolong orang-orang yang alpa.”

Pernah, suatu kali muncul pertanyaan padaku. “Apa yang bisa engkau ambil faedah ketika taat kepada-Ku, dan apa pula ketika maksiat kepada-Ku?” Lalu kujawab, “Aku mengambil tambahan ilmu dan cahaya yang memancar serta kecintaan, dengan adanya kepatuhan. Dan aku mengambil faedah maksiat berupa rasa gelisah, susah, takut dan harapan.”

Dalam salah satu hadis qudsi disebutkan: “Barang siapa taat kepada-Ku dalam segala hal, maka Aku melimpahkan ketaatan padanya dalam segala hal.”

Seakan-akan Dia berfirman: “Barang siapa taat dalam segala hal melalui hijrahnya dalam segala hal, maka Aku melimpahkan ketaatan padanya dalam segala hal, dengan cara Aku tampakkan Diri-Ku padanya di dalam segala sesuatu, sehingga seakan-akan ia melihat-Ku dalam segala yang ada.” Inilah bentuk keharusan orang-orang saleh yang awam.
Sedangkan bagi orang khawash, ketaatan mereka adalah terputus dari mereka (makhluk) dengan menghadap pada segala yang ada disebabkan karena kebaikan Kehendak Tuhannya dalam segala yang ada ini. Seakan-akan Dia berfirman: “Barang siapa taat kepada-Ku bersama segala yang ada dengan menghadapkan dirinya pada segala sesuatu, karena kebaikan Kehendak-Ku pada segala sesuatu, maka Aku limpahkan ketaatan padanya dalam sesuatu itu, dengan cara Aku Tampakkan Diri-Ku padanya di sisi segala yang ada, sehingga ia melihat-Ku lebih dekat kepadanya dibanding segala yang ada ini.”

Hendaknya engkau sekalian menetapi prilaku lima kesucian. Adapun lima kesucian dalam tindakan antara lain:

  1. Bebas diri dari (merasa) berdaya dan berupaya dalam segala situasi,
  2. Konsentrasi-melalui akal Anda-pada makna-makna yang tegak dengan hati.
  3. Keluarkan dirimu dari kedua tindakan tersebut menuju (hanya) kepada Tuhan
  4. Dan ingatlah Allah, maka Allah akan menjagamu, dan ingatlah Allah, maka Allah akan engkau temukan di depanmu.
  5. Sembahlah Allah melaui tindakan itu dan jadilah engkau tergolong orang-orang yang bersyukur

Sementara lima kesucian dalam ucapan adalah: Subahanallah, wal-Hamdulillah, walLaahu Akbar, walaa Haula walaa Quwwata illa bilLaah.
Termasuk lima tindakan suci adalah shalat lima waktu, dan pembebasan diri dari upaya dan daya kekuatan, yakni ucapan Anda: Laa Haula walaa Quwwata illa BilLaah.

—(ooo)—

Akhirat Pun Jadi Hijab

Mengikuti Pengajian Syeikh Abdul Qadir al-Jilany
Hari Selasa Sore Tanggal 15 Dzul Qa’dah, 545 H. di Madrasahnya

Dunia itu hijab bagi akhirat. Dan Akhirat itu hijab bagi Allah SWT, Tuhannya dunia dan akhirat. Semua makhluk adalah hijab dari Sang Khaliq, sepanjang hati anda berdiri menyertai makhluk dan bersamanya, berarti makhluk telah menjadi hijab antara dirimu dengan Allah SWT.

Karena itu jangan berpaling pada makhluk, kepada dunia, dan kepada segala hal selain Allah Azza wa-Jalla dalam langkah rahasia hatimu dan kebenaran zuhudmu pada selain DiriNya. Anda harus telanjang dari semuanya, lebur padaNya, mohon pertolongan padaNya, dengan senantiasa memandang aturan yang berlaku dariNya padamu, pengetahuanNya untukMu.

Bila telah nyata wushul hatimu dan sirrMu, anda masuk di hadiratNya, dengan kedekatanmu, rasa rendahmu, rasa malumu, kemudian Allah melimpahkan perkara di hatimu dan memerintahkan perkara itu sekaligus menjadikan dirimu sebagai dokter, pada saat itulah anda bisa berpaling pada makhluk dan dunia. Maka keberpalinganmu pada mereka merupakan nikmat yang dilimpahkan untuk mereka. Anda bisa berinteraksi dengan dunia, bekerjasama dengan mereka, untuk kepentingan fakir miskin, sedangkan bagianmu hanyalah dari sesuatu yang cukup untuk bekal ibadah dan keselamatanmu.
Siapa pun yang bersama dunia seperti itu, dunia tidak akan membahayakannya, tetapi justru ia selamat dan bersih dari kotoran dunia.
Kewalian itu memiliki tanda pada wajah-wajah para wali, yang hanya diketahui oleh ahli firasat ruhani. Isyarat yang berbicara dengan kewalian, bukan dengan lisan.

Siapa yang menghendaki kemenangan, hendaknya mencurahkan jiwa dan hartanya bagi Allah Azza wa-Jalla, kemudian mengeluarkan makhluk dan dunia dari hatinya, seperti keluarnya rambut dari susu, begitu juga akhirat serta segala hal selain Allah.

Disinilah disebut sebagai upaya memberikan hak sesuai dengan haknya di hadapanNya. Anda makan dari bagian dunia dan akhiratmu sedangkan anda ada di depan pintuNya, dunia dan akhirat menjadi pembantumu.
Jangan sampai anda memakan bagian dunia sementara dunia duduk dan anda berdiri, namun semuanya ada di pintu Sang Raja, anda duduk bersimpuh dan dunia tegak berdiri. Semuanya berbakti kepada yang bersimpuh di pintu Allah swt, merendahkan diri pada orang yang teguh di pintuNya. Semuanya, berada dalam pijakan kecukupan dan kemudiaan Al-Haq Azza wa-Jalla.
Kaum Sufi senantiasa rela pada Allah Azza wa-Jalla dengan habisnya dunia di tangannya, rela pula dengan akhirat, agar akhirat mendekatkan dirinya kepadaNya. Tidak ada yang dicari dari Allah swt, kecuali hanya Allah Azza wa-Jalla semata. Karena mereka tahu bahwa dunia itu sudah dibagi, lalu mereka meninggalkan ambisi duniawi, mereka tidak menghendaki selain Wajah Allah Azza wa-Jalla.

Mereka juga tahu bahwa derajat akhirat dan kenikmatan syurga itu sudah dibagi pasti, mereka pun meninggalkan ambisi dan beramal demi akhirat dan syurga, sama sekali tidak berharap kecuali hanya Wajah Ilahi Azza wa-Jalla.
Ketika mereka masuk syurga, mereka tidak mau membuka matanya sampai mereka melihat Cahaya Wajah Allah swt. Ia disenangkan pada nuansa Tajrid dan Tafrid (nuansa yang berada dalam kesendirian bersama Allah Ta’ala). Siapa yang hatinya tidak sunyi dari makhluk dan sebab akibat dunia, ia tidak akan mampu menempuh perjalanan agung para Nabi, Shiddiqun dan Sholihun, sampai dirinya menerima sedikit dari dunia dan menerima banyak dari tangan takdirNya. Jangan berambisi mencari yang banyak dari dunia, anda malah akan hancur karenanya, tetapi jika Allah mendatangkan yang banyak dari dunia kepadamu tanpa ambisimu, berarti anda telah terjaga dalam dunia.
Dari Hasan al-Bashry ra, beliau mengatakan: “Nasehati manusia dengan pengetahuan dan ucapanmu, wahai para penasehat, nasehati manusia dengan kejernihan rahasia hatimu dan ketaqwaan hatimu. Jangan engkau nasehati mereka dengan kebaikan lahiriyah tampilanmu sementara rahasia hatimu buruk.”

Allah Azza wa-Jalla telah memastikan iman dalam hati orang-orang beriman sebelum mereka diciptakan. Itu di zaman Azali, dan tidak boleh berpegang pada hal-hal yang dulu, tetapi harus berjuang dan mencurahkan jiwa untuk meraih iman dan keyakinan serta meraih nafas-nafas Ilahi Azza -Wajalla, tetap teguh di pintuNya. Hati kita tetap berjuang agar iman kita teguh tetap. Jangan beranggapan, “Siapa tahu Allah swt memberikan limpahan iman tanpa kita bersusah payah.” Apakah anda tidak malu memberikan sifat pada Allah dengan sifat yang anda rekayasa sendiri untuk diriNya? Apa yang kalian upayakan dibanding jerih payah para Sahabat dan Tabi’in? Tuhan Azza wa-Jalla di atas Arasy sebagaimana dikatakan, bahwa Dia tanpa ada serupa, tanpa ada rekayasa, tanpa ada nuansa fisik.

Ya Allah berilah kami rizki dan berilah kami pertolongan, dan jauhkan kami dari rekayasa bid’ah, dan berilah kami di dunia kebajikan, dan di akhirat kebajikan (pula), dan lindungi kami dari azab neraka.

—(ooo)—

Ma’rifat, Sifat-sifat Orang Arif dan Hakikatnya

Pengajian Syeikh Abu Nashr as-Sarraj”

Abu Said al Kharraz rahimahullah pernah ditanya tentang ma’rifat. Lalu ia menjawab, “Ma’rifat itu datang lewat dua sisi: Pertama, dari anugerah Kedermawanan Allah langsung, dan kedua, dari mengerahkan segala kemampuan atau yang lebih dikenal sebagai usaha (kasab) seorang hamba.”
Sementara itu Abu Turab an-Nakhsyabi – rahimahullah – ditanya tentang sifat orang yang arif, lalu ia menjawab, “Orang arif adalah orang yang tidak terkotori oleh apa saja, sementara segala sesuatu akan menjadi jernih karenanya.”

Ahmad bin ‘Atha’ – rahimahullah – berkata, “Ma’rifat itu ada dua: Ma’rifat al-Haq dan ma’rifat hakikat. Adapun ma’rifat al-Haq adalah ma’rifat (mengetahui) Wahdaniyyah-Nya melalui Nama-nama dan Sifat-sifat yang ditampakkan pada makhluk-Nya. Sedangkan ma’rifat hakikat, tak ada jalan untuk menuju ke sana. Sebab tidak memungkinkannya Sifat Shamadiyyah (Keabadian dan Tempat ketergantungan makhluk)-Nya, dan mengaktualisasikan Rububiyyah (Ketuhanan)-Nya. Karena Allah telah berfirman:
“Sedangkan ilmu mereka tidak dapat meliputi (memahami secara detail) Ilmu-Nya”.” (Q.s. Thaha: 110).

Syekh Abu Nashr as-Sarraj – rahimahullah – menjelaskan:
Makna ucapan Ahmad bin’Atha’, “Tak ada jalan menuju ke sana,” yakni ma’rifat (mengetahui) secara hakiki. Sebab Allah telah menampakkan Nama-nama dan Sifat-sifat-Nya kepada makhluk-Nya, dimana Dia tahu bahwa itulah kadar kemampuan mereka. Sebab untuk tahu dan ma’rifat secara hakiki tidak akan mampu dilakukan oleh makhluk. Bahkan hanya sebesar atom pun dari ma’rifat-Nya tidak akan sanggup dicapai oleh makhluk. Sebab alam dengan apa yang ada di dalamnya akan lenyap ketika bagian terkecil dari awal apa yang muncul dari Kekuasaan Keagungan-Nya. Lalu siapa yang sanggup ma’rifat (mengetahui) Dzat Yang salah satu dari Sifat-sifat-Nya sebagaimana itu?
Oleh karenanya ada orang berkata, “Tak ada selain Dia yang sanggup mengetahui-Nya, dan tak ada yang sanggup mencintai-Nya selain Dia sendiri. Sebab Kemahaagungan dan Keabadian (ash-Shamadiyyah) tak mungkin dapat dipahami secara detail. Allah swt. berfirman:
“Dan mereka tidak mengetahui apa apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya”.” (Q.s. al-Baqarah: 255).

Sejalan dengan makna ini, ada riwayat dari Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. yang pernah berkata, “Mahasuci Dzat Yang tidak membuka jalan untuk ma’rifat-Nya kecuali dengan menjadikan seseorang tidak sanggup mengetahui-Nya.”
Asy-Syibli – rahimahullah – pernah ditanya, “Kapan seorang arif berada dalam tempat kesaksian al-Haq?”
Ia menjawab, “Tatkala Dzat Yang menyaksikan tampak, dan bukti-bukti fenomena alam yang menjadi saksi telah fana’ (sirna) indera dan perasaan pun menjadi hilang.”
“Apa awal dari masalah ini dan apa pula akhirnya?”
Ia menjawab, “Awalnya adalah ma’rifat dan ujungnya adalah mentauhidkan-Nya.”

Ia melanjutkan, “Salah satu dari tanda ma’rifat adalah melihat dirinya berada dalam ‘Genggaman’ Dzat Yang Mahaagung, dan segala perlakuan Kekuasaan Allah berlangsung menguasai dirinya. Dan ciri lain dari ma’rifat adalah rasa cinta (al-Mahabbah). Sebab orang yang ma’rifat dengan-Nya tentu akan mencintai-Nya.”
Abu Nazid Thaifur bin Isa al-Bisthami – rahimahullah – pernah ditanya tentang sifat orang arif, lalu ia menjawab, “Warna air itu sangat dipengaruhi oleh warna tempat (wadah) yang ditempatinya. Jika air itu anda tuangkan ke dalam tempat yang berwarna putih maka anda akan menduganya berwarna putih. Jika Anda tuangkan ke dalam tempat yang berwarna hitam, maka Anda akan menduganya berwarna hitam. Dan demikian pula jika Anda tuangkan ke dalam tempat yang berwarna kuning dan merah, ia akan selalu diubah oleh berbagai kondisi. Sementara itu yang mengendalikan berbagai kondisi spiritual adalah Dzat Yang memiliki dan menguasainya.”
Syekh Abu Nashr as-Sarraj – rahimahullah – menjelaskannya: Artinya, – hanya Allah Yang Mahatahu – bahwa kadar kejernihan air itu akan sangat bergantung pada sifat dan warna tempat (wadah) yang ditempatinya. Akan tetapi warna benda yang ditempatinya tidak akan pernah berhasil mengubah kejernihan dan kondisi asli air itu. Orang yang melihatnya mungkin mengira, bahwa air itu berwarna putih atau hitam, padahal air yang ada di dalam tempat tersebut tetap satu makna yang sesuai dengan aslinya. Demikian pula orang yang arif dan sifatnya ketika “bersama” Allah Azza wa jalla dalam segala hal yang diubah oleh berbagai kondisi spiritual, maka rahasia hati nuraninya “bersama” Allah adalah dalam satu makna.
Al-junaid – rahimahullah – pernah ditanya tentang rasionalitas orang-orang arif (al-‘arifin). Kemudian ia menjawab, “Mereka lenyap dari kungkungan sifat-sifat yang diberikan oleh orang-orang yang memberi sifat.”
Sebagian dari para tokoh Sufi ditanya tentang ma’rifat. Lalu ia menjawab, “Adalah kemampuan hati nurani untuk melihat kelembutan-kelembutan apa yang diberitahukan-Nya, karena ia telah menauhidkan-Nya.”
Al-Junaid – rahimahullah – ditanya, “Wahai Abu al-Qasim, (nama lain dari panggilan al-junaid, pent.). apa kebutuhan orang-orang arif kepada Allah?”
Ia menjawab, “Kebutuhan mereka kepada-Nya adalah perlindungan dan pemeliharaan-Nya pada mereka.”

Muhammad bin al-Mufadhdhal as-Samarqandi – rahimahullah – berkata, “Akan tetapi mereka tidak membutuhkan apa-apa dan tidak ingin memilih apa pun. Sebab tanpa membutuhkan dan memilih, mereka telah memperoleh apa yang semestinya mereka peroleh. Karena apa yang bisa dilakukan orang-orang arif adalah berkat Dzat Yang mewujudkan mereka, kekal dan fananya juga berkat Dzat Yang mewujudkannya.”
Muhammad bin al-Mufadhdhal juga pernah ditanya, ” Apa yang dibutuhkan orang-orang arif?”
Ia menjawabnya, “Mereka membutuhkan moral (akhlak) yang dengannya semua kebaikan bisa sempurna, dan ketika moral tersebut hilang, maka segala kejelekan akan menjadi jelek seluruhnya. Akhlak itu adalah istiqamah.”

Yahya bin Mu’adz – rahimahullah – ditanya tentang sifat orang arif, maka ia menjawab, “Ia bisa masuk di kalangan orang banyak, namun ia terpisah dengan mereka.”
Dalam kesempatan lain ia ditanya lagi tentang orang yang arif, maka ia menjawab, “Ialah seorang hamba yang ada (di tengah-tengah orang banyak) lalu ia terpisah dengan mereka.”
Abu al-Husain an-Nuri – rahimahullah – ditanya, “Bagaimana Dia tidak bisa dipahami dengan akal, sementara Dia tidak dapat diketahui kecuali dengan akal”
Ia menjawab, “Bagaimana sesuatu yang memiliki batas bisa memahami Dzat Yang tanpa batas, atau bagaimana sesuatu yang memiliki kekurangan bisa memahami Dzat Yang tidak memiliki kekurangan dan cacat sama sekali, atau bagaimana seorang bisa membayangkan kondisi bagaimana terhadap Dzat Yang membuat kemampuan imajinasi itu sendiri, atau bagaimana orang bisa menentukan ‘di mana’ terhadap Dzat Yang menentukan ruang dan tempat itu sendiri. Demikian pula Yang menjadikan yang awal dan mengakhirkan yang terakhir, sehingga Dia disebut Yang Pertama dan Terakhir. Andaikan Dia tidak mengawalkan yang awal dan mengakhirkan yang terakhir tentu tidak bisa diketahui mana yang pertama dan mana yang terakhir.”

Kemudian ia melanjutkannya, “Al-Azzaliyyah pada hakikatnya hanyalah al-Abadiyyah (Keabadian), di mana antara keduanya tidak ada pembatas apa pun. Sebagaimana Awwaliyyah (awal) adalah juga Akhiriyyah (akhir) dan akhir adalah juga awal. Demikian pula lahir dan batin, hanya saja suatu saat Dia menghilangkan Anda dan suatu saat menghadirkan Anda dengan tujuan untuk memperbarui kelezatan dan melihat penghambaan (‘ubudiyyah). Sebab orang yang mengetahui-Nya melalui penciptaan makhluk-Nya, ia tidak akan mengetahui-Nya secara langsung. Sebab penciptaan makhluk-Nya berada dalam makna firman-Nya, ‘Kun’ (wujudlah). Sementara mengetahui secara langsung adalah menampakkan kehormatan, dan sama sekali tidak ada kerendahan.”

Saya (Syekh Abu Nashr as Sarrai) katakan: Makna dan ucapan an-Nuri, “mengetahui-Nya secara langsung,” ialah langsung dengan yakin dan kesaksian hati nurani akan hakikat-hakikat keimanan tentang hal-hal yang gaib.
Syekh Abu Nashr as-Sarraj – rahimahullah – melanjutkan penjelasannya: Makna dari apa yang diisyaratkan tersebut – hanya Allah Yang Mahatahu – bahwa menentukan dengan waktu dan perubahan itu tidak layak bagi Allah swt. Maka Dia terhadap apa yang telah terjadi sama seperti pada apa yang bakal terjadi. Pada apa yang telah Dia firmankan sama seperti pada apa yang bakal Dia firmankan. Sesuatu yang dekat menurut Dia sama seperti yang jauh, begitu sebaliknya, sesuatu yang jauh sama seperti yang dekat. Sedangkan perbedaan hanya akan terjadi bagi makhluk dari sudut penciptaan dan corak dalam masalah dekat dan jauh, benci dan senang (ridha), yang semua itu adalah sifat makhluk, dan bukan salah satu dari Sifat-sifat al-Haq swt. – dan hanya Allah Yang Mahatahu-.

Ahmad bin Atha’ – rahimahullah – pernah mengemukakan sebuah ungkapan tentang ma’rifat. Dimana hal ini konon juga diceritakan dari Abu Bakar al-Wasithi. Akan tetapi yang benar adalah ungkapan Ahmad bin ‘Atha’, “Segala sesuatu yang dianggap jelek itu akan menjadi jelek hanya karena tertutupi hijab-Nya (tidak ada nilai-nilai Ketuhanan). Sedangkan segala Sesuatu yang dianggap baik itu menjadi baik hanya karena tersingkap (Tajalli)-Nya (terdapat nilai-nilai Ketuhanan). Sebab keduanya merupakan sifat yang selalu berlaku sepanjang masa, sebagaimana keduanya berlangsung sejak azali. Dimana tampak dua ciri yang berbeda pada mereka yang diterima dan mereka yang ditolak. Mereka yang diterima, benar-benar tampak bukti-bukti Tajalli-Nya pada mereka dengan sinar terangnya, sebagaimana tampak jelas bukti bukti tertutup hijab-Nya pada mereka yang tertolak dengan kegelapannya. Maka setelah itu, tidak ada manfaatnya lagi warna-warna kuning, baju lengan pendek, pakaian serba lengkap maupun pakaian-pakaian bertambal (yang hanya merupakan simbolis semata, pent.).”
Saya katakan, bahwa apa yang dikemukakan oleh Ahmad bin Atha’ maknanya mendekati dengan apa yang dikatakan oleh Abu Sulaiman Abdurrahman bin Ahmad ad-Darani – rahimahullah – dimana ia berkata, “Bukanlah perbuatan-perbuatan (amal) seorang hamba itu yang menjadikan-Nya senang (ridha) atau benci. Akan tetapi karena Dia ridha kepada sekelompok kaum, kemudian Dia jadikan mereka orang-orang yang berbuat dengan perbuatan (amal) orang-orang yang diridhai-Nya. Demikian pula, karena Dia benci pada sekelompok kaum, kemudian Dia jadikan mereka orang-orang yang berbuat dengan perbuatan orang-orang yang dibenci-Nya.”

Sedangkan makna ucapan Ahmad bin Atha’, “Segala sesuatu yang dianggap jelek itu akan menjadi jelek hanya karena tertutupi hijab-Nya.” Maksudnya adalah karena Dia berpaling dari kejelekan tersebut. Sementara ucapannya yang menyatakan, “Segala sesuatu yang dianggap baik itu menjadi baik hanya karena tersingkap (Tajalli)-Nya.” Maksudnya adalah karena Dia menyambut dan menerimanya. Makna semua itu adalah sebagaimana yang diterangkan dalam sebuah Hadis:
Dimana Rasulullah saw. pernah keluar, sementara di tangan beliau ada dua buah Kitab: Satu kitab di tangan sebelah kanan, dan satu Kitab yang lain di tangan sebelah kiri. Kemudian beliau berkata, “Ini adalah Kitab catatan para penghuni surga lengkap dengan nama-nama mereka dan nama bapak-bapak mereka. Sementara yang ini adalah Kitab catatan para penghuni neraka lengkap dengan nama-nama mereka beserta nama bapak-bapak mereka.” (H.r. Tirmidzi dari Abdullah bin Amr bin Ash. Hadist ini Hasan Shahih Gharib. Juga diriwayatkan oleh ath-Thabrani, dari Ibnu Umar).
Ketika Abu Bakar al-Wasithi – rahimahullah – mengenalkan dirinya kepada kaum elite Sufi, maka ia berkata, “Diri (nafsu) mereka (kaum arif telah sirna, sehingga tidak menyaksikan kegelisahan dengan menyaksikan fenomena-fenomena alam yang menjadi saksi Wujud-Nya al-Haq, sekalipun yang tampak pada mereka hanya bukti-bukti kepentingan nafsu.”
Demikian juga orang yang memberikan sebuah komentar tentang makna ini. Artinya – dan hanya Allah Yang Mahatahu -, “Sesungguhnya orang yang menyaksikan bukti-bukti awal pada apa yang telah ia ketahui, melalui apa yang dikenalkan Tuhan Yang disembahnya, ia tidak menyaksikan kegelisahan dengan hanya menyaksikan apa yang selain Allah (yakni fenomena alam), dan juga tidak merasa senang dengan mereka (makhluk).”

—(ooo)—

Tobat

Berbagai Kedudukan Spiritual
Syeikh Abu Nashr as-Sarraj

Abu Ya’qub Yusuf bin Hamdan as-Susi – rahimahullah – berkata, “Kedudukan spiritual (maqam) pertama dari berbagai kedudukan spiritual yang harus ditempuh orang-orang yang mengabdikan diri sepenuhnya kepada Allah adalah tobat.”

Sementara itu as-Susi pernah ditanya tentang tobat, maka ia menjawab, “Tobat adalah kembali dari segala sesuatu yang dicela oleh ilmu (syariat) untuk menuju pada apa yang dipuji oleh ilmu.”
Sahl bin Abdullah ditanya tentang tobat, maka ia menjawab, “Tobat adalah hendaknya jangan melupakan dosa Anda.”
Tetapi al-Junaid ketika ditanya tentang tobat justru mengatakan, “Tobat adalah melupakan dosa Anda.”

Syekh Abu Nashr as-Sarraj -rahimahullah – menjelaskan jawaban as-Susi tentang tobat adalah dimaksudkan untuk tobatnya para “murid”, orang-orang yang pada tahap mencari dan baru pada tahap awal dalam merambah jalan Allah. Dimana mereka pada suatu saat punya nilal positif, tapi kadang di saat yang lain terhadang oleh sesuatu yang merugikannya.
Adapun jawaban al-Junaid, bahwa tobat adalah melupakan dosa, merupakan jawaban tobat orang-orang yang sanggup mencapai kebenaran hakiki (al-mutahaqqiqin). Dimana mereka tidak lagi mengingat dosa-dosa mereka, karena hati mereka telah dikuasai oleh Keagungan Allah swt. dan kontinuitas mengingat-Nya.

Ini sebagaimana yang pernah ditanyakan pada Ruwaim bin Ahmad – rahimahullah – tentang tobat. Lalu ia menjawabnya, “Tobat adalah tobat dari tobat.”
Sebagaimana Dzun Nun al Mishri – rahimahullah – ketika ditanya tentang tobat, maka ia menjawab, “Tobatnya orang-orang awam adalah tobat dari dosa, sedangkan tobatnya orang-orang khusus (khawas) adalah tobat dari kelalaian mereka untuk mengingat Allah.”
Adapun bahasa ungkapan orang-orang ahli ma’rifat, mereka yang sanggup menghayati al-Haq dan orang-orang kelas paling khusus (khawashul-khawash) dalam mengungkapkan makna tobat adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh Abu al-Husain an-Nuri -rahimahullah – ketika ditanya tentang tobat. Dimana ia mengatakan, “Tobat ialah hendaknya Anda bertobat dari segala sesuatu selain Allah.”

Dan inilah yang dilsyaratkan oleh Dzun-Nun al-Mishri bahwa, “Dosa-dosa kaum yang didekatkan dengan Allah (al-muqarrabin) adalah kebaikan orang-orang yang banyak berbuat baik (al-abrar).” Sebagaimana juga dikatakan bahwa, “Riya’ (pamer)nya orang-orang arif adalah tingkat keikhlasan para ‘murid’ (pemula).” Sebab keikhlasan para murid adalah suatu tingkatan yang digunakan untuk mendekatkan diri orang yang arif kepada Allah di saat memulai dan menuju kepada-Nya dengan cara melakukan ketaatan, Ketika semua itu memungkinkan, dan sanggup merealisasikannya, lalu dipenuhi oleh sinar-sinar hidayah, diberikan perhatian dan perlindungan-Nya, sanggup menyaksikan Keagungan Tuannya dengan mata hatinya, merenungkan ciptaan Sang Penciptanya, mendahulukan kebaikannya, maka ia akan bertobat untuk tidak melihat dan memperhatikan pada ketaatan, kebaikan, amal-amal dan pendekatan diri kepada Tuhannya ketika mau dan akan memulainya.

Maka dengan demikian ada dua tipe hamba yang bertobat, dimana masing-masing berbeda dengan yang lain: Pertama, orang yang bertobat dari segala dosa dan kesalahan. Sedangkan yang kedua adalah orang yang bertobat dari ketergelinciran dan kelalaian, dan bertobat dari melihat kebaikan dan ketaatan yang ia lakukan. Sehingga tobat akan mengharuskan wara’ (menjaga diri dari syubhat).

Ibnu Araby Tentang Khatamul Auliya’

Imam at-Tairmidzy al-Hakim, seorang filosuf agung dan Sufi terbesar di zamannya pernah menulis tentang Khatamul Auliya’ (Pamungkas para wali), sebagai konsep mengembangkan pamungkas para Nabi (Khatimul Anbiya’). Ibu Araby dalam kitabnya yang paling komprehensif sepanjang zaman, Al-Futuhatul Makiyyah. Disanalah Ibnu Araby menjawab 155 pertanyaan dalam Khatamul Auliya’-nya At-Tirmidy. Dalam pertanyaan pertama berbunyi:

Berapakah Manazil (tempat pijakan ruhani) para Auliya’?
Ibnu Araby menjawab: Ketahuilah bahwa manazil Auliya’ ada dua macam. Pertama bersifat Inderawi (hissiyah) dan kedua bersifat Maknawy. Posisi pijakan ruhani (manzilah) yang bersifat inderawi, adalah syurga, walau pun di syurga itu ada seratus jumlah derajatnya. Sedangkan manzilah mereka di dunia yang bersifat inderawi adalah ahwal mereka yang seringkali melahirkan sesuatu yang luar biasa. Diantara mereka ada ditampakkan oleh Allah seperti Wali-wali Abdal dan sejenisnya. Ada juga yang tidak ditampakkan seperti kalangan Wali Malamatiyah serta para kaum ‘Arifin yang agung, jumlah pijakan mereka lebih dari 100 tempat pijakan ruhani. Setiap masing-masing tempat itu berkembang menjadi sekian tempat yang begitu banyak. Demikian pijakan ruhani mereka yang bersifat inderawi di dua alam (dunia dan akhirat).

Sedangkan yang bersifat Maknawy dalam dimensi-dimensi kema’rifatan, maka manzilah mereka 248 ribu tempat pijakan ruhani hakiki yang tidak dapat diraih oleh ummat-ummat sebelum Nabi kita Muhammad SAW, dengan rasa ruhani yang berbeda-beda, dan masing-masing rasa ruhani memiliki rasa yang spesial yang hanya diketahui oleh yang merasakan.

Jumlah tersebut tersari dalam empat maqamat: 1) Maqam Ilmu Ladunny, 2) Maqam Ilmu Nur, 3) Maqam Ilmu al-Jam’u dan at-Tafriqat, 4) Maqam Ilmu Al-Kitabah al-Ilahiyyah. Diantara Maqamat itu adalah maqam-amaqam Auliya’ yang terbagi dalam 100 ribu lebih maqam Auliya, dan masing-masing masih bercabang banyak, yang bisa dihitung, namun bukan pada tempatnya mengurai di sini.

Mengenai Ilmu Ladunny berhubungan dengan nunasa-nuansa Ilahiyah dan sejumlah serapannya berupa Rahmat khusus. Sedangkan Ilmu Nur, tampak kekuatannya pada cakrawala ruhani paling luhur, ribuan Tahun Ilahiyah sebelum lahirnya Adam as. Sementara Ilmu Jam’ dan Tafriqah adalah Lautan Ilahiyah yang meliputi secara universal, dimana Lauhul Mahfudz sebagai abian dari Lautan itu. Dari situ pula melahirkan Akal Awal, dan seluruh cakrawala tertinggi mencerap darinya. Dan sekali lagi, para Auliya selain ummat ini tidak bisa mencerapnya. Namun diantara para Auliya’ ada yang mampu meraih secara keseluruhan ragam itu, seperti Abu Yazid al-Bisthamy, dan Sahl bin Abdullah, serta ada pula yang hanya meraih sebagian. Para Auliya’ di kalangan ummat ini dari perspektif pengetahuan ini ada hembusan ruh dalam lorong jiwanya, dan tak ada yang sempurna kecuali dari Auliya’ ummat ini sebagai pemuliaan dan pertolongan Allah kepada mereka, karena kedudukan agung Nabi mereka Sayyidina Muhammad SAW.

Di dalam pengetahuan tersebut tersembunyi rahasia-rahasia ilmu pengetahuan yang sesungguhnya berada dalam tiga pijakan dasar ruhani pengetahuan: 1) Pengetahuan yang berhubungan dengan Ilahiyyah, 2) Pengetahuan yang berhubungan dengan ruh-ruh yang luhur, dan 3) Pengetahuan yang berhubungan dengan maujud-maujud semesta.
Yang berhubungan dengan ilmu ruh-ruh yang luhur menjadi beragam tanpa adanya kemustahilan kontradiktif. Sedangkan yang berhubungan dengan maujud alam beragam, dan memiliki kemustahilan dengan kontradiksi kemustahilannya.

Jika pengetahuan terbagi dalam tiga dasar utama itu, maka para Auliya’ juga terbagi dalam tiga lapisan: Lapisan Tengah (Ath-Thabaqatul Wustha), memiliki 123 ribu pijakan ruhani, dan 87 manzilah utama, yang menjadi sumber serapan dari masing-masing manzilah yang tidak bisa dibatasi, karena terjadinya interaksi satu sama lainnya, dan tidak ada yang meraih manfaatnya kecuali dengan Rasa Khusus. Sementara lapisan yang sisanya, (dua lapisan) muncul dengan pakaian kebesaran dan sarung keagungan. Hanya saja keduanya yang menggunakan sarung keagungan itu memiliki mazilah lebih dari 123 ribu itu. Sebab pakaian kebesaran merupakan penampakan dari AsmaNya Yang Maha Dzahir, sedangkan sarungnya adalah penampakan dari AsmaNya Yang Maha Batin. Yang Dzahir adalah asal tonggaknya, dan Yang Batin adalah karakter baru, dimana dengan kebaruannya muncullah pijakan-pijakan ruhani (manazil) ini.

Cabang senantiasa menjadi tempatnya buah. Maka apa yang ditemukan pada cabang itu merupakan sesuatu yang tidak ditemukan dalam tonggaknya, yaitu buah. Walaupun dua cabang di atas itu munculnya dari satu tonggak utamanya yaitu AsdmaNya Yang Maha Dzahir, tetapi hukumnya berbeda. Ma’rifat kita kepada Tuhan, muncul setelah kita mengenal diri kita, sebab itu “Siapa yang kenal dirinya, kenal Tuhannya”. Walaupun wujud diri kita sesungguhnya merupakan cabang dari dari Wujug Rabb. Wujud Rabb adalah tonggal asal, dan wujud hamba adalah cabang belaka. Dalam Martabat bisa akan mendahului, sehingga bagiNya ada Nama Al-Awwal, dan dalam suatu martabat diakhirkan, sehingga ada Nama Yang Maha Akhir. Disatu sisi dihukumi sebagai Asal karena nisbat khusus, dan dilain sisi disehukumi sebagai Cabang karena nisbat yang lain. Inilah yang bisa dinalar oleh analisa akal. Sedangkan yang dirasakan oleh limpahan Ma’rifat Rasa, maka Dia adalah Dzahir dari segi bahwa Dia adalah Batin, dan Dia adalah Batin dari segi kenyataanNya Yang Dzahir, dan Awwal dari kenyataanNya adalah Akhir, demikian pula dalam Akhir.

Swedangkan jumlah para Auliya yang berada dalam manzilah-manzilah itu, ada356 sosok, yang mereka itu adala dalam kalbu Adam, Nuh, Ibrahim, Jibril, Mikail, dan Israfil. Dan ada 300, 40, 7, 5, 3 dan 1. Sehingga jumlah kerseluruhan 356 tokoh. Hal ini menurut kalangan Sufi karena adanya hadits yang menyebut demikian.

Sedangkan menurut thariqat kami dan yang muncul dari mukasyafah, maka jumlah keseluruhan Auliya yang telah kami sebut diatas di awal bab ini, sampai berjumlah 589 orang. Diantara mereka ada 1 orang, yang tidak mesti muncul setiap zaman, yang disebut sebagai al-Khatamul Muhammady, sedangkan yang lain senantiasa ada di setiap zaman tidak berkurang dan tidak bertambah. Al-Khatamul Muhammady pada zaman ini (zaman Ibnu Araby, red), kami telah melihatnya dan mengenalnya (semoga Allah menyempurnakan kebahagiaannya), saya tahu ia ada di Fes (Marokko) tahun 595 H.
Sementara yang disepakati kalangan Sufi, ada 6 lapisan para Auliya’, yaitu para Wali : Ummahat, Aqthab; A’immah; Autad; Abdal; Nuqaba’; dan Nujaba’.

Pada pertanyaan lain : Siapa yang berhak menyandang Khatamul Auliya’ sebagaimana gelar yang disandang Khatamun Nubuwwah oleh Nabi Muhammad SAW.? Ibnu Araby menjawab:

Al-Khatam itu ada dua: Allah menutup Kewalian (mutlak), dan Allah menutup Kewalian Muhammadiyah. Penutup Kewalian mutlak adalah Isa Alaihissalaam. Dia adalah Wali dengan Nubuwwah Mutlak, yang kelak turun di era ummat ini, dimana turunnya di akhir zaman, sebagai pewaris dan penutup, dimana tidak ada Wali dengan Nubuwwah Mutlak setelah itu. Ia disela oleh Nubuwwah Syari’at dan Nubuwwah Risalah. Sebagaimana Nabi Muhammad SAW sebagai Penutup Kenabian, dimana tidak ada lagi Kenabian Syariat setelah itu, walau pun setelah itu masih turun seperti Isa, sebagai salah satu dari Ulul ‘Azmi dari para Rasul dan Nabi mulia. Maka turunnya Isa sebagai Wali dengan Nubuwwah mutlaknya, tertapi aturannya mengikuti aturan Nabi Muhammad SAW, bergabung dengan para Wali dari ummat Muhammad lainnya. Ia termasuk golongan kita dan pemuka kita.

Pada mulanya, ada Nabi, yaitu Adam, AS.Dan akhirnya juga ada Nabi, yaitu Isa, sebagai Nabi Ikhtishah (kekhususan), sehingga Isa kekal di hari mahsyar ikut terhampar dalam dua hamparan mahsyar. Satu Mahsyar bersama kita, dan satu mahsyar bersama para Rasul dan para Nabi.

Adapun Penutup Kewalian Muhammadiyah, saat ini (era Ibnu Araby) ada pada seorang dari bangsa Arab yang memiliki kemuliaan sejati. Saya kenal ditahun 595 H. Saya melihat tanda rahasia yang diperlihatkan oleh Allah Ta’ala pada saya dari kenyataan ubudiyahnya, dan saya lihat itu di kota Fes, sehingga saya melihatnya sebagai Khatamul Wilayah darinya. Dia adalah Khatamun Nubuwwah Mutlak, yang tidak diketahui banyak orang. Dan Allah telah mengujinya dengan keingkaran berbagai kalangan padanya, mengenai hakikat Allah dalam sirrnya.

Sebagaimana Allah menutup Nubuwwah Syariat dengan Nabi Muhammad SAW, begitu juga Allah menutup Kewalian Muhammady, yang berhasil mewarisi Al-Muhammadiyah, bukan diwarisi dari para Nabi. Sebab para Wali itu ada yang mewarisi Ibrahim, Musa, dan Isa, maka mereka itu masih kita dapatkan setelah munculnya Khatamul Auliya’’Muhammady , dan setelah itu tidak ada lagi Wali pada Kalbu Muhammad SAW. Inilah arti dari Khatamul Wilayah al-Muhammadiyah. Sedangkan Khatamul Wilayah Umum, dimana tidak ada lagi Wali setelah itu, ada pada Isa Alaissalam. Dan kami menemukan sejumlah kalangan sebagai Wali pada Kalbu Isa As, dan sejumlah Wali yang berada dalam Kalbu para Rasul lainnya.
Wallahu A’lam bish-Shawab.

Wali Allah Menurut Hakim At-Tirmidzi

Hakim at-Tirmidzi lahir di Tirmidz, Uzbekistan, Asia Tengah pada tahun 205 H/820 M. Nama lengkapnya adalah Abu Abd Allah Muhammad bin Ali bin Hasan al-Hakim at-Tirmidzi. Ia berasal dari keluarga ilmuwan ahli fiqih dan hadits. Memasuki puncak ketasawufan setelah mengalami goncangan batin sebagaimana yang di kemudian hari dialami al-Ghazali. Ia mendefinisikan Wali Allah adalah seorang yang demikian kokoh di dalam peringkat kedekatannya kepada Allah (fi martabtih), memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu seperti bersikap shidq (jujur dan benar) dalam perilakunya, sabar dalam ketaatan kepada Allah, menunaikan segala kewajiban, menjaga hukum dan perundang-undangan (al-hudud) Allah, mempertahankan posisi (al-) kedekatannya kepada Allah. Dalam keadaan ini, menurut at-Tirmidzi, seorang wali mengalami kenaikan peringkat sehingga berada pada posisi yang demikian dekat dengan Allah, kemudian ia berada di hadapan-Nya, dan menyibukkan diri dengan Allah sehingga lupa dari segala sesuatu selain Allah.

Karena kedekatannya dengan Allah, seorang wali memperoleh ‘ishmah (pemeliharaan) dan karamah (kemuliaan) dari Allah. menurutnya, ada tiga jenis ‘ishmah dalam Islam. Pertama, ‘ishmah al-anbiya’ (ishmah para Nabi) merupakan sesuatu yang wajib; baik berdasarkan argumentasi ‘aqliyyah seperti dikemukakan Mu’tazilah maupun berdasarkan argumentasi sam‘iyyah. Kedua, ‘ishmah al-awliya’ (merupakan sesuatu yang mungkin); tidak ada keharusan untuk menetapkan ‘ishmah bagi para wali dan tidak berdosa untuk menafikannya dari diri mereka, tidak juga termasuk ke dalam keyakinan agama (‘aqa’id al-din); melainkan merupakan karamah dari Allah kepada mereka. Allah melimpahkan ‘ishmah ke dalam hati siapa saja yang dikehendaki-Nya di antara mereka. Ketiga, ‘ishmah al-‘ammah, ‘ishmah secara umum , melalui jalan al-asbab, sebab-sebab tertentu yang menjadikan seseorang terpelihara dari perbuatan maksiat.

‘Ishmah yang dimiliki para wali dan orang-orang beriman, menurut at-Tirmidzi, bertingkat-tingkat. Bagi umumnya orang-orang yang beriman, ‘ishmah berarti terpelihara dari kekufuran dan dari terus menerus berbuat dosa; sedangkan bagi para wali ‘ishmah berarti terjaga (mahfuzh) dari kesalahan sesuai dengan derajat, jenjang, dan maqamat mereka. Masing-masing mereka mendapatkan ‘ishmah sesuai dengan peringkat kewaliannya. Inti pengertian ‘ishmah al-awliya’ terletak pada makna al-hirasah (pengawasan), berupa cahaya ‘ishmah (anwar al-ishmah) yang menyinari relung jiwa (hanaya al-nafs) dan berbagai gejala yang muncul dari kedalaman al-nafs, tempat persembunyian al-nafs (makamin al-nafs), sehingga al-nafs tidak menemukan jalan untuk mengambil bagian dalam aktivitas seorang wali. Ia dalam keadaan suci dan tidak tercemari berbagai kotoran al-nafs ( adnas al-nafs ).

Adapun yang dimaksud karamah al-awliya’ tiada lain, kemuliaan, kehormatan,(al-ikram); penghargaan (al-taqdir); dan persahabatan (al-wala) yang dimiliki para wali Allah berkat penghargaan, kecintaan dan pertolongan Allah kepada mereka. Karamah al-awliya itu, dalam pandangan Hakim at-Tirmidzi, merupakan salah satu ciri para wali secara lahiriah (‘alamat al-awliya’ fi al-zhahir) yang juga dinamakannya al-ayat atau tanda-tanda.

Hakim at-Tirmidzi membagi karamat al-awliya ke dalam dua bagian. Pertama, karamah yang bersifat ma‘nawi atau al-karamat al-ma‘nawiyyah. Karamah yang pertama merupakan sesuatu yang bertentangan dengan adat kebiasaan secara fisik-inderawi, seperti kemampuan seseorang unrtuk berjalan di atas air atau berjalan di udara. Sedangkan karamah yang kedua merupakan ke-istiqamah-an seorang hamba di dalam menjalin hubungan dengan Allah, baik secara lahiriah maupun secara batiniah yang menyebabkan hijab tersingkap dari kalbunya hingga ia mengenal kekasihnya, serta merasa ketentraman dengan Allah. At-Tirmidzi memaparkan karamah yang kedua sebagai yang berikut:

Kemudian Tuhan memandang wali Allah dengan pandangan rahmat. Maka Tuhan pun dari perbendaharaan rububiyyah menaburkan karamah yang bersifat khusus kepadanya sehingga ia (wali Allah) itu berada pada maqam hakikat kehambaan (al-haqiqah al-ubudiyyah). Kemudian Tuhan pun mendekatkan kepada-Nya, memanggilnya, menghormati dan meninggikannya. Menyayanginya dan menyerunya. Maka wali pun menghampiri Tuhan ketika ia mendengar seru-Nya. Mengokohkan (posisi)-nya dan menguatkannya; memelihara dan menolongnya; sehingga ia meresponi dan menyambut seruan-Nya. Dalam kesunyian ia memanggil-Nya. Setiap saat ia munajat kepada-Nya. Ia pun memanggil kekasihnya. Ia tidak mengenal Tuhan selain Allah.

Orang yang menolak karamah al-awliya’, menurut at-Tirmidzi, disebabkan mereka tidak mengetahui persoalan ini kecuali kulitnya saja. Mereka tidak mengetahui perlakuan Allah terhadap para wali. Sekiranya orang tersebut mengetahui hal-ihwal para wali dan perlakuan Allah terhadap mereka; niscaya mereka tidak akan menolaknya. Penolakan mereka terhadap karamah al-awliya’, menurut at-Tirmidzi, disebabkan oleh kadar akses mereka terhadap Allah hanya sebatas menegaskan-Nya; bersungguh-sungguh di dalam mewujudkan kejujuran (al-shidq); bersikap benar dalam mewujudkan kesungguhan sehingga meraih posisi al-qurbah (dekat dengan Allah). Sementara mereka buta terhadap karunia dan akses Allah kepada hamba-hamba pilihan-Nya. Demikian juga buta terhadap cinta (mahabbah) dan kelembutan (ra’fah) Allah kepada para wali. Apabila mereka mendengar sedikit tentang hal ini, mereka bingung dan menolaknya.

Adapun derajat kewalian, dalam pandangan al-Tirmidzi, dapat diraih dengan terpadunya dua aspek penting, yakni karsa Allah kepada seorang hamba dan kesungguhan pengabdian seorang kepada Allah. Aspek pertama merupakan wewenang Allah secara mutlak; sedangkan aspek kedua merupakan perjuangan seorang hamba dalam mendekatkan diri kepada Allah. Menurut at-Tirmidzi, ada dua jalur yang biasa ditempuh oleh seorang sufi guna meraih derajat kewalian. Jalur pertama disebut thariqah al-minnah (jalan golongan yang mendapat anugerah) sedangkan jalur kedua disebut thariq ashhab al-shidq (jalan golongan yang benar dalam beribadah). Melalui jalur pertama, seorang sufi meraih derajat kewalian di hadapan Allah semata-mata karena karunia Allah yang diberikan kepada siapa saja yang dikendaki Allah di antara hamba-hamba-Nya. Sedangkan melalui jalur kedua, seorang sufi meraih derajat kewalian berkat keikhlasan dan kesungguhannya di dalam beribadah kepada Allah. Seseorang yang meraih derajat kewalian melalui jalur kedua disebut wali haqq Allah atau awliya’ huquq Allah dalam bentuk jamak.

Menurut at-Tirmidzi derajat kewalian yang diraih melalui jalur kedua diperoleh setelah seorang sufi bertaubat dari segala dosa dan bertekad bulat untuk membuktikan sesungguhan taubatnya dengan konsisten di dalam menunaikan segala yang diwajibkan; menjaga al-hudud (hukum dan perundang-undangan Allah) dan mengurangi al-mubahat (hal-hal yang dibolehkan); kemudian memperhatikan aspek batin dan menjaga kesuciannya dengan seksama.
Seorang sufi yang meraih derajat kewalian (al-walayah) melalui jalur kedua desebut wali haqq Allah, karena sufi itu telah mencurahkan seluruh perhatian dan usahanya untuk menjaga hak Allah. Perjuangan yang demikian berat ini telah menambah kesucian hati sufi tersebut. Hatinya menjadi terformat sedemikian rupa dengan sifat Allah al-Haqq sehingga al-Haqq menjadi salah satu sifatnya yang mendominasi perasaannya yang terdalam (al-wujdan) dan membimbing seluruh perilakunya. Tidaklah seorang sufi itu mengucapkan sesuatu kecuali melalui Allah al-Haqq; tidaklah melakukan sesuatu kecuali menuju Allah al-Haqq; dan tidaklah dia diam kecuali bersama Allah al-Haqq. Maka al-Haqq senantiasa bersama-Nya dalam berbagai keadaan. Para wali yang memiliki kualifikasi ini disebut juga al-awliya al-shadiqin.

Sementara itu, memperoleh derajat al-walayah melalui jalur pertama, thariqah al-Minnah, terbagi kedalam dua proses. Pertama, anugerah kewalian itu diperoleh dengan tanpa usaha sebelumnya. Melalui proses ini orang yang menerima anugerah al-walayah merasakan adanya kekuatan yang menarik dirinya kepada kualitas al-walayah tersebut. Para sufi yang meraih derajat kewalian melalui proses ini disebut al-mujtabun (yang diangkat) atau al-mujzubun (yang ditarik). Kedua, anugerah kewalian itu diperoleh karena ada prakondisi sebelumnya. Derajat al-walayah yang diberikan melalui proses kedua ini mengandung pengertian bahwa anugerah al-walayah itu diberikan oleh Allah kepada seseorang yang telah berada di dalam maqam al-shidq, suatu kedudukan terhormat di hadapan Allah yang hanya bisa ditempati oleh para sufi yang telah memiliki kualifikasi wali di antara al-awliya al-shadiqin. Hal ini terjadi semata-mata karena kasih sayang Allah kepadanya.

Derajat kewalian dan kenabian, menurut at-Tirmidzi, merupakan anugerah Allah. Allah telah memilih di antara hamba-hamba-Nya menjadi al-anbiya (Nabi-Nabi) dan awliya (para wali). Kemudian Allah melebihkan derajat sebagian al-anbiya atas sebagian yang lain. Sebagaimana Allah melebihkan sebagian derajat al-awliya atas sebagian yang lain. Kelebihan Nabi Muhammad SAW. atas para Nabi yang lain adalah kedudukannya sebagai khatam al-nubuwwah yang merupakan hujjat Allah bagi makhluk-Nya pada hari kiamat, karena tiada seorang pun di antara al-anbiya yang mendapat kedudukan setinggi ini.

Hujjat Allah yang menjadi inti khatam al-nubuwwah tersebut tiada lain, qadam shidq, yakni kesaksian Allah bahwa Nabi Muhammad SAW. memiliki shidq al-‘ubudiyyah (kesungguhan dalam kehambaan). Dengan qadam shidq tersebut Nabi Muhammad SAW. mendahului barisan para Nabi dan Rasul. Kemudian Allah menyambutnya dan menempatkannya di dalam al-maqam al-mahmud pada al-kursi. Dengan demikian para Nabi mengetahui bahwa Nabi Muhammad SAW. adalah orang yamg paling mengenal Allah. Beliau diberi bendera pujian (liwa al-hamd) dan kunci kemulian (mafatih al-karam). Oleh sebab itu, khatam al-anbiyyin, menurut at-Tirmidzi, bukan karena Nabi Muhammad SAW. paling akhir diutus; melainkan karena al-nubuwwah telah sempurna secara total pada diri Nabi Muhammad SAW. sehingga dia menjadi jantung kenabian (qalb al-nubuwwah) karena kesempurnaannya; kemudian al-nubuwwah ditutup (pada diri beliau).

Bertitik tolak dari pandangannya tentang al-anbiya dan al-awliya, at-Tirmidzi memandang bahwa khatam al-awliya (pamungkas para wali) adalah al-wali al-majdzub yang memegang kepemimpinan (al-imamah) atas para wali. Di tangannya terdapat bendera kewalian (liwa al-walayah). Para wali seluruhnya membutuhkan syafa’at dari padanya; sebagaimana para Nabi membutuhkan syafa’at dari Nabi Muhammad SAW. Ia memperoleh bagian kenabian yang paling sempurna; sehingga ia dekat dengan al-anbiya; bahkan hampir mendahuluinya; sebagaimana tergambar pada hadits yang berikut:

Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah, ada orang yang bukan Nabi dan bukan syuhada; namun, banyak Nabi dan syuhada yang ingin seperti mereka, karena derajat mereka disisi Allah ‘Azza wa jalla.” Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, siapakah mereka? Beliau bersabda: “Mereka adalah suatu kaum yang saling mencintai dengan motivasi karena Allah; padahal bukan di antara kerabat mereka, juga bukan karena harta yang saling mereka berikan. Demi Allah, wajah mereka niscaya laksana cahaya, mereka berada di atas cahaya. Mereka tidak merasa sedih, ketika orang-orang bersedih. Kemudian beliau membacakan satu ayat:

<“Ingatlah , sesungguhnya wali-wali Allah tidak ada kekhawatiran pada diri mereka dan mereka tidak bersedih
(Q.S. Yunus: 62).

Maqam-nya (dihadapan Allah) berada pada peringkat tertinggi para wali (fi a‘ala manazil al-awliya). Ia adalah pengikut Nabi Muhammad SAW. Maka sebagaimana Nabi Muhammad SAW. menjadi hujjah bagi para Nabi; wali ini pun menjadi hujjah bagi para wali (al-awliya). Kecuali itu, al-Hakim at-Tirmidzi menghubungkan konsep khatam al-awliya dengan konsep manusia sempurna. Menurutnya, khatam al-awliya ialah manusia yang telah mencapai ma‘rifah yang sempurna tentang Tuhan. Dengan demikian, ia pun mendapatkan cahaya dari Tuhan, bahkan mendapatkan quwwah ilahiyyah (daya Ilahi). Menurut at-Tirmidzi, ada empat puluh orang dari kalangan umat Nabi Muhammad SAW. yang mendapat kedudukan sebagai wali, satu di antara empat puluh itu disebut khatam al-awliya sebagaimana Nabi Muhammad SAW. menjadi khatam al-anbiya.

Sementara itu, Abu Yazid al-Busthami (w.264H/877M.) memperkenalkan konsep al-wali al-kamil (wali yang sempurna). Menurutnya, wali yang sempurna ialah orang yang telah mencapai ma‘rifah yang sempurna tentang Tuhan, ia telah terbakar oleh api Tuhannya. Ma‘rifah yang sempurna akan membawa seorang wali fana’ dalam sifat-sifat ketuhanan. Wali yang fana’ dalam nama Allah, al-zhahir (yang nyata), akan dapat menyaksikan qudrah Tuhan; wali yang fana’ dalam nama-Nya, al-bathin (yang tersembunyi) akan dapat menyaksikan rahasia-rahasia alam; wali yang fana’ dalam nama-Nya, al-akhir (yang akhir), akan menyaksikan masa depan.

Kedudukan khatam al-awliya merupakan anugerah Allah. Allah memberikan al-khatm (penutupan [kewalian]) kepadanya agar pada hari kiamat hati Nabi Muhammad SAW. merasa tenteram. Para wali pun mengakui kelebihan wali ini atas mereka. Ia muncul menjelang terjadinya kiamat dan menjadi hujjat Allah bagi seluruh penganut paham monoteisme (al-muwahhidin) yang datang sesudahnya.

Pemikiran al-Hikam at-Tirmidzi tentang khatm al-walayah lebih jauh dikembangkan oleh Ibnu Arabi. Menurut Ibnu Arabi, konsep al-khatm (penutupan) mengandung dua pengertian. Pertama, al-khatm berarti Allah telah menutup kewalian secara umum (al-walayah al-ammah). Kedua, al-khatm dalam pengertian Allah telah menutup kewalian umat Nabi Muhammad SAW. (al-walayah al-muhammadiyah).

Khatm al-walayah dalam pengertian yang pertama berada pada diri Nabi Isa as. Beliau adalah wali dengan kenabian mutlak (al-nubuwwah al-muthlaqah) yang muncul pada zaman ummat (Nabi Muhammad) ini. Kewalian Nabi Isa terputus dari nubuwwat al-tasyri’, yakni kenabian khusus dengan kewenangan menetapkan syari’at agama dan kerasulannya. Nabi Isa turun di akhir zaman sebagai pewaris (Nabi Muhammad SAW.). Dan khatam [al-walayah] (pamungkas kewalian). Tidak ada wali sesudahnya dengan kenabian mutlak sekalipun, sebagaimana Nabi Muhammad SAW. sebagai khatam al-nubuwwah (pamungkas kenabian) tidak ada Nabi sesudah beliau dengan nubuwwat al-tasyri’. Sedangkan khatam al-walayah dalam pengertian yang kedua berada pada diri seorang laki-laki bangsa Arab dari kalangan orang-orang terhormat.

Pengetahuan tentang syari’at (al-ilm al-syari’i) – yang menjadi dasar nubuwwat al-tasyri’ diwahyukan kepada seorang Rasul melalui malaikat. Sedangkan pengetahuan batin (al-‘ilm al-bathini) yang dimiliki wali, baik dalam kapasitasnya sebagai Rasul, Nabi, maupun wali saja; bersifat pancaran dari seorang khatam al-awliya. Adapun khatam al-awliya mendapatkan secara menyeluruh dari sumber pancaran ruhaniah (manba‘al-faydl al-ruhi); yakni ruh Muhammad atau al-haqiqah al-Muhammadiyah.

Ibnu Arabi menghubungkan konsepsi khatam al-awliya dengan kemampuan menangkap al-‘athaya (pemberian dan anugerah) Allah. Menurut Ibnu Arabi, ada dua jenis al-‘athaya (pemberian) yakni yang bersifat dzatiyyah dan yang bersifat asma’iyyah. Adapun al-‘athaya al-dzatiyyah tidak terjadi kecuali melalui tajalli ilahi; sedangkan tajalli merupakan pengetahuan tertinggi tentang Tuhan. Pengetahuan ini tidak diberikan kecuali kepada khatam al-rusul (pamungkas para utusan) dan khatam al-awliya (pamungkas para wali).

Tiada seorang pun di antara al-anbiya dan al-rusul dapat mengalami tajalli al-dzat kecuali melalui misykah, teropong, khatam al-rusul; dan tiada seorang pun al-awliya mengalami tajalli al-dzat kecuali melalui misykah, teropong, khatam al-awliya bahkan al-anbiya dan al-rusul pun tidak dapat mengalami tajalli al-dzat kecuali melalui misykat al-khatam al-awliya’; meskipun khatam al-awliya merupakan pengikut khatam al-rusul dalam syari’at yang dibawanya.

Dalam pandangan Ibnu Arabi, khatam al-anbiya mempunyai kedudukan yang sebanding dengan khatam al-awliya. Menurutnya setiap Nabi sejak zaman Nabi Adam hingga Nabi terakhir; tiada seorang pun di antara mereka, kecuali mengambil dari misykat (teropong) khatam al-nabiyyin; meskipun khatam al-nabiyyin tersebut secara historis muncul terakhir. Hal ini sejalan dengan sabda Nabi Muhammad SAW.: Aku sudah menjadi Nabi; sedangkan Adam di antara air dan tanah. Sedangkan para Nabi selain Nabi Muhammad SAW. menjadi Nabi setelah mereka diutus (ke dunia).

emikian juga khatam al-awliya telah menjadi wali, ketika Adam masih berada di antara air dan tanah; sedangkan para wali yang lain menjadi wali setelah mereka memperoleh syarat-syarat kewalian (al-walayah), yakni setelah diri mereka tersifati oleh al-akhlaq al-ilahiyyah atau akhlak Tuhan, terutama berkenaan dengan pernyataan Allah sendiri yang menyebut diri-Nya al-wali al-hamid (Wali yang Maha Terpuji).

Kualitas Wali Itu Bertingkat-tingkat

Bila mengacu pada al-Qur’an (Yunus, ayat 62-64), kriteria kewalian itu adalah iman dan taqwa. Dengan sudah terpenuhinya dua kriteria tersebut, berarti seseorang berhak menyandang predikat wali. Apakah sesederhana itu? Menurut Dr. Asep Usman Ismail, kriteria kewalian dengan kadar keimanan dan ketaqwaan yang baru standar, barulah memenuhi konsep kewalian secara umum. Untuk tidak mengaburkan istilah wali yang demikian kudus, tentunya kita tidak bisa berpatokan pada pemahaman harpiyah dari ayat di atas. Kalau berbicara tentang kadar keimanan saja, sebagaimana dipaparkan dosen UIN Jakarta ini, standar kewalian itu haruslah mengenal Allah melalui penyaksian mata batinnya. Dan pada level ini pun masih bertingkat-tingkat kualitasnya.

Bagaimana pandangan Anda mengenai konsep kewalian?
Kalau kita kembalikan pada pengertian dasarnya, istilah wali itu kan maknanya bisa dekat, bisa juga kekasih, bisa berarti bimbingan, atau juga pemeliharaan. Jadi pengertian wali itu adalah orang yang dekat dengan Allah; karena kedekatannya itu pula maka ia layak menjadi kekasih Allah; karena telah dekat dan sekaligus menjadi kekasih-Nya, maka ia pun layak mendapat bimbingan dan juga pemeliharaan dari Allah. Karena itu konsep kewalian itu bisa dijelaskan dari sudut relasi, yaitu relasi antara seorang hamba dengan Tuhannya.

Apakah dari sudut relasi itu juga dapat menjelaskan adanya tingkatan-tingkatan diantara para wali Allah itu?
Ya, kalau berbicara tentang relasi, kondisi dan intensitas setiap manusia itu kan berbeda-beda. Ada yang baru mendekat, ada yang sudah relatif dekat, ada yang sudah dekat sekali, bahkan ada yang sudah menyatu. Karena kondisinya berbeda-beda, maka kualitas kewaliannya pun menjadi berbeda pula. Itulah sebabnya mengapa ada tingkatan-tingkatan wali.

Dengan adanya tingkatan-tingkatan tadi, apa saja kriterianya sehingga seseorang layak dikategorikan sebagai wali pada tingkatannya yang paling dasar misalnya?
Dalam al-Qur’an Surah Yunus ayat 62 sampai 64 itu disebutkan, persyaratan untuk menjadi wali itu hanya dua saja. Satu beriman, dua bertaqwa. Dari ayat inilah kemudian para ulama menyimpulkan tentang konsep walaayatul-aammah atau kewalian secara umum, ada juga yang mengistilahkannya dengan walaayatut-tauhiid.

Sejauh mana kadar iman dan taqwa harus dimiliki sehingga seseorang berhak menyandang derajat kewalian dalam konteks walaayatul-‘amah ini?
Kalau menurut Ibnu Taimiyah, kewalian secara umum itu baru konsisten atau istiqamah dalam menjalankan segala yang diperintahkan serta menjauhi segala yang dilarang Allah. Tapi belum sepenuhnya mengerjakan yang disunatkan, belum meninggalkan yang dimakruhkan. Dan untuk kategori ini seseorang belum berhak menyandang derajat kewalian dalam pengertiannya yang khusus.

Jika demikian, bila konsep kewalian secara umum ini ditonjolkan, mungkin akan berdampak pada pendangkalan makna. Lebih-lebih istilah wali ini sudah sering dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari. Padahal konsep kewalian dalam Islam itu kan begitu kudus. Jadi, apa sebenarnya makna kewalian secara khusus?
Pandangan tentang konsep kewalian secara khusus itu cukup beragam. Misalnya ada yang mengklasifikasikannya menjadi 8 tingkatan, yang masing-masing tingkatan itu menunjukkan kualitas yang berbeda. Tapi ada juga yang membaginya menjadi lima tingkatan saja, misalnya Hakim at-Tirmidzi.

Lalu, siapa saja yang sudah tergolong wali dalam pengertian yang khusus ini?
Sulit juga kalau berbicara tentang person. Kita paling bisa berbicara tentang konsep. Secara konseptual, ada yang disebut walayah haqqullah. Istilah haq yang disandarkan kepada Allah itu mengandung beberapa pengertian. Dalam istilah Haq Allah itu tercermin pengertian pesan, ajaran dan perintah Allah. Karenanya haqullah bisa diartikan dengan syari’at Allah. Jadi auliya pada tingkatan ini adalah mereka yang sudah mampu menjalankan syari’at Allah secara kaaffah, yaitu secara komprehensif dan istiqamah. Jadi tidak ada konsep kewalian yang justru mengabaikan aspek syari’ah. Kecuali itu, istilah haqullah juga mengacu pada realitas wujud yang tertinggi. Jadi kewalian dalam tingkatan ini adalah mereka yang sudah mampu berintegrasi dengan realitas yang tertinggi, yaitu Allah. Pengertian berintegrasi ini tentunya harus mengacu pada apa yang dikonsepsikan oleh para sufi itu sendiri. Ada yang mengkonsepsikannya dengan ma’rifah, ada yang menyebutnya dengan ittihad, hulul dan lainnya.

Tingkatan berikutnya?
Ada lagi yang disebut waliyullah, tidak digandengkan dengan istilah haq lagi. Tingkatan ini untuk menggambarkan bahwa sang wali itu, bukan berarti tidak lagi berpegang pada syari’at. Tetapi perhatian dan orientasinya sudah pada substansi, bukan lagi berkutat pada aspek formal dari syari’at. Jadi dia sudah sampai pada tingkat merasakan inti atau substansi dari syari’at. Dalam konteks ini, Imam Asy-Syathibi mengistilahkannya dengan hikmah syari’ah. Orang pada level ini adalah mereka yang sudah mencapai Ghaayatush-shidqi fil-‘ibadah, puncak kesungguhan dalam beribadah. Dia sudah mencapai tarap optimal dalam kualitas ibadahnya. Ia sudah jauh melampaui batas minimal.

Apa perbedaan yang spesifik di antara kedua tingkatan tadi?
Kalau walaayah haqqullah disebut kaum shaadiquun. Sedangkan waliyullah disebutnya sebagai shiddiiquun. Kalau mengacu pada pendapat Ibnu Taimiah sebagaimana tadi sudah kita singgung, kewalian secara umum itu baru konsisten menjalankan segala yang diperintahkan serta menjauhi segala larangan Allah. Belum sepenuhnya mengerjakan yang disunatkan, belum meninggalkan yang dimakruhkan. Nah, kalau kelompok shaadiquun itu, secara lahiriyah, mereka sudah istiqamah menjalankan yang disunatkan serta meninggalkan yang dimakruhkan. Adapun secara batiniyah, batinnya itu sudah terhubungkan dengan Allah. Dengan kata lain, kelompok shiddiiquun adalah mereka yang sudah mencapai esensi dari syari’ah. Artinya sudah sampai pada penyerahan diri secara total kepada Allah. Dia tidak menganggap bahwa dirinya punya kemampuan. Bahkan kesadaran eksistensialnya sudah sirna, sudah fana. Batinnya sudah mu’allqun billah, sudah terpaut erat dengan Allah. Sebaliknya, orang yang jauh dari Allah itu kan umumnya karena mereka menganggap dirinya punya kemampuan, menganggap dirinya punya eksistensi yang mandiri di luar Tuhannya.

Lalu tingkatan berikutnya?
Tingkatan berikutnya, ada yang disebut al-muniibuun, yaitu orang-orang yang sudah senantiasa mengembalikan segala sesuatunya kepada Allah. Dia sudah berhasil menekan egonya, sudah dapat menekan kepentingan-kepentingan pribadinya, persepsinya tentang hal-hal duniawi sudah jernih. Orang seperti ini sudah mendekati karakter malaikat. Ada lagi yang disebut al-muqarrabuun, yaitu orang yang sudah benar-benar dekat dengan Allah. Kalau kita, misalnya kita ini betul memahami bahwa Allah itu dekat. Tetapi kita baru sampai pada taraf kognitif, tarap pemahaman. Betul saya tidak pernah mengubah pendirian saya bahwa Allah itu dekat. Saya yakin betul. Tetapi kita belum merasakan kedekatannya. Nah wali al-Muqarrabuun ini selalu dapat merasakan kedekatannya kepada Allah, dalam seluruh waktunya dan dalam sepanjang hidupnya.

Ada lagi tingkatan yang lebih tinggi dari yang tadi Anda sebutkan?
Yang lebih tinggi lagi adalah tingkatan al-munfariduun. Pada level ini berarti sang wali sudah mencapai tarap menyendiri bersama Tuhannya. Untuk dapat memahami tingkatan ini mungkin kita perlu analogi. Misalnya ada yang hendak bertamu kepada seseorang yang sudah dikenalnya. Kalau yang masih tergolong ‘am, kedekatannya itu kan baru pada taraf minimal. Saya kenal seseorang, saya tahu siapa namanya, saya tahu apa pekerjaannya, saya tahu bagaimana karakternya, saya tahu di mana rumahnya. Baru sebatas ini. Kalau pada level berikutnya, misalnya, o ya saya sudah sampai ke pekarangan rumahnya, bahkan saya sudah dipersilahkan masuk. Tapi kalau pada tingkat al-muqarrabuun, o saya bukan saja sudah dipersilahkan masuk, tapi saya sudah diajak ke ruang tengah. Saya sudah diajak berbicara. Hanya saja saya belum bertemu langsung dengannya. Sebab dia masih berada dibalik hijab. Nah, kalau tingkatan al-munfariduun, pemilik rumah sudah menampakkan diri. Bukan sekedar dekat bersamanya, tapi sudah berduaan dengannya.

Lalu apa puncak dari tingkatan kewalian itu?
Puncak dari tingkatan kewalian itu adalah khatmul walaayah. Ini juga yang disebut kutubul-auliya, poros tertinggi dari kewalian. Kalau pada tingkatan ini bukan sekedar berduaan. Kalau berduaan kan masih bisa dibedakan antara dirinya dengan Tuhannya. Jadi masih ada pemisah, aku dan Dia, atau aku dan Engkau. Sementara pada tingkatan ini antara hamba dan Tuhan itu sudah benar-benar menyatu, tidak ada lagi pemisah.

Siapa saja yang berada pada puncak kewalian ini?
Kalau berbicara tentang person, lagi-lagi tidak ada kata sepakat. Tapi umumnya ulama berpandangan bahwa pada setiap zaman itu ada wali kutubnya. Pengertian zaman di sini kurang lebih satu abad lamanya. Pada masanya Syekh Abdul Qadir Jaelani, beliau ini dipandang sebagai kutubul-auliya. Ada yang meniilai bahwa pada zaman itu juga sebenarnya ada sufi yang lain. Jadi kalau sudah berbicara pada person, bisa berbeda-beda. Ada yang berpandangan bahwa pada masa Ibnu Arabi, beliaulah wali kutubnya. Pada masa Abu Hasan As-Sazili, beliaulah wali kutubnya. Jadi kalau berbicara tentang konsep umumnya bisa sepakat. Tapi siapa yang memenuhi kriteria-kriteria pada setiap tingkatannya itu, nah itu yang tidak sepakat.

Derajat kewalian itu kan pada hakikatnya merupakan kualitas hubungan personal antara hamba dengan Tuhannya. Lantas, mengapa kemudian ada identifikasi bahwa si A itu adalah wali. Bagaimana kita dapat mengetahuinya?
Ya, betul, derajat kewalian itu menyangkut essensi keberagamaan yang bersifat pribadi dan berdimensi batini. Karena itu ada kelompok ulama yang berpandangan bahwa la ya’lamul-waliyya illal-waliyyu. Artinya, tidak ada yang dapat mengetahui bahwa seseorang itu wali, kecuali seorang wali juga.

Hierarki Kewalian

Syaikhul Akbar Ibnu Araby dalam kitab Futuhatul Makkiyah membuat klasifikasi tingkatan wali dan kedudukannya. Jumlah mereka sangat banyak, ada yang terbatas dan yang tidak terbatas. Sedikitnya terdapat 9 tingkatan, secara garis besar dapat diringkas sebagai berikut :

  1. Wali Aqthab atau Wali Quthub

Wali yang sangat paripurna. Ia memimpin dan menguasai wali diseluruh alam semesta. Jumlahnya hanya seorang setiap masa. Jika wali ini wafat, maka Wali Quthub lainnya yang menggantikan.

  1. Wali Aimmah
    Pembantu Wali Quthub. Posisi mereka menggantikan Wali Quthub jika wafat. Jumlahnya dua orang dalam setiap masa. Seorang bernama Abdur Robbi, bertugas menyaksikan alam malakut. Dan lainnya bernama Abdul Malik, bertugas menyaksikan alam malaikat.
  2. Wali Autad
    Jumlahnya empat orang. Berada di empat wilayah penjuru mata angin, yang masing-masing menguasai wilayahnya. Pusat wilayah berada di Kakbah. Kadang dalam Wali Autad terdapat juga wanita. Mereka bergelar Abdul Haiyi, Abdul Alim, Abdul Qadir dan Abdu Murid.
  3. Wali Abdal
    Abdal berarti pengganti. Dinamakan demikian karena jika meninggal di suatu tempat, mereka menunjuk penggantinya. Jumlah Wali Abdal sebanyak tujuh orang, yang menguasai ketujuh iklim. Pengarang kitab Futuhatul Makkiyah dan Fushus Hikam yang terkenal itu, mengaku pernah melihat dan bergaul baik dengan ke tujuh Wali Abdal di Makkatul Mukarramah.
    Pada tahun 586 di Spanyol, Ibnu Arabi bertemu Wali Abdal bernama Musa al-Baidarani. Abdul Madjid bin Salamah sahabat Ibnu Arabi pernah bertemu Wali Abdal bernama Mu’az bin al-Asyrash. Beliau kemudian menanyakan bagaimana cara mencapai kedudukan Wali Abdal. Ia menjawab dengan lapar, tidak tidur dimalam hari, banyak diam dan mengasingkan diri dari keramaian.
  4. Wali Nuqoba’
    Jumlah mereka sebanyak 12 orang dalam setiap masa. Allah memahamkan mereka tentang hukum syariat. Dengan demikian mereka akan segera menyadari terhadap semua tipuan hawa nafsu dan iblis. Jika Wali Nuqoba’ melihat bekas telapak kaki seseorang diatas tanah, mereka mengetahui apakah jejak orang alim atau bodoh, orang baik atau tidak.
  5. Wali Nujaba’
    Jumlahnya mereka sebanyak 8 orang dalam setiap masa.
  6. Wali Hawariyyun
    Berasal dari kata hawari, yang berarti pembela. Ia adalah orang yang membela agama Allah, baik dengan argumen maupun senjata. Pada zaman nabi Muhammad sebagai Hawari adalah Zubair bin Awam. Allah menganugerahkan kepada Wali Hawariyyun ilmu pengetahuan, keberanian dan ketekunan dalam beribadah.
  7. Wali Rajabiyyun
    Dinamakan demikian, karena karomahnya muncul selalu dalam bulan Rajab. Jumlah mereka sebanyak 40 orang. Terdapat di berbagai negara dan antara mereka saling mengenal. Wali Rajabiyyun dapat mengetahui batin seseorang. Wali ini setiap awal bulan Rajab, badannya terasa berat bagaikan terhimpit langit. Mereka berbaring diatas ranjang dengan tubuh kaku tak bergerak. Bahkan, akan terlihat kedua pelupuk matanya tidak berkedip hingga sore hari. Keesokan harinya perasaan seperti itu baru berkurang. Pada hari ketiga, mereka menyaksikan peristiwa ghaib.
    Berbagai rahasia kebesaran Allah tersingkap, padahal mereka masih tetap berbaring diatas ranjang. Keadaan Wali Rajabiyyun tetap demikian, sesudah 3 hari baru bisa berbicara.
    Apabila bulan Rajab berakhir, bagaikan terlepas dari ikatan lalu bangun. Ia akan kembali ke posisinya semula. Jika mereka seorang pedagang, maka akan kembali ke pekerjaannya sehari-hari sebagai pedagang.
  8. Wali Khatam
    Khatam berarti penutup. Jumlahnya hanya seorang dalam setiap masa. Wali Khatam bertugas menguasai dan mengurus wilayah kekuasaan ummat nabi Muhammd,saw.

Gerbang Cinta Para Wali

Ada cahaya yang memendar nun jauh di sana. Tak habis-habisnya mata memandang penuh pesona. Indah dan menakjubkan, hingga tiada sesaat pun melainkan sebuah klimaks dari puncak rasa kita, terkadang seperti puncak gelombang Cinta, terkadang menghempas seperti sauh-sauh kesadaran di hempas pantai, terkadang begitu jauh di luar batas harapan, padahal ia lebih dekat dari sanubari kita sendiri.

Tiba-tiba cahaya itu ada di depan mata hati kita. Ternyata sebuah gerbang keagungan yang dahsyat penuh kharisma. Gerbang itu seakan bicara: “Akulah gerbang para kekasih Tuhan”. Sejengkal saja kaki kita melangkah, memasuki pintu gerbang itu, seluruh kesadaran kita sirna dalam luapan gelombang cinta yang digerakkan oleh kedahsyatan angin kerinduan. Kata pertama yang berbunyi di sana adalah deretan puja dan puji:

“Segala puji bagi Allah yang telah meluapi lembah kalbu para wali-Nya dengan luapan Cinta kepada-Nya. Dia yang membangunkan istana khusus agar luapan arwah para kekasih-Nya itu, senantiasa menyaksikan keagungan-Nya. Dia pula yang menghamparkan padang ma’rifatullah melalui rahasia-rahasia jiwanya. Lalu kalbunya berada di sebuah taman surga. Taman itu penuh dengan lukisan-lukisan ma’rifatullah yang tiada tara. Sedangkan arwah-arwah mereka berada di Taman Malakut, tak sejenak pun arwah itu melainkan berada dalam keabadian penyucian pada-Nya. Duh, rahasia arwahnya, mendendangkan tasbih dalam tarian Lautan Jabarut-Nya.”

Lalu sebuah gerbang yang begitu agung dan indahnya, mengukirkan prasasti yang ditulis oleh Qalam Ruhani. “Segala Puja bagi Allah, yang telah membuka gerbang Cinta-Nya bagi para Kekasih-Nya. Lalu Dia mengurai rantai yang membelenggu jiwanya, sehingga mereka teguh dalam keharusan khidmah pada-Nya, sedangkan cahaya-cahaya-Nya melimpahi akal-akal mereka. Lalu tampak jelas, keajaiban-keajaiban kekuasaan-Nya, sedangkan kalbu-kalbu mereka terjaga dari haru biru tipudaya yang menumpah pada pesona-pesona cetak lahiriyah jagad semesta, sampai akhirnya menggapai ma’rifat paripurna. Amboi, ruh-ruh mereka tersingkapkan dari kemahasucian paripurna-Nya, dan sifat-sifat keagungan-Nya. Merekalah penempuh jalan hadirat-Nya, dalam kenikmatan rahasia kedekatan dengan-Nya, melalui tarekat dahsyat rindu dendam-Nya, hingga mereka termanifestasi dalam hakikat, melalui penyaksian Ketunggalan-Nya. Mereka telah diraih dari mereka, dan Dia menyirnakan mereka dari mereka, lalu mereka ditenggelamkan dalam lautan Kemaha-Dia-an-Nya. Dia memisahkan pasukan-pasukan terpencar dalam kesatuan kitab-Nya bagi para kekasih terpilih-Nya. Lalu mereka terjaga oleh kerahasiaan jiwa melalui limpahan cahaya-cahaya, agar ia menjadi obyek manifestasi, di samping ke-Tunggal-Dirian-Nya.”

Kalau saja kita ingin mengenal gerbang-gerbang Kekasih Allah itu, semata bukanlah hasrat dan ambisi untuk menjadi Kekasih-Nya. Sebab, mengangkat derajat seseorang menjadi Kekasih-Nya adalah Hak Allah, dan Allah sendiri yang memberi Wilayah itu kepada hamba-Nya yang dikehendaki-Nya.

Sekadar berkah atas cahaya kewalian dari kekasih-kekasih-Nya itu, sesungguhnya lebih dari cukup bagi kita. Sedangkan pengetahuan kita atas dunia kewalian yang menjadi bagian dari misteri-misteri Ilahi, tidak lebih dari limpahan-limpahan Ilahi, agar kita lebih yakin kepada-Nya atas keimanan kita selama ini.

Para Auliya Allah adalah Ahlullah. Mereka terpencar di muka bumi sebagai “tanda-tanda” Ilahiyah, dengan jumlah tertentu, dan tugas-tugas tertentu. Di antara mereka ada yang ditampakkan karamahnya, ada pula yang tidak ditampakkan sama sekali. Oleh karena itu hamba-hamba Allah yang diberi kehebatan luar biasa, tidak sama sekali disebut Waliyullah, dan belum tentu juga yang tidak memiliki kelebihan sama sekali, tidak mendapat derajat Wali Allah. Para Auliya adalah mereka yang senantiasa mencurahkan jiwanya untuk Ubudiyah kepada Allah, dan menjauhkan jiwanya dari kemaksiatan kepada Allah.

Di masyarakat kita, seringkali terjebak oleh fenomena-fenomena metafisikal yang begitu dahsyat yang muncul dari seseorang. Lalu masyarakat kita mengklaim bahwa orang tersebut tergolong Waliyullah. Padahal kata seorang syekh sufi, “Jika kalian melihat seseorang bisa terbang, bisa menembus batas geografis dengan cepat, bahkan bisa menembus waktu yang berlalu dan yang akan datang, janganlah Anda anggap itu seorang Wali Allah sepanjang ia tidak mengikuti Sunnah Rasulullah SAW.“

Mengapa? Sebab ada ilmu-ilmu hikmah tertentu yang bisa dipelajari, agar seseorang memiliki kehebatan tertentu di luar batas ruang dan waktu, dan ironisnya ilmu demikian disebut sebagai Ilmu Karamah. Padahal karamah itu, adalah limpahan anugerah Ilahi, bukan karena usaha-usaha tertentu dari hamba Allah.

Karamah sendiri bukanlah syarat dari kewalian. Kalau saja muncul karamah pada diri seorang wali, semata hanyalah sebagai petunjuk atas kebenaran ibadahnya, kedudukan luhurnya, namun dengan syarat tetap berpijak pada perintah Nabi SAW. Jika tidak demikian, maka karamah hanyalah kehinaan syetan. Karena itu di antara orang-orang yang saleh ada yang mengetahui derajat kewaliannya, dan orang lain tahu. Ada pula yang tidak mengetahui derajat kewaliannya sendiri, dan orang lain pun tidak tahu. Bahkan ada orang lain yang tahu, tetapi dirinya sendiri tidak tahu.

Tetapi di belahan ummat Islam lain juga ada yang menolak konsep kewalian. Bahkan dengan mudah mengklaim yang disebut Auliya’ itu seakan-akan hanya derajat biasa dari derajat keimanan seseorang. Tentu saja, kelompok ini sama kelirunya dengan kelompok mereka yang menganggap seseorang, asal memiliki kehebatan, lalu disebut sebagai Waliyullah, apalagi jika orang itu dari kalangan kiai atau ulama.

Meluruskan pandangan Kewalian di khalayak ummat kita, memang sesuatu yang rumit. Ada ganjalan-ganjalan primordial dan psikologis, bahkan juga ganjalan intelektual.

Al-Quthub Abul Abbas al-Mursi, semoga Allah meridlainya, menegaskan dalam kitab yang ditulis oleh muridnya, Lathaiful Minan, karya Ibnu Athaillah as-Sakandari, “Waliyullah itu diliputi oleh ilmu dan ma’rifat-ma’rifat, sedangkan wilayah hakikat senantiasa disaksikan oleh mata hatinya, sehingga ketika ia memberikan nasehat seakan-akan apa yang dikatakan seperti identik dengan izin Allah. Dan harus dipahami, bagi siapa yang diizinkan Allah untuk meraih ibarat yang diucapkan, pasti akan memberikan kebaikan kepada semua makhluk, sementara isyarat-isyaratnya menjadi riasan indah bagi jiwa-jiwa makhluk itu.”

“Dasar utama perkara Wali itu,” kata Abul Abbas, “adalah merasa cukup bersama Allah, menerima Ilmu-Nya, dan mendapatkan pertolongan melalui musyahadah kepada-Nya. Allah Ta’ala berfirman: “Barangsiapa bertawakkal kepada Allah, maka Dia-lah yang mencukupinya.” (QS. ath-Thalaq: 3). “Bukankah Allah telah mencukupi hambanya?” (QS. Az-Zumar: 36). “Bukankah ia tahu, bahwa sesungguhnya Allah itu Maha Tahu?” (QS. al-‘Alaq :14). “Apakah kamu tidak cukup dengan Tuhanmu, bahwa sesungguhnya Dia itu Menyaksikan segala sesuatu?” (QS. Fushshilat: 53).
Syekh Agung Abdul Halim Mahmud dalam memberikan catatan khusus mengenai Lathaiful Minan karya as-Sakandari mengupas panjang lebar mengenai Kewalian ini. Hal demikian dilakukan karena, as-Sakandari menulis kitab itu memulai tentang wacana Kewalian, karena memang, buku besar itu ingin mengupas tuntas tentang biografi dua Waliyullah terbesar sepanjang zaman, yaitu Sulthanul Auliya’ Syekh Abul Hasan asy-Syadzili ra dan muridnya, Syekh Abul Abbas al-Mursi.

Dalam sebuah ayat yang seringkali menjadi rujukan utama dunia Kewalian adalah: “Ingatlah bahwa sesungguhnya para Wali-wali Allah itu tidak punya rasa takut dan rasa gelisah. Yaitu orang-orang yang beriman dan mereka bertaqwa. Mereka mendapatkan kegembiraan dalam kehidupan dunia dan dalam kehidupan akhirat. Tidak ada perubahan bagi Kalimat-kalimat Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar.” (QS. Yunus: 62-64)
Dalam salah satu hadits Qudsi yang sangat populer disebutkan, “Rasulullah SAW bersabda: Allah Ta’ala berfirman: “Siapa yang memusuhi Wali-Ku, maka benar-benar Aku izinkan orang itu untuk diperangi. Dan tidaklah seorang hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku yang lebih Aku cintai dibanding apa yang Aku wajibkan padanya. Dan hamba-Ku itu senantiasa mendekatkan pada-Ku dengan ibadah-ibadah Sunnah sehingga Aku mencintai-Nya. Maka bila Aku mencintainya, Akulah pendengarannya di mana ia mendengar, dan menjadi matanya di mana ia melihat, dan menjadi tangannya di mana ia memukul, dan menjadi kakinya di mana ia berjalan. Jika ia memohon kepada-Ku, Akupasti memberinya, jika ia memohon perlindungan kepadaKu Aku pasti melindunginya.”

Karenanya al-Hakim at-Tirmidzi, salah satu sufi besar generasi abad pertengahan, menulis kitab yang sangat monumental hingga saat ini, Khatamul Auliya’ (Tanda-tanda Kewalian), yang di antaranya berisi 156 pertanyaan mengenai dunia sufi, dan siapa yang bisa menjawabnya, maka ia akan mendapatkan Tanda-tanda Kewalian itu. Beliau juga menulis kitab ‘Ilmul Auliya.

Ragam Para Wali
Para Syekh Sufi membagi macam para Wali dengan berbagai versi, termasuk derajat masing-masing di hadapan Allah Ta’ala. Dalam kitab Al-Mafakhirul Aliyah fi al-Ma’atsir asy-Syadzilyah disebutkan ketika membahas soal Wali Quthub. Syekh Syamsuddin bin Katilah Rahimahullaahu Ta’ala menceritakan: “Saya sedang duduk di hadapan guruku, lalu terlintas untuk menanyakan tentang Wali Quthub. “Apa makna Quthub itu wahai tuanku?” Lalu beliau menjawab, “Quthub itu banyak. Setiap muqaddam atau pemuka sufi bisa disebut sebagai Quthub-nya.

Sedangkan al-Quthubul Ghauts al-Fard al-Jami’ itu hanya satu. Artinya bahwa Wali Nuqaba’ itu jumlahnya 300. Mereka itu telah lepas dari rekadaya nafsu, dan mereka memiliki 10 amaliyah: empat amaliyah bersifat lahiriyah, dan enam amaliyah bersifat bathiniyah. Empat amaliyah lahiriyah itu antara lain:

1) Ibadah yang banyak, 2) Melakukan zuhud hakiki, 3) Menekan hasrat diri, 4) Mujahadah dengan maksimal. Sedangkan lelaku batinnya: 1) Taubat, 2) Inabat, 3) Muhasabah, 4) Tafakkur, 5) Merakit dalam Allah, 6) Riyadlah. Di antara 300 Wali ini ada imam dan pemukanya, dan ia disebut sebagai Quthub-nya.

Sedangkan Wali Nujaba’ jumlahnya 40 Wali. Ada yang mengatakan 70 Wali. Tugas mereka adalah memikul beban-beban kesulitan manusia. Karena itu yang diperjuangkan adalah hak orang lain (bukan dirinya sendiri). Mereka memiliki delapan amaliyah: empat bersifat batiniyah, dan empat lagi bersifat lahiriyah: Yang bersifat lahiriyah adalah 1) Futuwwah (peduli sepenuhnya pada hak orang lain), 2) Tawadlu’, 3) Menjaga Adab (dengan Allah dan sesama) dan 4) Ibadah secara maksimal. Sedangkan secara Batiniyah, 1) Sabar, 2) Ridla, 3) Syukur), 4) Malu.

Adapun Wali Abdal berjumlah 7 orang. Mereka disebut sebagai kalangan paripurna, istiqamah dan memelihara keseimbangan kehambaan. Mereka telah lepas dari imajinasi dan khayalan, dan mereka memiliki delapan amaliyah lahir dan batin. Yang bersifat lahiriyah: 1) Diam, 2) Terjaga dari tidur, 3) Lapar dan 4) ‘Uzlah. Dari masing-masing empat amaliyah lahiriyah ini juga terbagi menjadi empat pula: Lahiriyah dan sekaligus Batiniyah:
Pertama, diam, secara lahiriyah diam dari bicara, kecuali hanya berdzikir kepada Allah Ta’ala. Sedangkan Batinnya, adalah diam batinnya dari seluruh rincian keragaman dan berita-berita batin. Kedua, terjaga dari tidur secara lahiriyah, batinnya terjaga dari kealpaan dari dzikrullah. Ketiga, lapar, terbagi dua. Laparnya kalangan Abrar, karena kesempurnaan penempuhan menuju Allah, dan laparnya kalangan Muqarrabun karena penuh dengan hidangan anugerah sukacita Ilahiyah (uns). Keempat, ‘uzlah, secara lahiriyah tidak berada di tengah keramaian, secara batiniyah meninggalkan rasa suka cita bersama banyak orang, karena suka cita hanya bersama Allah.

Amaliyah Batiniyah kalangan Abdal, juga ada empat prinsipal: 1) Tajrid (hanya semata bersama Allah), 2) Tafrid (yang ada hanya Allah), 3) Al-Jam’u (berada dalam Kesatuan Allah, 3) Tauhid.

Ragam lain dari para Wali ada yang disebut dengan Dua Imam (Imamani), yaitu dua pribadi, salah satu ada di sisi kanan Quthub dan sisi lain ada di sisi kirinya. Yang ada di sisi kanan senantiasa memandang alam Malakut (alam batin) — dan derajatnya lebih luhur ketimbang kawannya yang di sisi kiri –, sedangkan yang di sisi kiri senantiasa memandang ke alam jagad semesta (malak). Sosok di kanan Quthub adalah Badal dari Quthub. Namun masing-masing memiliki empat amaliyah Batin, dan empat amaliyah Lahir. Yang bersifat Lahiriyah adalah: Zuhud, Wara’, Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar. Sedangkan yang bersifat Batiniyah: Kejujuran hati, Ikhlas, Mememlihara Malu dan Muraqabah.

Wali lain disebut dengan al-Ghauts, yaitu seorang tokoh agung dan tuan mulia, di mana seluruh ummat manusia sangat membutuhkan pertolongannya, terutama untuk menjelaskan rahasia hakikat-hakikat Ilahiyah. Mereka juga memohon doa kepada al-Ghauts, sebab al-Ghauts sangat diijabahi doanya. Jika ia bersumpah langsung terjadi sumpahnya, seperti Uwais al-Qarni di zaman Rasul SAW. Dan seorang Qutub tidak bisa disebut Quthub manakala tidak memiliki sifat dan predikat integral dari para Wali.

Al-Umana’, juga ragam Wali adalah kalangan Malamatiyah, yaitu mereka yang menyembunyikan dunia batinnya, dan tidak tampak sama sekali di dunia lahiriyahnya. Biasanya kaum Umana’ memiliki pengikut Ahlul Futuwwah, yaitu mereka yang sangat peduli pada kemanusiaan.
Al-Afraad, yaitu Wali yang sangat spesial, di luar pandangan dunia Quthub.

Para Quthub senantiasa bicara dengan Akal Akbar, dengan Ruh Cahaya-cahaya (Ruhul Anwar), dengan Pena yang luhur (Al-Qalamul A’la), dengan Kesucian yang sangat indah (Al-Qudsul Al-Abha), dengan Asma yang Agung (Ismul A’dzam), dengan Kibritul Ahmar (ibarat Berlian Merah), dengan Yaqut yang mememancarkan cahaya ruhani, dengan Asma’-asma, huruf-huruf dan lingkaran-lingkaran Asma huruf. Dia bicara dengan cahaya matahati di atas rahasia terdalam di lubuk rahasianya. Ia seorang yang alim dengan pengetahuan lahiriah dan batiniyah dengan kedalaman makna yang dahsyat, baik dalam tafsir, hadits, fiqih, ushul, bahasa, hikmah dan etika. Sebuah ilustrasi yang digambarkan pada Sulthanul Aulioya Syeikhul Quthub Abul Hasan Asy-Syadzily – semoga Allah senantiasa meridhoi .

Wudlu’ Kaum Sufi

Wudlu’ kita sehari-hari, ternyata tidak sekadar membasuh muka, tangan, kepala, telinga maupun kaki. Wudlu’ diposisikan sebagai amaliah yang benar-benar menghantar kita semua, untuk hidup dan bangkit dari kegelapan jiwa. Dalam Wudlu’lah segala masalah dunia hingga akhirat disucikan, diselesaikan dan dibangkitkan kembali menjadi hamba-hamba yang siap menghadap kepada Allah SWT.

Bahkan dari titik-titik gerakan dan posisi yang dibasuh air, ada titik-titik sentral kehambaan yang luar biasa. Itulah, mengapa para Sufi senantiasa memiliki Wudlu’ secara abadi, menjaganya dalam kondisi dan situasi apa pun, ketika mereka batal Wudlu, langsung mengambil Wudlu seketika.
Mari kita buka jendela hati kita. Disana ada ayat Allah, khusus mengenai Wudlu.

“Wahai orang-orang yang beriman, apabila engkau hendak mendirikan sholat, maka basuhlah wajahmu dan kedua tanganmu sampai siku-siku, dan usaplah pada kepalamu dan kaki-kakimu sampai kedua mata kaki…”
Manusia yang mengaku beriman, apabila hendak bangkit menuju Allah ia harus berwudlu’ jiwanya. Ia bangkit dari kealpaan demi kealpaan, bangkit dari kegelapan demi kegelapan, bangkit dari lorong-lorong sempit duniawi dan mimpi di tidur panjang hawa nafsunya.

Ia harus bangkit dan hadlir di hadapan Allah, memasuki “Sholat” hakikat dalam munajat demi munajat, sampai ia berhadapan dan menghadap Allah.

Sebelum membasuh muka, kita mencuci tangan-tangan kita sembari bermunajat:
Ya Allah, kami mohon anugerah dan barokah, dan kami berlindung kepadaMu dari keburukan dan kehancuran.

Lalu kita masukkan air untuk kumur-kumur di mulut kita. Mulut kita adalah alat dari mulut hati kita. Mulut kita banyak kotoran kata-kata, banyak ucapan-ucapan berbusakan hawa nafsu dan syahwat kita, lalu mulut kita adalah mulut syetan.

Mulut kita lebih banyak menjadi lobang besar bagi lorong-lorong yang beronggakan semesta duniawi. Yang keluar dan masuknya hanyalah hembusan panasnya nafsu dan dinginnya hati yang membeku.
Betapa banyak dalil-dalil Al-Qur’an dan Hadits, betapa berlimpah ruahnya fatwa amar ma’ruf nahi mungkar, tetapi karena keluar dari mulut yang kotor, hanyalah berbau anyir dalam sengak hidung jiwa kita. Karena yang mendorong amar ma’ruf nahi mungkarnya bukan Alllah, tetapi hasrat hawa nafsunya, lalu ketika keluar dari jendela bibirnya, kata-kata indah hanyalah bau anyir najis dalam hatinya.

Sesungguhnya mulut-mulut itu sudah membisu, karena yang berkata adalah hawa nafsu. Ayo, kita masuki air Ilahiyah agar kita berkumur setiap waktu. Bermunajatlah ketika anda berkumur:
Oh, Tuhan, masukkanlah padaku tempat masuk yang benar, dan keluarkanlah diriku di tempat keluar yang benar, dan jadikanlah diriku dari DiriMu, bahwa Engkau adalah Kuasa Yang Menolongku.

Oh Tuhan, tolonglah daku untuk selalu membaca KitabMu dan dzikir yang sebanyak-banyaknya, dan tetapkanlah aku dengan ucapan yang tegas di dunia maupun di akhirat.

Baru kemudian kita masukkan air suci yang menyucikan itu, pada hidung kita. Hidung yang suka mencium aroma wewangian syahwat dunia, lalu jauh dari aroma syurga. Hidung yang menafaskan ciuman mesra, tetapi tersirnakan dari kemesraan ciuman hakiki di SinggasanaNya.
Oh, Tuhan, aromakan wewangian syurgaMu dan Engkau melimpahkan ridloMu…

Semburkan air itu dari hidungmu, sembari munajatkan
Ya Allah, aku berlindung kepadaMu dari aroma busuknya neraka, dan bau busuknya dunia.

Selanjutnya:
“Basuhlah wajah-wajahmu…”

Dengan menyucikan hatimu dengan air pengetahuan yang manfaat yang suci dan menyucikan, baik itu bersifat pengetahuan syariat, maupun pengetahuan hakikat, serta pengetahuan yang bisa menghapus seluruh penghalang-penghalang, hijab, antara dirinya dan Allah.
Faktanya setiap hari kita Wudlu’ membasuh muka kita, tetapi wajah-wajah kita tidak hadir menghadap Allah, tidak “Fa ainamaa tuwalluu fatsamma wajhullah…” (kemana pun engkau menghadap, wajah hatimu menghadap arah Allah).
Kenapa wajah dunia, wajah makhluk, wajah-wajah kepentingan nafsu kita, wajah-wajah semesta, wajah dunia dan akhirat, masih terus menghalangi tatapmuka hati anda kepada Allah Ta’ala? Ini semua karena kebatilan demi kebatilan, baik kebatilan dibalik wajah batil maupun kebatilan dengan selimut wajah kebenaran, telah membatalkan wudlu jiwa kita, dan sama sekali tidak kita sucikan dengan air pengetahuan ma’rifatullah dan pengetahuan yang menyelamatkan dunia akhirat kita.

Hijab-hijab yang menutupi wajah jiwa kita untuk melihat Allah, sudah terlalu tua untuk menjadi topeng hidup kita. Kita bertopeng kebusukan, bertopeng rekayasa, bertopeng kedudukan dan ambisi kita, bertopeng fasilitas duniawi kita, bertopeng hawa nafsu kita sendiri, bahkan bertopeng ilmu pengetahuan kita serta imajinasi-imajinasi kita atau jubah-jubah agama sekali pun.
Lalu wajah kita bopeng, wajah ummat kita penuh dengan cakar-cakar nafsu kita, torehan-torehan noda kita, flek-flek hitam nafsu kita, dan alangkah bangganya kita dengan wajah-wajah kita yang dijadikan landskap syetan, yang begitu bebas menarikan tangan-tangannya untuk melukis hati kita dengan tinta hitam yang dipanggang di atas jahanam.
Karena wajah kita lebih senang berpaling, berselingkuh dengan dunia, berpesta dalam mabuk syetan, bergincu dunia, berparas dengan olesan-olesan kesemuan hidup, lalu memakai cadar-cadar hitam kegelapan semesta kemakhlukan.

Banyak orang yang mata kepalanya terbuka, tetapi matahatinya tertutup. Banyak orang yang mata kepalanya tertutup, matahatinya terbuka. Banyak orang yang matahatinya terbuka tetapi bertabur debu-debu kemunafikan duniawinya. Banyak orang yang sudah tidak lagi membuka matahatinya, dan ia kehilangan Cahaya Ilahi, lalu menikmati kepejaman matahatinya dalam kegelapan, yang menyangka ia dalam kebenaran dan kenikmatan.

Oh, Allah, bersihkan wajahkku dengan cahayaMu, sebagaimana di hari Engkau putihkan wajah-wajah KekasihMu. Ya Allah janganlah Engkau hitamkan wajahku dengan kegelapanMu, di hari, dimana Engkau gelapkan wajah-wajah musuhMu.

Tuhan, sibakkan cadar hitamku dari tirai yang membugkus hatiku untuk memandangMu, sebagaimana Engkau buka cadar para KekasihMu…

“Dan basuhlah kedua tanganmu sampai kedua siku-sikumu…”

Lalu kita basuh kedua tangan kita yang sering menggapai hasrat nafsu syahwat kita, berkiprah di lembah kotor dan najis jiwa kita, sampai pada tahap siku-siku hakikat kita dan manfaat agung yang ada di sana.
Tangan kita telah mencuri hati kita, lalu ruang jiwa kita kehilangan khazanah hakikat Cahaya hati. Tangan nafsu kita telah mengkorupsi amanah-amanah Ilahi dalam jiwa, lalu kita mendapatkan pundi-pundi duniawi penuh kealpaan dan kemunafikan.

Tangan-tangan kita telah merampas makanan-makanan kefakiran kita, kebutuhan hati kita, memaksa dan memperkosa hati kita untuk dijadikan tunggangan liar nafsu kita. Tangan-tangan kita telah memukul dan menampar wajah hati yang menghadap Allah, menuding muka-muka jiwa yang menghadap Allah, merobek-robek pakaian pengantin yang bermahkotakan riasan indah para Sufi.

Maka basuhlah tanganmu dengan air kecintaan, dengan beningnya cermin ma’rifat, dari mata air dari bengawan syurga.
Basuhlah tangan kananmu, sembari munajat:
Oh, Allah..berikanlah Kitabku melalui tangan kananku, dan hitanglah amalku dengan hitungan yang seringan-ringannya.

Basuhlah tangan kririmu dengan munajat:
Oh, Allah, aku berlindung kepadaMu, dari pemberian kitabku dari tangan kiriku atau dari belakang punggungku…

Lalu, mari kita usap kepala kita:
Karena kepala kita telah bertabur debu-debu yang mengotori hati kita, memaksa hati kita mengikuti selera pikiran kira, sampai hati kita bukan lagi menghadap kepadaNya, tetapi menghadap seperti cara menghadap wajah di kepala kita, yaitu menghadap dunia yang hina dan rendah ini.

Pada kepala kita yang sering menunduk pada dunia, pada wujud semesta, tunduk dalam pemberhalaan dan perbudakan makhluk, tanpa hati kita menunduk kepada Allah Ta’ala, kepada Asma-asmaNya yang tersembunyi dibalik semesta lahir dan batin kita, lalu kepala kita memalingkan wajah hati kita untuk berpindah ke lain wajah hati yang hakiki.

Mari kita usap dengan air Cahaya, agar wajah hati kita bersinar kembali, tidak menghadap ke arah remang-remang yang menuju gelap yang berlapis gulita, tidak lagi menengok pada rimba duniawi yang dipenuhi kebuasan dan liar kebinatangannya.
Kepala-kepala kita sering menunduk pada berhala-berhala yang mengitari hati kita. Padahal hati kita adalah Baitullah, Rumah Ilahi. Betapa kita sangat tidak beradab dan bahkan membangun kemusyrikan, mengatasnamakan Rumah Tuhan, tetapi demi kepentingan berhala-berhala yang kita bangun dari tonggak-tonggak nafsu kita, lalu kita sembah dengan ritual-ritual syetan, imajinasi-imajinasi, kebanggaan-kebanggan, lalu begitu sombongnya kepala kita terangkat dan mendongak.

Mari kita usap kepala kita dengan usapan Kasih Sayang Ilahi. Karena kepala kita telah terpanggang panasnya neraka duniawi, terpanaskan oleh ambisi amarah dan emosi nafsu syahwati, terjemur di hamparan mahsyar duniawi.
Sembari kita mengusap, masti munajat:
Oh Allah, payungi kepalaku dengan Payung RahmatMu, turunkan padaku berkah-berkahMu, dan lindungi diriku dengan perlindungan payung ArasyMu, dihari ketika tidak ada lagi paying kecuali payungMu. Oh, Tuhan….jauhkan rambutku dan kulitku dari neraka…Oh…

Usap kedua telingamu. Telinga yang sering mendengarkan paraunya dunia, yang anda kira sebagai kemerduan musik para bidadari syurga. Telinga yang berbisik kebusukan dan kedustaan, telinga yang menikmati gunjingan demi gunjingan. Telinga yang fantastik dengan mendengarkan indahnya musik duniawi, lalu menutup telinga ketika suara-suara kebenaran bersautan. Amboi, kenapa telingamu seperti telinga orang-orang munafik?
Apakah anda lebih senang menjadi orang-orang yang tuli telinga hatinya?

Munajatlah:
Oh Tuhan, jadikan diriku tergolong orang-orang yang mendengarkan ucapan yang benar dan mengikuti yang paling baik. Tuhan, perdengarkan telingaku panggilan-panggilan syurga di dalam syurga bersama hamba-hambaMu yang baik.

Lalu usaplah tengkukmu, sembari berdoa:
Ya Allah, bebaskan diriku dari belenggu neraka, dan aku berlindung kepadaMu dari belenggu demi belenggu yang merantai diriku.

Lalu basuh kaki-kakimu sampai kedua mata kaki:

Kaki-kaki yang melangkahkan pijakannya kea lam dunia semesta, yang berlari mengejar syahwat dan kehinaan, yang bergegas dalam pijakan kenikmatan dan kelezatan pesonanya.
Kaki-kaki yang sering terpeleset ke jurang kemunafikan dan kezaliman, terluka oleh syahwat dan emosinya, oleh dendam, iri dan dengkinya, haruslah segera dibasuh dengan air akhlaq, air yang berumber dari adab, dan bermuara ke samudera Ilahiyah.

Basuhlah kedua kakimu sampai kedua matakakimu. Agar langkah-langkahmu menjadi semangat baru untuk bangkit menuju Allah, menapak tilas Jalan Allah, secepat kilat melesat menuju Allah. Basuhlah dengan air salsabila, yang mengaliri wajah semesta menjadi jalan lurus lempang menuju Tuhan.
Selebihnya, Wudlu’ adalah Taubat, penyucian jiwa, pembersihan batin, di lembah Istighfar. Jangan lupakan Istighfar setiap basuhan anggota wudlu’mu.
Wallahu A’lam.

—(ooo)—

Dzikir

Syeikh Abul Qasim al-Qusyairy

Allah swt. berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, berdzikirlah kepada Allah dengan dzikir yang sebanyak banyaknya.” (Q.s. Al Ahzab: 41).

Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. telah bersabda:
“Maukah kuceritakan kepadamu tentang amalmu terbaik dan paling bersih dalam pandangan Allah swt, serta orang yang tertinggi derajatnya di antaramu, yang lebih baik dari menyedekahkan emas dan perak serta memerangi musuh-musuhmu dan memotong leher mereka, dan mereka juga memotong lehermu?” Para sahabat bertanya, “Apakah itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Dzikir kepada Allah swt.” (H.r. Baihaqi).

Diriwayatkan oleh Anas bin Malik na, bahwa Rasulullah saw. ‘bersabda:
“Hari Kiamat tidak akan datang kepada seseorang yang mengucap ‘Allah, Allah’.” (H.r. Muslim).

Anas r.a. juga menuturkan, bahwa Rasulullah saw. bersabda,
“Kiamat tidak akan datang sampai lafazh ‘Allah, Allah’ tidak lagi disebut-sebut di muka bumi.” (H.r. Tirmidzi).

Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata, “Dzikir adalah tiang penopang yang sangat kuat atas jalan menuju Allah swt. Sungguh, ia adalah landasan bagi tharikat itu sendiri. Tidak seorang pun dapat mencapai Allah swt, kecuali dengan terus-menerus dzikir kepada-Nya.”

Ada dua macam dzikir; Dzikir lisan dan dzikir hati. Si hamba mencapai taraf dzikir hati dengan melakukan dzikir lisan. Tetapi dzikir hatilah yang membuahkan pengaruh sejati. Manakala seseorang melakukan dzikir dengan lisan dan hatinya sekaligus, maka ia mencapai kesempurnaan dalam suluknya.
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkomentar, “Dzikir adalah tebaran kewalian. Seseorang yang dianugerahi keberhasilan dalam dzikir berarti telah dianugerahi taburan itu, dan orang yang tidak dianugerahinya berarti telah dipecat. ”

Dikatakan bahwa pada awal perjalanannya, Dulaf asy-Syibly biasa berjalan dijalan raya setiap hari dengan membawa seikat cambuk di punggungnya. Setiap kali kelalaian memasuki hatinya, ia akan melecut badannya sendiri dengan cambuk sampai cambuk itu patah. Kadang-kadang bekal cambuk itu habis sebelum malam tiba. Jika demikian, ia akan memukulkan tangan dan kakinya ke tembok manakala kelalaian mendatanginya.

Dikatakan, “Dzikir hati adalah pedang para pencari yang dengannya mereka membantai musuh dan menjaga diri dari setiap ancaman yang tertuju kepada mereka. Jika si hamba berlindung kepada Allah swt. dalam hatinya, maka manakala kegelisahan membayangi hati untuk dzikir kepada Allah swt, semua yang dibencinya akan lenyap darinya seketika itu juga.”

Ketika al-Wasithy ditanya tentang dzikir, menjelaskan, “Dzikir berarti meninggalkan bidang kealpaan dan memasuki bidang musyahadah mengalahkan rasa takut dan disertai kecintaan yang luar biasa. ”
Dzun Nun al-Mishry menegaskan, “Seorang yang benar-benar dzikir kepada Allah akan lupa segala sesuatu selain dzikirnya. Allah akan melindunginya dari segala sesuatu, dan ia diberi ganti dari segala sesuatu.”

Abu Utsman ditanya, “Kami melakukan dzikir lisan kepada Allah swt, tapi kami tidak merasakan kemanisan dalam hati kami?” Abu Utsman menasihatkan, “Memujilah kepada Allah swt. karena telah menghiasi anggota badanmu. dengan ketaatan.”

Sebuah hadis yang masyhur menuturkan, bahwasanya Rasulullah saw. mengajarkan: “’Apabila engkau melihat surga, maka merumputlah kamu semua di di dalamnya.” Ditanyakan kepada bellau, “Apakah taman surga itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Yaitu kumpulan orang-orang yang sedang melakukan dzikir kepada Allah.” (H.r. Tirmidzi).

Jabir bin Abdullah menceritakan, “Rasulullah saw. mendatangi kami dan beliau bersabda:
“Wahai ummat manusia, merumputlah di padang taman surga!” Kami bertanya, “Apakah taman surga itu?’ Beliau menjawab, “Majelis orang melakukan dzikir.” Beliau bersabda, “Berjalanlah dipagi dan petang hari, dengan berdzikir. Siapapun yang ingin mengetahui kedudukannya di sisi Allah swt, melihat pada derajat mana kedudukan Allah swt. pada dirinya. Derajat yang diberikan Allah kepada hamba-Nya sepadan dengan derajat dimana hamba mendudukkan-Nya dalam dirinya.” (H.r. Tirmidzi, juga riwayat darl Abu Hurairah).

Asy-Syibly berkata, “Bukankah Allah swt. telah berfirman, ‘Aku bersama yang duduk berdzikir kepada-Ku’. “Manfaat apa, wahai manusia dari orang yang duduk dalam majelis Allah swt.?” Lalu ia bersyair berikut: Aku mengingat-Mu bukan karena aku lupa pada-Mu sesaat; Sedang bagian yang paling ringan adalah dzikir lisanku. Tanpa gairah rindu aku mati karena cinta, Hatiku bangkit dalam diriku, bergetar, ketika wujd memperlihatkan Engkau adalah hadirku, Kusaksikan Diri-Mu di mana saja, Lalu aku bicara kepada yang ada, tanpa ucapan, Dan aku memandang yang kulihat, tanpa mata.

Di antara karakter dzikir adalah, bahwa dzikir tidak terbatas pada waktu-waktu tertentu, kecuali si hamba diperintah untuk berdzikir kepada Allah di setiap waktu, entah sebagai kewajiban ataupun sunnah saja. Akan tetapi, shalat sehari-hari, meskipun merupakan amal ibadat termulia, dilarang pada waktu-waktu tertentu. Dzikir dalam hati bersifat terus-menerus, dalam kondisi apa pun. Allah swt. berfirman:
“Yaitu orang orang yang dzikir kepada Allah, baik sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring (tidur).” (Q.s. Ali Imran: 191).
Imam Abu Bakr bin Furak mengatakan, “Berdiri berarti menegakkan dzikir yang sejati, dan duduk berarti menahan diri dari sikap berpura-pura dalam dzikir.”

Syeikh Abu Abdurrahman bertanya kepada Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq, “Manakah yang lebih baik, dzikir ataukah tafakur? Bagaimana yang lebih berkenan bagimu?” Beliau berkata, “Dalam pandanganku, dzikir adalah lebih baik dari tafakur, sebab Allah swt. menyifati Diri-Nya sebagai Dzikir dan bukannya fikir. Apa pun yang menjadi sifat Allah adalah lebih baik dari sesuatu yang khusus bagi manusia.” Maka Syeikh Abu Ali setuju dengan pendapat yang bagus ini.

Muhammad al-Kattany berkata, “Seandainya bukan kewajibanku untuk berdzikir kepada-Nya, tentu aku tidak berdzikir karena mengagungkan-Nya. Orang sepertiku berdzikir kepada Allah swt.? Tanpa membersihkan mulutnya dengan seribu tobat karena berdzikir kepada-Nya!”
Saya mendengar Syeikh Abu Ali menuturkan syair:
Tak pernah aku berdzikir kepada-Mu
melainkan hatiku, batinku serta ruhku mencela diriku.
Sehingga seolah-olah si Raqib dari-Mu berbisik padaku,
‘Waspadalah, celakalah engkau. Waspadalah terhadap dzikir!”

Salah satu sifat khas dzikir adalah, bahwa Dia memberi imbalan dzikir yang lain. Dalam firman-Nya:
“Dzikirlah kepada-Ku, niscaya Aku akan dzikir kepadamu.” (Q.s. Al Baqarah: 152).

Sebuah hadis menyebutkan bahwa Jibril as. mengatakan kepada Rasulullah saw, bahwasanya Allah swt. telah berfirman, “Aku telah memberikan kepada ummatmu sesuatu yang tidak pernah Kuberikan kepada ummat yang lain.” Nabi saw. bertanya kepada Jibril, “Apakah pemberian itu?” Jibril menjawab, “Pemberian itu adalah firman-Nya, ‘Berdzikirlah kepada-Ku, niscaya Aku akan akan berdzikir kepadarnu.’ Dia belum pernah memfirmankan itu kepada ummat lain yang mana pun.”

Dikatakan, “Malaikat maut minta izin dengan orang yang berdzikir sebelum mencabut nyawanya.”
Tertulis dalam sebuah kitab bahwa Musa as. bertanya, “Wahai Tuhanku, di mana Engkau tinggal?” Allah swt. berfirman, “Dalam hati manusia yang beriman.” Firman ini merujuk pada dzikir kepada Allah, yang bermukim di dalam hati, sebab Allah Maha Suci dari setiap bentuk “tinggal” dan penempatan. “Tinggal” yang disebutkan di sini hanyalah dzikir yang tetap dan sekaligus menjadikan dzikir itu sendiri kuat.

Ketika Dzun-Nun ditanya tentang dzikir, ia menjelaskan, “Dzikir berarti tiadanya ingatan pelaku dzikir terhadap dzikirnya.” Lalu ia membacakan syair:
Aku banyak berdzikir kepada-Mu bukan karena
aku telah melupakan-Mu;
Itu hanyalah apa yang mengalir dari lisanku.

Sahl bin Abdullah mengatakan, “Tiada sehari pun berlalu, kecuali Allah swt. berseru, ‘Wahai hamba-Ku, engkau telah berlaku zalim kepada-Ku. Aku mengingatmu, tapi engkau melupakan-Ku. Aku menghilangkan penderitaanmu, tapi engkau terus melakukan dosa. Wahai anak Adam, apa yang akan engkau katakan besok jika engkau bertemu dengan Ku’?”
Abu Sulaiman ad-Darany berkata, “Di surga ada lembah-lembah di mana para malaikat menanam pepohonan, ketika seseorang mulai berdzikir kepada Allah. Terkadang salah seorang malaikat itu berhenti bekerja dan teman-temannya bertanya kepadanya, ‘Mengapa engkau berhenti?’ Ia menjawab, ‘Sahabatku telah kendor dzikirnya’. ”

Dikatakan, “Carilah kemanisan dalam tiga hal: shalat, dzikir dan membaca Al-Qur’an. Kemanisan hanya dapat ditemukan di sana, atau jika tidak sama sekali, maka ketahuilah bahwa pintu telah tertutup.

Ahmad al-Aswad menuturkan, “Ketika aku sedang melakukan perjalanan bersama Ibrahim al-Khawwas, kami tiba di suatu tempat yang dihuni banyak ular. Ibrahim al-Khawwas meletakkan kualinya dan duduk, begitupun denganku. Ketika malam tiba dan udara menjadi dingin, ular-ular itu pun berkeliaran. Aku berteriak kepada Syeikh, lalu berkata, ‘Dzikirlah kepada Allah!’ Aku pun berdzikir, dan ular-ular itu akhirnya pergi menjauh. Kemudian mereka datang lagi. Aku berteriak lagi kepada Syeikh, dan beliau menyuruhku berdzikir lagi. Hal itu berlangsung terus sampai pagi. Ketika kami bangun, Syeikh berdiri dan meneruskan perjalanan, dan aku pun berjalan menyertainya. Tiba-tiba seekor ular besar jatuh dari kasur gulungnya. Kiranya semalam ular itu telah tidur bergulung bersama beliau. Aku bertanya kepada Syeikh, Apakah Anda tidak merasakan adanya ular itu?’ Beliau menjawab, “Tidak. Sudah lama aku tidak merasakan tidur nyenyak seperti tidurku semalam’.”

Abu Utsman berkata, “Seseorang yang tidak dapat merasakan keganasan alpa, tidak akan merasakan sukacita dzikir.”
As-Sary menegaskan, “Tertulis dalam salah satu kitab suci, ‘Jika dzikir kepada-Ku menguasai hamba-Ku, maka ia telah asyik kepada-Ku dan Aku pun asyik kepadanya’.” Dikatakan pula, “Allah mewahyukan kepada Daud as, ‘Bergembiralah dengan-Ku dan bersenang-senanglah dengan dzikir kepada-Ku’!”

Ats-Tsaury mengatakan, “Ada hukuman atas tiap-tiap sesuatu, dan hukuman bagi seorang ahli ma’rifat adalah terputus dari dzikir kepada-Nya.”
Tertulis dalam Injil, “Ingatlah kepada-Ku ketika engkau dipengaruhi oleh kemarahan, dan Aku akan ingat kepadamu ketika Aku marah. Bersikap ridhalah dengan pertolongan-Ku kepadamu, sebab itu lebih baik bagimu dari pertolonganmu kepada dirimu sendiri. ”

Dikatakan, ‘Apabila dzikir kepada-Nya menguasai hati manusia dan setan datang mendekat, maka ia akan menggeliat-geliat di tanah seperti halnya manusia menggeliat-geliat manakala setan-setan mendekatinya. Apabila ini terjadi, maka semua setan akan berkumpul dan bertanya, Apa yang telah terjadi atas dirinya?’ Salah seorang dari mereka akan menjawab, ‘Seorang manusia telah menyentuhnya’.”
Sahl berkata, “Aku tidak mengenal dosa yang lebih buruk dari lupa kepada Allah swt.”

Dikatakan bahwa malaikat tidak membawa dzikir batin seorang manusia ke langit, sebab ia sendiri bahkan tidak mengetahuinya. Dzikir batin adalah rahasia antara si hamba dengan Allah swt.
Salah seorang Sufi menuturkan, “Aku mendengar cerita tentang seorang, laki-laki yang berdzikir di sebuah hutan. Lalu aku pergi menemuinya. Ketika ia sedang duduk, seekor binatang buas menggigitnya dan mengoyak dagingnya. Kami berdua pingsan. Ketika ia siuman, aku bertanya kepadanya tentang hal itu, dan ia berkata kepadaku, Binatang itu diutus oleh Allah. Apabila engkau kendor dalam berdzikir kepada-Nya, ia datang kepadaku dan menggigitku sebagaimana yang engkau saksikan’.”

Abdullah Al-jurairy mengabarkan, “Di antara murid-murid kami ada seorang laki-laki yang selalu berdzlkir dengan mengucap ‘Allah, Allah.’ Pada suatu hari sebatang cabang pohon patah dan jatuh menimpa kepalanya. Kepalanya pun pecah dan darah mengalir ke tanah membentuk kata-kata ‘Allah, Allah’.”

—(ooo)—

Kejujuran

Syeikh Abul Qasim al-Qusyairy

Allah swt. berfirman:
“Wahai orang-orang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang jujur.” (Q.s. At-Taubah: 119).

Diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud bahwa Rasulullah saw. bersabda:
“Jika seorang hamba tetap bertindak jujur dan berteguh hati untuk bertindak jujur, maka ia akan ditulis di sisi Allah sebagai orang yang jujur; dan jika ia tetap berbuat dusta dan berteguh hati untuk berbuat dusta, maka ia akan ditulis di sisi Allah sebagai pendusta.” (H.r. Abu Dawud dan Tirmidzi).
Kejujuran (shidq) adalah tiang penopang segala persoalan, dengannya kesempurnaan dalam menempuh jalan ini tercapai, dan melaluinya pula ada tata aturan. Kejujuran mengiringi derajat kenabian, sebagaimana difirmankan Allah swt.:
“…maka mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu para Nabi dan orang-orang yang menetapi kejujuran (shiddiqin), para syuhada’ dan orang orang saleh.” (Q.s. An-Nisa’: 69).

Kata shadiq (orang yang jujur) berasal dari kata shidq (kejujuran) Kata shiddiq adalah bentuk penekanan (mubalaghah) dari shadiq, dan berarti orang yang didominasi oleh kejujuran. Demikian juga halnya dengan kata-kata lain yang bermakna penekanan, seperti sikkir dan pemabuk, yang penuh anggur (khimmir).

Derajat terendah kejujuran adalah bila batin seseorang selaras dengan perbuatan lahirnya. Shadiq adalah orang yang benar dalam kata-katanya. Shiddiqy adalah orang yang benar-benar jujur dalam semua kata-kata, perbuatan dan keadaan batinnya.

Ahmad bin Khadhrawaih mengajarkan, “Barangsiapa ingin agar Allah bersamanya, hendaklah ia berpegang teguh pada kejujuran, sebab Allah swt. bersama-sama orang yang jujur.”

Al-Junayd berkata, “Orang yang jujur berubah empatpuluh kali dalam sehari, sedangkan orang riya’ tetap berada dalam satu keadaan selama empatpuluh tahun.”
Abu Sulaiman ad-Darany mengatakan, “Jika orang yang jujur ingin menggambarkan apa yang ada dalam hatinya, maka lisannya tidak akan mengatakannya.”
Dikatakan, “Bersikap jujur berarti menegaskan kebenaran, meskipun terancam kebinasaan.”

An-Naqqad mengatakan, “Sikap jujur berarti mencegah kedua rahang (syidq) dari mengucapkan apa yang terlarang. ”
Abdul Wahid bin Zaid berkomentar, “Sikap benar adalah kepada Allah swt. dalam tindakan.”

Sahl bin Abdullah mengatakan, “Seorang hamba yang menipu diri sendiri atau orang lain tidak akan mencium harum semerbaknya kebenaran. ”
Abu Sa’id al-Qurasyi mengatakan, “Orang yang jujur adalah orang yang siap mati dan tidak akan malu jika rahasianya diungkapkan. Allah swt. berfirman, “Maka inginkanlah kematian, jika kamu orang orang yang jujur.” (Q.s. Al Baqarah: 94).”

Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq menuturkan, “Suatu hari Abu Ali ats-Tsaqafy sedang memberikan pelajaran, tiba-tiba Abdullah bin Munazil berkata kepadanya, ‘Wahai Abu Ali, siapkanlah diri Anda untuk mati, sebab tidak ada jalan untuk lari darinya.’ Abu Ali menjawab, ‘Dan Anda, wahai Abdullah, siapkanlah diri untuk mati, sebab tidak ada jalan lari darinya.’ Maka di saat itulah Abdullah merebahkan diri, membentangkan kedua tangannya, menundukkan kepalanya dan mengatakan, Aku mati sekarang.’ Abu Ali pun diam terpaku karenanya, dimana dirinya tidak mampu menandingi apa yang dilakukan Abdullah karena Abu Ali masih terpaut pada dunia, sedangkan Abdullah telah terbebas dari ikatan dunia.”

Ahmad bin Muhammad ad-Dainury sedang berbicara di hadapan sekumpulan orang ketika seorang wanita di antara mereka berteriak. Abul Abbas memarahinya dengan kata-kata, ‘Matilah engkau!’ Wanita itu bangkit, maju beberapa langkah, berpaling kepadanya dan berkata, ‘Aku telah mati.’ Kemudian ia jatuh ke tanah dan mati.
Al-Wasithy berkata, “Kejujuran adalah keyakinan yang kokoh terhadap tauhid bersama-sama dengan mati.”

Dikatakan, ‘Abdul Wahid bin Zaid memandang kepada seorang pemuda di antara para sahabatnya, yang bertubuh kurus kering, dan Abdul Wahid bertanya kepadanya, ‘apakah engkau telah terlalu lama memperpanjang puasamu?’ Pemuda itu menjawab, ‘Aku juga. Bukan memperpanjang berbuka.’ Kemudian Abdul Wahid bertanya, ‘Apakah engkau telah memperpanjang waktu bangun untuk shalat malammu?’ Pemuda itu menjawab, ‘Bukan, bukan pula aku telah memperpanjang tidur.’ Lalu Abdul Wahid pun bertanya, Apa yang telah membuatmu begitu kurus?’ Pemuda itu menjawab, ‘Hasrat yang selalu berkobar dan rahasia terpendam yang abadi. ‘Abdul Wahid berseru, ‘Dengarlah, betapa beraninya pemuda ini!’ Pemuda itu lalu berdiri, maju dualangkah dan berteriak, ‘Ya Allah, jika aku memang tulus, ambillah nyawaku sekarang juga!’ lalu ia pun jatuh dan meninggalkan dunia ini.

Abu Amr az-Zujajy menuturkan, “Ibuku meninggal, dan aku mewarisi sebuah rumah beliau. Aku menjualnya dengan harga limapuluh dinar dan kemudian berangkat menunaikan ibadah haji.” Setiba di Babilonia, seorang penggali saluran air bertanya kepadaku, ‘Apa yang engkau bawa?’ Aku berkata dalam hati, ‘Kejujuran adalah yang terbaik’ dan aku menjawab, ‘Uang limapuluh dinar.’ Ia berkata, ‘Serahkanlah kepadaku!’ Maka aku pun memberikan kantong uangku kepadanya. Dihitungnya jumlah semua uang di dalamnya, dan ternyata memang ada limapuluh dinar. Berkatalah ia, ‘Ambillah kembali uangmu! Kejujuranmu menyentuh hatiku.’ Lalu ia turun dari kudanya dan berkata, ‘Naiklah kudaku!’ Aku balik berkata, ‘Aku tidak menginginkannya.’ Ia berkata, ‘Harus …!’ dan terus memaksaku menaiki kudanya. Akhirnya setelah aku bersedia naik di atasnya, ia berkata, ‘Aku di belakangmu.’ Satu tahun kemudian ia berhasil menyusulku, dan tinggal bersamaku hingga akhir hayatnya.”
Ibrahim al-Khawwas menjelaskan, “Orang jujur tidak memandang kecuali kewajiban yang harus ditunaikan, atau ibadat utama bagi Allah swt.”
Al-Junayd berkata, “Inti kejujuran adalah bahwa engkau berkata jujur di wilayah yang apabila seseorang berkata jujur tidak akan selamat kecuali berdusta.”
Dikatakan, “Tiga hal tidak pernah lepas dari seorang: jujur ucapannya, kehadiran yang kharismatis dan pancaran taat di wajahnya. ”
Dikatakan pula, “Allah swt. bersabda kepada Daud as, ‘Wahat Daud, barangsiapa menerima apa yang Kukatakan dengan sejujurnya dalam batinnya, niscaya Aku akan mengukuhkan sifat juiur di kalangan makhluk manusia dalam lahiriahnya’.”

Dikisahkan Ibrahim bin Dawhah memasuki padang pasir bersama Ibrahim bin Sitanbah. Kata Ibnu Dawhah, “Ibnu Sitanbah mengatakan kepadaku, ‘Campakkanlah segala apa yang mengikatmu!’ Aku melemparkan segala sesuatu yang ada padaku, kecuali uang satu dinar. Lalu ia berkata, ‘Wahai Ibrahim, janganlah engkau membebani pikiranku! Campakkanlah keterikatanmu!’ Maka dinar itu pun lalu kulemparkan. Tapi lagi-lagi ia mengatakan, ‘Wahai Ibrahim, campakkanlah keterikatanmu!’ Lalu aku ingat bahwa aku masih memiliki beberapa utas tali sandal cadangan, yang lalu kulemparkan juga. Selanjutnya, dalam perjalananku, setiap kali aku memerlukan tali sandal, maka muncullah seutas tali sandal di hadapanku. Ibrahim bin Sitanbah mengatakan, ‘Inilah orang yang beramal dengan Allah swt. secara jujur’.”
Dzun Nuun al-Mishry berkata, “Kejujuran adalah pedang Allah. Tidak satu pun diletakkan padanya, kecuali akan memotongnya.”
Sahl bin Abdullah mengatakan, ‘Awal pengkhianatan orang-orang jujur adalah munculnya keraguan dengan dirinya.”

Ketika ditanya tentang kejujuran, Fath al-Maushaly memasukkan tangannya ke dalam bara api seorang tukang besi, mengambil sebatang besi yang merah membara, meletakkannya di telapak tangannya dan berkata, “Inilah kejujuran!”
Yusuf bin Asbat berkata, “Aku lebih suka menghabiskan waktu semalam bersamaAllah swt. dalam kejujuran jiwa daripada berperang dengan pedangku dijalan-Nya.”
Abu Ali ad-Daqqaq menegaskan, “Kejujuran adalah seperti engkau menganggap dirimu sebagaimana adanya, atau engkau dilihat seperti apa adanya dirimu.”

Ketika al-Harits al-Muhasiby ditanya tentang tanda-tanda kejujuran, ia menjawab, “Orang yang jujur adalah orang yang manakala tidak peduli akan ketergantungan kalbu manusia kepada dirinya, tidak pula senang atas jasanya kepada manusia untuk dilihat, dan yang tidak peduli apakah popularitasnya di antara manusia akan lenyap. Ia bahkan tidak membenci bila perbuatan buruknya dilihat oleh orang banyak. Jika ia benci, ia perlu menambah imannya. Dan yang demikian itu bukanlah ciri akhlak orang orang jujur.”
Salah seorang Sufi berkomentar, “Jika seseorang tidak memenuhi satu kewajiban agama yang abadi, maka pelaksanaan kewajiban-kewajiban agamanya sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan tidak akan diterima.” Seseorang bertanya, ‘Apakah kewajiban agama yang abadi itu?” Ia menjawab, “Kejujuran.”

Dikatakan, “Jika engkau mencari Allah swt. dalam kejujuran, niscaya Dia akan memberimu cermin yang di dalamnya engkau akan melihat semua keajaiban dunia dan akhirat.”
Dikatakan, “Engkau harus berlaku jujur ketika merasa takut bahwa hal itu akan mencelakakanmu, padahal itu akan bermanfaat bagimu. Janganlah mempu ketika engkau mengira hal itu akan menguntungkanmu, padahal pasti ia akan merugkanmu.”

Dikatakan juga, “Tiap-tiap sesuatu punya arti, tapi persahabatan seorang pendusta tidak berarti apa-apa.”
Dikatakan, “Tanda seorang pendusta adalah kegairahannya untuk bersumpah sebelum hal itu dituntut darinya.”
Ibnu Sirin mengatakan, “Lingkup pembicaraan itu demikian luas hingga (sebetulnya) orang tldak perlu berdusta.
Dikatakan, “Seorang pedagang yang jujur tidak pernah melarat.”

—(ooo)—

Ikhlas

Syeikh Abul Qasim al-Qusyairy

Allah swt. berfirman:
“Ingatlah, hanya kepunyaan Allah lah agama yang bersih (dari syirik).” (Q.s. Az Zumar: 3).

Anas bin Malik r.a. menuturkan bahwa Rasulullah saw. bersabda:
“Belenggu tidak akan masuk ke dalam hati seorang Muslim jika ia menetapi tiga perkara: IkhIas beramal hanya bagi Allah swt, memberikan nasihat yang tulus kepada penguasa, dan tetap berkumpul dengan masyarakat Muslim.” (H.r. Ahmad, dikategorikan shahih oleh Ibnu Hibban dan Ibnu Hajar).

Ikhlas berarti bermaksud menjadikan Allah swt. sebagai satu-satunya sesembahan. Sikap taat dimaksudkan adalah taqarrub kepada Allah swt, mengesampingkan yang lain dari makhluk, apakah itu sifat memperoleh pujian ataupun penghormatan dari manusia. Ataupun konotasi kehendak selain taqarrub kepada Allah swt. semata. Dapat dikatakan, “Keikhlasan berarti menyucikan amal-amal perbuatan dari campur tangan sesama makhluk” Dikatakan juga, “Keikhlasan berarti melindungi diri sendiri dari urusan individu-individu manusia.”

Nabi saw. ditanya, apakah ikhlas itu? Nabi saw. bersabda:
‘Aku bertanya kepada Jibril as. tentang ikhlas, apakah ikhlas itu? Lalu Jibril berkata, Aku bertanya kepada Tuhan Yang Maha Suci tentang ikhlas, apakah sebenarnya?’Allah swt. menjawab, ‘Suatu rahasia dari rahasia-Ku yang Aku tempatkan di hati hamba-hamba-Ku yang Kucintai.” (H.r. Al Qazwini, riwayat dari Hudzaifah).

Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata, “Keikhlasan adalah menjaga diri dari campur tangan makhluk, dan sifat shidq berarti membersihkan diri dari kesadaran akan diri sendiri. Orang yang ikhlas tidaklah bersikap riya’ dan orang yang jujur tidaklah takjub pada diri sendiri.”
Dzun Nuun al-Mishry berkomentar, “Keikhlasan hanya tidak dapat dipandang sempurna, kecuali dengan cara menetapi dengan sebenar-benarnya dan bersabar untuknya. Sedangkan jujur hanya dapat dipenuhi dengan cara berikhlas secara terus-menerus.”
Abu Ya’qub as-Susy mengatakan, “Apabila mereka melihat keikhlasan di dalam keikhlasannya, maka keikhlasan mereka itu memerlukan keikhlasan lagi.”

Dzun Nuun al-Mishry menjelaskan, ‘Ada tiga tanda keikhlasan: Manakala orang yang bersangkutan memandang pujian dan celaan manusia sama saja; melupakan amal ketika beramal; dan jika ia lupa akan haknya untuk memperoleh pahala di akhirat karena amal baiknya.”

Abu Utsman al-Maghriby mengatakan, “Keikhlasan adalah keadaan dimana nafsu tidak memperoleh kesenangan. Ini adalah ikhlas orang awam. Mengenai ikhlas manusia pilihan (khawash), keikhlasan datang kepada mereka bukan dengan perbuatan mereka sendiri. Amal kebaikan lahir dari mereka, tetapi mereka menyadari perbuatan baiknya bukan dari diri sendiri, tidak pula, peduli terhadap amalnya. Itulah keikhlasan kaum pillhan.”
Abu Bakr ad-Daqqaq menegaskan, “Cacat keikhlasan dari masing-masing orang yang ikhlas adalah penglihatannya akan keikhlasannya itu, jika Allah swt. menghendaki untuk memurnikan keikhlasannya, dia akan mengugurkan keikhlasannya dengan cara tidak memandang keikhlasannya sendiri dan jadilah ia sebagai orang yang diikhlaskan Allah swt. (mukhlash), bukannya berikhlas (mukhlish).”

Sahl berkata, “Hanya orang yang ikhlas (mukhlish) sajalah yang mengetahui riya’.”
Abu Sa’id al-Kharraz menegaskan, “Riya’ kaum ‘arifin lebih baik daripada ikhlas para murid.”
Dzun Nuun berkata, “Keikhlasan adalah apa yang dilindungi dari kerusakan musuh.”

Abu Utsman mengatakan, “Keikhlasan adalah melupakan pandangan makhluk melalui perhatian yang terus-menerus kepada Khalik.”
Hudzaifah al-Mar’asyi berkomentar, “Keikhlasan berarti bahwa perbuatan-perbuatan si hamba adalah sama, baik lahir maupun batinnya.”
Dikatakan, “Keikhlasan adalah sesuati yang dengannya Allah swt. berkehendak dan dimaksudkan tulus dalam ucapan serta tindakan.”
Dikatakan pula, “Keikhlasan berarti mengikat diri sendiri pada kesadaran akan perbuatan baik”
As-Sary mengatakan, ” Orang yang menghiasi dirinya di hadapan manusia dengan sesuatu yang bukan miliknya, berarti tercampak dari penghargaan Allah swt.”
Al-Fudhail berkata, “Menghentikan amal-amal baik karena manusia adalah riya’, dan melaksanakannya karena manusia adalah musyrik. Ikhlas berarti Allah menyembuhkanmu dari dua penyakit ini.”

Al-junayd mengatakan, “Keikhlasan adalah rahasia antara Allah dengan si hamba. Bahkan malaikat pencatat tidak mengetahui sedikit pun mengenainya untuk dapat dituliskannya, setan tidak mengetahuinya hingga tidak dapat merusaknya, nafsu pun tidak menyadarinya sehingga ia tidak mampu mempengaruhinya.”
Ruwaym menjelaskan, “Ikhlas dalam beramal kebaikan berarti bahwa orang yang melakukannya tidak menginginkan pahala, baik di dunia maupun di akhirat.”

Dikatakan kepada Sahl bin Abdullah, ‘Apakah hal terberat pada diri manusia?” Ia menjawab, “Keikhlasan, sebab diri manusia tidak punya bagian di dalamnya.”
Ketika ditanya tentang ikhlas, salah seorang Sufi menjawab, “Ikhlas berarti engkau tidak memanggil siapa pun selain Allah swt. untuk menjadi saksi atas perbuatanmu.”

Salah seorang Sufi menuturkan, “Aku menemui Sahl bin Abdullah pada hari jum’at di rumahnya sebelum shalat. Ada seekor ular di rumahnya, hingga aku ragu-ragu berdiri di pintu. Ia berseru, ‘Masuklah! Tidak seorang pun dapat mencapai hakikat iman jika ia masih takut pada sesuatu pun di atas bumi.’ Kemudian ia bertanya, Apakah engkau hendak mengikuti shalat jum’at?’ Aku menjawab, jarak dari sini ke masjid di depan kita adalah sejauh perjalanan sehari semalam.’ Maka Sahl lalu menggandeng tanganku, dan sesaat kemudian kami telah berada di masjid itu. Kami masuk ke dalam dan shalat, kemudian keluar. Sahl berdiri di sana, melihat ke arah orang banyak, dan berkata, ‘Banyak orang mengucapkan Laa i1aaha illallaah, tapi yang ikhlas amatlah sedikit’.”
Makhul berkata, “Tidak seorang pun hamba yang ikhlas selama empatpuluh hari, kecuali akan mendapatkan sumber hikmah memancar dari hati pada lisannya.”

Yusuf bin al-Husain berkomentar, “Milikku, yang paling berharga di atas dunia ini adalah keikhlasan. Betapa seringnya aku telah berjuang untuk membebaskan hatiku dari riya’, namun setiap kali aku berhasil, ia muncul dalam warna yang lain!”
Abu Sulaiman berkata, “Jika seorang hamba berikhlas, maka terpotonglah waswas dan riya’.”

—(ooo)—

Istiqamah

Syeikh Abul Qasim al-Qusyairy

Allah swt. berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, ‘Tuhan kami adalah Allah,’ kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka, ‘Hendaknya kamu sekalian tidak takut dan tidak gelisah, dan hendaknya kamu sekalian bergembira dengan surga yang telah dijanjikan untuk kamu sekalian.” (Q.s. Fushshilat: 30).

Riwayat dari Tsauban, bekas budak Rasulullah saw, menuturkan bahwa Rasulullah saw. bersabda:
“Berteguh-hatilah (istiqamahlah) kamu, meskipun kamu tidak akan mampu melakukan sepenuhnya. Ketahuilah bahwa bagian terbaik dari agamamu adalah shalat, dan tiada seorang yang akan memelihara wudhu, kecuali orang yang beriman.” (H.r. Ahmad, Ibnu Majah, Hakim dan Baihaqi).
Syeikh Ali ad-Daqqaq berkata, “Istiqamah adalah derajat yang menjadikan urusan-urusan seseorang menjadi baik dan sempurna, dan memungkinkannya untuk mencapai manfaat manfaat secara tetap dan teratur. Upaya dan perjuangan orang yang tidak teguh hati akan sia-sia.”

Allah swt. berfirman:
“Dan janganlah kamu seperti seorang wanita yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi ceraiberai kembali.” (Q.s. An Nahl: 92).

Orang yang tidak istiqamah dalam keberadaannya tidak akan pernah meningkat dari satu tahapan ke tahapan maqam berikutnya, dan suluknya tidak akan kokoh. Salah satu persyaratan yang perlu pada awal suluk adalah memenuhi persyaratan-persyaratan istiqamah dalam hukum kepermulaan. Sebagaimana bagi ‘arifin, istiqamah merupakan pangkalnya. Tanda istiqamah dari mereka yang mulai menempuh suluk adalah bahwa amal-amal lahiriah mereka tidak dicemari oleh kesenjangan. Bagi mereka yang berada pada tahap pertengahan (ahlul wasaith) adalah bahwa tidak ada kata “berhenti”. Tanda istiqamah mereka yang berada pada tahap akhir adalah, bahwa tidak ada tabir yang melindungi mereka dari kelanjutan wushulnya.

Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq menjelaskan, ‘Ada tiga derajat istiqamah: Menegakkan segala sesuatu (taqwim), meluruskan segala sesuatu (iqamah), berlaku teguh (istiqamah). Taqwim menyangkut disiplin jiwa; iqamah berkaitan dengan penyempurnaan hati, dan istiqamah berhubungan dengan tindak mendekat kepada Allah dengan jalan sirri.”

Abu Bakr ash-Shiddiq r.a. berkomentar, “Makna firman Nya, ‘… kemudian mereka beristiqamah,’ adalah bahwa mereka tidak menyekutukan Allah swt. dengan sesuatu pun.” Umar bin Khaththab r.a. mengajarkan, “Artinya, mereka tidak mempu orang lain seperti rubah.”

Pendapat Abu Bakr merujuk pada pelaksanaan prinsip-prinsip tauhid, sedangkan pendapat Umar merujuk kepada sikap mencegah diri dari penafsiran penafsiran yang dipaksakan, dan pelaksanaan syarat-syarat perjanjian.

Ibnu Atha’ mengatakan bahwa ayat di atas berarti, “Mereka istiqamah dalam membatasi hati mereka kepada Tuhan.”

Abu Ali al-Juzajany berkata, “Jadilah pemilik istiqamah, bukan pencari karamah. Sebab nafsumu masih berkutat mencari karamah, padahal Allah swt. menuntutmu istiqamah.”

Abu Ali asy-Syabbuwy menuturkan, “Aku bermimpi bertemu dengan Nabi saw, dan aku berkata kepada beliau, ‘Dikabarkan bahwa Paduka bersabda, ‘Surat Huud telah membuat rambutku menjadi putih.’ Apakah (rambut Paduka menjadi putih karena) kisah kisah para Nabi ataukah karena dimusnahkannya ummat ummat (zaman dahulu)?’ Beliau menjawab, ‘Bukan, melainkan karena firman Allah swt.:
“Maka beristiqamahlah kamu sebagaimana kamu telah diperintah!” (Q.s. Huud: 112).”

Dikatakan,”Hanya orang orang besar saja yang dapat memelihara istiqamah, sebab hal ini meninggalkan perkara yang sebelumnya disepakati dan meninggalkan adat serta kebiasaan, menegakkan ketulusan secara esensial di sisi Allah swt. Karena itu, Nabi saw. bersabda, ‘Beristiqamahlah kamu, meskipun kamu sekalian tidak akan mampu melakukan sepenuhnya’!”
Al-Wasithy mengatakan, “Istiqamah adalah sifat akhlak sempurna, tanpa istiqamah akhlak akan menjadi buruk.”

Asy-Syibly berkata, “Istiqamah berarti engkau menghadapi setiap waktu, sebagai wahana bangkitnya. ”
Dikatakan, “Istiqamah dalam berbicara berarti meninggalkan perbuatan menggunjing orang, dalam tindakan berarti menjauhi bid’ah, dalam amal saleh berarti meninggalkan kemalasan dan dalam keadaan (haal) batin ia berarti menyingkap hijab.”

Saya mendengar Syeikh Abu Bakr Muhammad bin al-Hasan bin Furak menjelaskan, “Huruf siin dalam lafadz ‘istiqamah’ adalah siin pencapaian. Artinya, mereka memohon istiqamah dalam bertauhid, kemudian dalam menepati janji, dan dalam menjaga batas-batas perilaku mereka sesuai dengan ketetapan Allah swt.”

Ketahuilah bahwa istiqamah melahirkan ketetapan akan karamah. Allah swt. berfirman:
“Jikalau mereka tetap berjalan lurus (istiqamah) di atas tharikat itu, niscaya Kami akan memberi mereka minum dengan air yang berlimpah.” (Q.s. Al-Jin: 16).

Allah swt. tidak berfirman, “Kami akan membiarkan mereka minum,” melainkan, “Kami akan memberi mereka minum dengan air yang berlimpah,” yang menunjukkan keabadiannya.

Al-junayd berkata, “Aku berjumpa dengan salah seorang penempuh jalan Allah (salik) di padang pasir di bawah sebatang pohon, dialah Ummu Ghailan. Kutanyakan kepadanya, ‘Mengapa Anda duduk di situ?’ Ia menjawab, Ada peristiwa, aku kehilangan sesuatu, dan aku berlalu meninggalkannya. Ketika aku kembali dari ibadat haji, aku bersama pemuda, kutemukan barang tersebut telah berpindah ke sebuah tempat yang lebih dekat ke pohon itu’ Aku bertanya, ‘Mengapa Anda duduk di sini?’ Ia menjawab, Aku telah menemukan apa yang telah kucari di tempat ini jadi tetap saja aku duduk di sini’.” Al-Junayd berkata, “Aku tidak tahu mana yang lebih mulia, kegigihannya karena kehilangan keadaan, atau keteguhan hatinya tinggal di tempat di mana ia telah mencapai kehendaknya.”

—(ooo)—

Iradat

Syeikh Abul Qasim al-Qusyairy

Firman Allah swt.:
“Dan janganlah kamu mengusir orang orang yang menyeru Tuhannya di pagi hari dan di petang hari, sedang mereka menghendaki Wajah Nya.” (Q.s. AI An’aam: 52).

Diriwayatkan oleh Anas ra., bahwasanya Rasulullah saw. bersabda: “Jika Allah menghendaki kebaikan bagi seorang hamba, maka Dia akan mempekerjakannya.” Seseorang bertanya, “Bagaimana Dia mempekejakannya, wahai Rasulullah?” Rasul menjawab, “Dia akan memberinya pertolongan untuk amal saleh sebelum mati.” (H.r. Tirmidzi).
Kehendak (iradat) adalah jalan permulaan para penempuh dan nama tahapan pertama dari mereka yang menempuh jalan menuju Allah swt. Sifat ini disebut “kehendak” (iradat) hanya karena kehendak mendahului setiap masalah sedemikian rupa, sehingga bila seorang hamba tidak menghendaki sesuatu, ia pun tidak akan melakukannya. Manakala hal ini terjadi di awal langkah menuju jalan Allah swt, ia disebut “kehendak” dengan diserupakan pada keinginan yang mendahului semua persoalan.

Seorang murid mendapat sebutan demikian karena ia mempunyai kehendak, sebagaimana halnya seorang ‘alim disebut demikian karena ia mempunyai ilmu. Kedua kata ini (iradat dan ilmu) merupakan isim-isim musytaqat.
Tetapi di lingkungan kaum Sufi, yang menghendaki (murid) identik dengan orang yang tidak berkehendak itu sendiri. Seseorang yang belum menanggalkan kehendak dirinya bukanlah seorang murld. Tetapi dalam pengertian bahasa, orang yang tidak mempunyai kehendak bukanlah seorang murid.
Mayoritas orang telah berbicara tentang makna Iradat, masing-masing mengungkapkan sesuai dengan kecenderungan hatinya. Sebagian besar syeikh menjelaskan, “Iradat adalah berpisah dari praktik-praktik yang menjadi kebiasaan.” Kebiasaan orang banyak adalah menghuni kelalaian, cenderung pada ajakan hawa nafsu, terus menerus mengikuti angan-angan kosong. Akan tetapi, seorang murid terlepas dari semua itu. Keterlepasannya itu sendiri merupakan bukti keabsahan iradatnya. Oleh karenanya, keadaan demikian itu disebut iradat, karena ia terlepas dari praktik-praktik kebiasaan.
Hakikat iradat adalah kebangkitan qalbu dalam mencari Al-Haq. Karena itu dikatakan, bahwa iradat merupakan keterpesonaan yang menyakitkan, yang membuat remeh setiap yang menakutkan.
Sebagian syeikh menuturkan, “Suatu ketika aku hanya seorang diri di padang pasir dan jiwaku merasa sangat tertekan, hingga aku berteriak, ‘Wahai manusia, berbicaralah kepadaku! Wahai jin, berbicaralah kepadaku!’ Lalu sebuah suara gaib berseru kepadaku, ‘Apakah yang engkau kehendaki?’ Aku menjawab, ‘Aku menghendaki Allah swt.’ Suara itu bertanya, ‘Kapankah engkau menghendaki Allah swt.’?”

Maksudnya, orang yang memanggil-manggil manusia dan jin dengan kata-kata, “Berbicaralah kepadaku!” bagaimana ia dapat disebut menghendaki Allah swt.? Padahal sebagai seorang murid tidak akan pernah gentar dalam kehendaknya baik siang maupun malam. Ia berjuang keras secara lahiriah, sementara dalam batinnya menderita. Ia meninggalkan tempat tidurnya, batinnya sibuk sepanjang waktu, menanggung kesulitan hidup, memikul beban, mengembangkan sifat-sifat akhlak yang baik, meraih kerinduan demi kerinduan, memeluk bencana, dan meninggalkan semua bentuk. Seperti yang terkandung dalam sebuah syair:
Kulibas malam dengan gairahnya
tiada harimau dan serigala serigala
yang menakutkan,
Rinduku tenggelam meluapi rahasia batinku
Dan betapa perindu selalu tergulung jiwanya.

Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mengatakah, “Kehendak (iradat) adalah keterpesonaan yang pedih dalam sanubari, sengatan dalam hati, hasrat yang membara dalam sukma, gemuruh dalam batin, dan kilatan-kilatan dalam jiwa.”
Yusuf ibnul Husain menuturkan, “Abu Sulaiman dan Ahmad bin Abu al-Hawary mengadakan perjanjian bahwa Ahmad tidak akan menentang perintah Abu Sulaiman dalam semua hal.

Pada suatu hari ia menemui Abu Sulaiman ketika yang tersebut belakangan ini sedang berbicara di majelisnya. Ahmad melaporkan, ‘Tungku sudah menyala, apa perintahmu?’ Abu Sulaiman diam, tidak menjawab. Ahmad mengulangi perkataannya hingga tiga kali, akhirnya Abu Sulaiman berkata, dengan nada seakan-akan jengkel kepadanya, ‘Pergilah kamu dan duduk diatasnya saja!’
Lalu sejenak ia lupa akan Ahmad. Ketika ingat, Abu Sulaiman segera memerintahkan, ‘Lekas jemput Ahmad! Ia ada di atas tungku, sebab ia telah berjanji pada dirinya untuk tidak menentang perintahku.’ Maka orang orang pun pergi mencari Ahmad, dan mereka menemukannya di dalam tungku, tanpa sehelai rambut pun terbakar.”

Dikatakan, “Di antara sifat sifat murid adalah bahwa ia senang melaksanakan shalat sunnah, ikhlas dalam menasihati ummat, sukacita dalam khalwat, dan sabar dalam menaati aturan, memprioritaskan kepentingan Allah swt, memiliki rasa malu di hadapan Nya, rajin mengerjakan apa yang disenangi-Nya, mengerjakan apa pun yang dapat membawa kepada-Nya, qana’ah dengan menyembunyikan diri dari orang lain, dan hatinya selalu mengalami kegelisahan sampai ia wushul kepada Tuhannya.”
Abu Bakr Muhammad al-Warraq mengatakan, ‘Ada tiga hal yang menyiksa hati seorang murid: Pernikahan, menulis hadis dan perjalanan.” Sescorang bertanya kepadanya, “Mengapa engkau berhenti menulis hadis?” Ia menjawab, “Kehendak mencegahku untuk melanjutkan pekerjaan itu.”
Hatim al-Asham mengajarkan, “Jika engkau datang kepada seorang murid yang menginginkan sesuatu selain yang dikehendaki, yakinlah bahwa ia telah menunjukkan kerendahan dirinya.”

Al-Kattany berkata, “Aturan hidup yang layak bagi seorang murid mencakup hal-hal sebagai berikut: tidur hanya jika sangat mengantuk, makan hanya ketika sangat lapar, dan berbicara hanya manakala terpaksa.”
Al-Junayd mengatakan, “Manakala Allah menghendaki kebaikan bagi seorang murid, Dia akan membawanya ke lingkungan para Sufi dan menjauhkannya dari kaum ulama pembaca buku.”

Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan, “Pangkal iradat, engkau melakukan isyarat menuju Allah swt. dan engkau menernukan Dia dengan isyarat itu.” Saya lalu bertanya, ‘Apakah yang mencakup seluruh persoalan tentang iradat?” Ia menjawab, “Yaitu bahwa engkau menemukan Allah swt. tanpa isyarat.” Ad-Daqqaq menjelaskan, “Seorang murid tidak dapat disebut murid sampai malaikat di sisi kirinya tidak mencatat selama duapuluh tahun.”
Abu Utsman al-Hiry menegaskan, “Jika murid mendengar sesuatu tentang ilmu kaum Sufi, dan mengamalkannya, ilmu itu menjadi hikmah dalam hati hingga akhir hayatnya. Jika ia berbicara tentang hikmah itu, orang yang mendengarnya memperoleh manfaat. Orang yang mendengar sesuatu tentang ilmu mereka, namun tidak berbuat sesuai dengannya, hanyalah sebuah hikayat yang kelak akan dilupakannya.”
Al-Wasithy berkomentar, “Tahapan pertama seorang murid adalah kehendak Allah swt. yang menggugurkan kehendaknya sendiri. ”
Yahya bin Mu’adz mengatakan, “Hal tersulit bagi para murid adalah bergaul dengan orang-orang yang menentang mereka.”
Yusuf bin al Husain mengatakan, “Jika engkau melihat seorang murid terlibat dalam usaha mencari penghidupan serta pekerjaan-pekerjaan halal, tetapi tidak sesuai dengan ketaatan aturan hukum, yakinlah bahwa tidak sesuatu pun hasil yang akan muncul darinya.”

Seseorang bertanya kepada al-Junayd, ‘Apakah baik bagi seorang murid untuk mendengarkan cerita-cerita?” Ia menjawab, “Cerita-cerita adalah salah satu tentara Allah, yang menguatkan qalbu para murid.” Kemudian ditanyakan lagi kepadanya, ‘Adakah dalil yang mendukung ucapanmu itu?” Al-Junayd menegaskan, “Ya, dalilnya adalah firman Allah swt, ‘Dan semua kisah dari Rasul rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu’.” (Q.s. Huud: 120).
Al-Junayd mengatakan, “Seorang murid yang tulus tidak membutuhkan ilmu pengetahuan para ulama.”
Perbedaan antara yang berkehendak (murid) dan yang dikehendaki (murad), bahwa pada hakikatnya setiap murid sesungguhnya adalah juga murad. Jika ia bukan yang dikehendaki Allah swt, niscaya tidak akan menjadi murid, sebab tiada sesuatu pun dapat terjadi kecuali dengan kehendak Allah swt. Selanjutnya, setiap murad adalah juga murid, sebab jika Allah menghendakinya secara khusus, Dia akan menganugerahinya keberhasilan dalam memiliki iradat (terhadap Nya).”
Akan tetapi, kaum Sufi membedakan antara murid dan murad. Menurut mereka, murid adalah seorang pemula, sedangkan murad berada pada pangkalnya.

Murid dibimbing melakukan pekerjaan-pekerjaan yang menguras tenaga dan diterjunkan ke dalam kancah kesulitan; bagi seorang murad, satu perintah dari Allah swt. saja sudah mencukupi, tanpa menimbulkan kesulitan bagi dirinya.
Murid dipaksa untuk bekerja keras, sedangkan murad dianugerahi kenyamanan dan ketentraman. Sunnatullah bagi para penempuh cita cita beraneka ragam: Mayoritas mereka berselaras melalui mujahadah, dan setelah mengalami kesulitan yang berkepanjangan, akhirnya berhasil mencapai kebenaran hakiki yang agung. Tetapi sebagian besar dari mereka yang diperlihatkan keagungan kebenaran hakiki pada awalnya, belum dicapai oleh mereka yang mengerjakan banyak olah ruhani, tetapi sebagian besar dari mereka kembali lagi, dan mujahadah setelah mendapatkan anugerah bersama mereka riyadhah, agar selaras garis garis ketentuannya.
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq menjelaskan, “Murid menanggung, sedangkan murad ditanggung.”

Ia juga berkomentar, “Musa as. Adalah seorang murid sebab beliau berkata, ‘Wahai Tuhanku, lapangkanlah dadaku!’ (Q.s. Thaha: 25). Nabi kita Muhanmad saw. adalah seorang murad, sebab Allah swt. berfirman mengenai diri beliau, ‘Tidakkah Kami telah melapangkan dadamu? Dan Kami telah menghilangkan dari padamu bebanmu, yang memberatkan punggungmu? Dan Kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu?'(Q.s. Al-Insyirah: 1 4).
Nabi Musa as. juga memohon, ‘Ya Tuhanku, tampakkanlah (Diri Mu) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau!’ Allah swt. berfirman, ‘Kamu sekali kali tidak akan sanggup melihat Ku.’ (Q.s. AI-Araf 143). Allah swt. berfirman kepada Nabi kita, ‘Apakah kamu tidak melihat kepada Tuhanmu, bagaimana Dia memanjangkan bayang-bayang?’ (Q.s. Al-Furqan: 45). Kata-kata, ‘Apakah kamu tidak melihat kepada Tuhanmu?’ dan ‘Bagaimana Dia memanjangkan bayangbayang?’ dimaksudkan sebagai tabir bagi cerita yang sebenarnya dan sebagai sarana untuk memperkuat keadaannya.”
Ketika al-Junayd ditanya tentang murid dan murad, ia menjawab, “Murid dikendalikan oleh aturan-aturan dan ketetapan-ketetapan ilmu, sedangkan murad dikendalikan oleh pemeliharaan dan perlindungan Allah swt. Murid berjalan; sedang murad terbang. Sanggupkah manusia pejalan mampu menyusul yang terbang?”
Dzun Nuun mengirim seseorang kepada Abu Yazid dengan pesan,
“Tanyakan kepada Abu Yazid, ‘Berapa lama tidur dan kesantaian ini, padahal kafilah telah berlalu?’ Abu Yazid mengirimkan jawabannya, ‘Katakan kepada saudaraku Dzun Nuun, ‘Seorang laki-laki adalah yang tidur sepanjang malam kemudian bangun diperhentian sebelum kafilah tiba.’ Dzun Nuun berseru, ‘Hebat dia! Inilah ucapan yang belum sampai pada keadaan kita’.”

—(ooo)—

Ubudiyah

Syeikh Abul Qasim al-Qusyairy

Allah swt. berfirman:
“Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu keyakinan.” (Q.s. AI Hijr: 99).

Diriwayatkan oleh Abu Sa’id al Khudry dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda:
“Ada tujuh golongan manusia yang akan dinaungi Allah swt. dalam naungan-Nya pada hari ketika tidak ada naungan selain naungan-Nya: Imam yang adil; pemuda yang bersemangat dalam ibadat kepada Allah swt.; seseorang yang hatinya berkait dengan masjid sejak saat ia keluar hingga kembali (ke masjid); dan dua orang yang saling mencintai karena Allah, yang bertemu dan berpisah karena Allah; seseorang yang mengingat Allah swt. hingga air matanya mengalir, serta seseorang yang digoda seorang wanita baik dan cantik, lantas menjawab dengan ucapan, Aku takut kepada Allah Tuhan semesta alam,’, dan seseorang yang bersedekah dengan diam diam hingga tangan kirinya tidak tahu apa yang diberikan oleh tangan kanannya.” (H.r. Bukhari Muslin2, Tirmidzi dan Nasa’i).

Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan, “Ubudiyah adalah lebih sempurna daripada ibadat. Karena itu, pertama tama adalah ibadat, lalu ubudiyah, dan akhimya abudah. Ibadat adalah amalan kaum awam, ubudiyah adalah amalan kaum terpilih (khawash), dan abudah adalah amalan kaum yang sangat terpilih (khawashul khawash).”

Beliau juga mengatakan, “Ibadat adalah untuk orang yang memiliki ilmul yaqin, ubudiyah untuk orang yang memiliki ‘ainul yaqin dan abudah untuk orang yang memiliki haqqul yaqin.”

Beliau juga berkomentar, “Ibadat adalah untuk orang yang sedang berjuang keras (mujahadah), ubudiyah untuk orang yang sangat tahan menanggung kesukaran (mukabidat), dan abudah adalah sifat ahli musyahadah. Jadi, orang yang tidak mengeluh kepada Allah, jiwanya berada dalam keadaan ibadat, dan siapa yang tidak bakhil jiwanya dialah pemilik ubudiyah, dan siapa yang tidak bakhil ruhnya, dialah pemilik abudah.”

Dikatakan, “Ubudiyah adalah menegakkan tindak tindak ketaatan yang sejati, dengan khusyu’, memandang diri dengan mata yang terbatas, dan menyadari bahwa amal amal kebajikan hanya dapat terlaksana berkat ketentuan takdir.”
Dikatakan pula, “Ubudiyah berarti meninggalkan ikhtiar sendiri ketika menghadapi takdir Ilahi.”

Dikatakan pula, “Ubudiyah adalah mengosongkan diri dari keyakinan akan kekuatan dan kemampuan diri sendiri dan mengakui kekayaan serta anugerah yang diberikan Nya kepadamu.”
Juga dikatakan, “Ubudiyah adalah menyambut apa pun perintah yang diberikan kepadamu dan memisahkan dirimu dari apa pun yang engkau dilarang atasnya.”

Muhammad bin Khafif ditanya, “Bilakah ubudiyah itu sah?” Ia menjawab, “Apabila seseorang telah menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah swt. dan memiliki kesabaran terhadap-Nya dalam menjalani cobaan Nya.”
Sahl bin Abdullah mengatakan, “Bagi siapa pun, ubudiyah tidaklah shahih sampai ia tidak mempedulikan empat hal: Kelaparan, ketelanjangan, kemiskinan dan kehinaan.”
Dikatakan, “Ubudiyah adalah hendaknya engkau menyerahkan diri sepenuhnya kepada-Nya dan menanggungkan segala perbuatan kepada-Nya.”
Dikatakan pula, “Salah satu tanda ubudiyah adalah bahwa engkau meninggalkan angan angan sendiri dan mempersaksikan takdir.”
Dzun Nuun al Mishry menjelaskan, “Ubudiyah adalah bahwa engkau menjadi hamba-Nya dalarn setiap kondisi, seperti halnya Dia adalah Tuhanmu di setiap kondisi.”

Ahmad jurairy menjelaskan, “Penghamba kenikmatan banyak sekali, tapi sedikit sekali yang menjadi penghamba Sang Pemberi nikmat.
Syeikh Abu Ali ad Daqqaq mengatakan, “Engkau akan menjadi hamba dari siapa pun yang mengikatmu. Jika engkau terikat kepada dirimu sendiri, maka engkau akan menjadi hamba bagi dirimu sendiri. Jika engkau terikatpada kehidupan duniawi, maka engkau akan menjadi hamba bagi kehidupan duniawimu.”

Rasulullah saw. bersabda:
“Celakalah hamba dirham, celakalah hamba dinar, celakalah hamba pakaian bagus.”
Abu Ali al Jurjany berkata, “Merasa ridha adalah rumah ubudiyah. Sabar adalah pintunya, penyerahan total adalah rumahnya. Suara di atas pintu, kegaduhan di dalam tempat tinggal, dan keringanan jiwa ada di rumah.”

Syeikh Abu Ali ad Daqqaq mengatakan, “Sebagaimana rububiyah sebagai sifat Allah swt. yang tak pernah sirna, maka ubudiyah adalah sifat hamba yang tak pernah pisah. Sebagian Sufi bersyair: jika kau tanya padaku, aku berkata, “Indah, aku hamba-Nya.” Dan jika mereka tanya kepada-Nya, Dia berkata, “Indah, dia hamba Ku.”

An Nashr Abadzy menegaskan, “Amal amal ibadat lebih dekat pada pencarian maaf dan ampunan atas kekurangan kekurangan daripada permohonan imbalan dan pahala.” Ia juga mengatakan, “Ubudiyah berarti kehilangan kesadaran akan pengabdian ketika menyaksikan Yang Maha Disernbah. ”
Al junayd mengatakan, “Ubudiyah adalah meninggalkan semua aktivitas dan kesibukan dengan cara menyibukkan diri pada hal hal yang merupakan dasar kebebasan.”

—(ooo)—

Ridho

Syeikh Abul Qasim al-Qusyairy

Allah swt. berfirman:
“Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha kepadaNya.” (Q.s. Al Maidah: 119; Al Bayyinah: 8)

Jabir r.a. mengabarkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Para penghuni surga akan berada di dalam sebuah majelis ketika suatu cahaya dari pintu gerbang surga menyinari mereka. Mereka akan mengangkat kepala dan Allah swt. akan memandang mereka dan berfirman, “Wahai penghuni surga, mintalah kepada Ku apa yang kalian menginginkan!” Mereka akan menjawab, ‘Kami mohon agar Engkau ridha kepada kami.’ Allah swt. menjawab, ‘Keridhaan Ku telah membawa kalian ke rumah Ku, dan Aku telah memberi kalian kemuliaan Ku. Ini adalah saat yang tepat, maka bermohonlah kepada Ku!’ Mereka menjawab, ‘Kami memohon tambahan selain ini’.”

Selanjutnya Rasul saw. bersabda, “Kemudian mereka akan dibawakan kendaraan istimewa dari mutu manikam, kendalinya dari zamrud hijau dan manikam merah. Mereka menaikinya, dan kendaraan itu akan melesat cepat melebihi kecepatan penglihatan mata. Lalu Allah swt. memerintahkan buah-buahan yang lezat serta bidadari supaya dibawa kepada mereka, dan para bidadari itu akan berkata, ‘Kami adalah penghibur kenikmatan yang gemulai, dan kami tidak akan menjadi layu. Kami abadi dan tidak akan mati. Jodoh bagi kaum beriman yang mulia.’ Selanjutnya Allah akan memerintahkan agar didatangkan minyak misik putih yang harum semerbak, dan mereka akan berputar berkeliling dibawa angin yang disebut ‘al-Mutsirah’ sampai akhirnya mereka dibawa ke Surga ‘Adn, yang merupakan pusat surga. Para malaikat akan menyerukan, ‘Wahai Tuhan kami, mereka telah datang.’ Allah swt. berfirman, ‘Selamat datang orang-orang yang benar, selamat datang orang-orang yang taat’!”

Lalu Rasulullah saw. bersabda, “Maka tabir pun akan disingkapkan bagi mereka. Mereka akan memandang kepada Allah swt, dan mereka akan menikmati Cahaya Yang Maha Pengasih hingga mereka tidak akan melihat satu sama lain. Kemudian Allah swt. memerintahkan, ‘Kembalikanlah mereka ke istana-Istana mereka dengan hadiah’!”

Rasulullah saw. melanjutkan, “Mereka akan dibawa kembali ke tempat tinggal mereka dan akan dapat saling pandang lagi.” Lalu Rasulullah saw. menjelaskan, “Itulah yang dimaksud dengan firman Allah swt, ‘Sebagai hadiah dari Tuhan Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Q.s. Fushshilat: 32).” (H.r. Ibnu an Najjar dan al Bazzar).

Ulama Irak dan Khurasan berbeda pendapat mengenai ridha. Apakah ia termasuk keadaan ruhani (ahwaal) ataukah maqam? Ulama Khurasan mengatakan, “Ridha adalah salah satu maqam, sebagai puncak dari tawakkal kepada Allah swt. Ini berarti bahwa ridha dapat dicapai oleh si hamba dengan upayanya sendiri.”

Sedang ulama Iraq mengatakan, “Ridha adalah salah satu ahwal, bukan sesuatu yang diperoleh dengan upaya si hamba. Ridha adalah sesuatu yang memasuki hati, seperti halnya haal-haal yang lain.”
Sebuah kompromi antara dua pandangan ini dapat diajukan, dengan pernyataan demikian, ‘Awal ridha adalah sesuatu yang dicapai oleh si hamba dan merupakan maqam, meskipun pada akhirnya ridha merupakan kondisi ruhani (haal) dan bukan sesuatu yang diperoleh dengan upaya.”
Banyak orang berbicara tentang ridha, masing masing mengungkapkan keadaan dan konsumsi ruhaninya. Maka ungkapan pendapat mereka berbeda-beda, sebagaimana berbedanya pengalaman meneguk ruhani dan bagian masing-masing.

Sementara syarat ilmu, maka menjadi keharusan. Orang yang ridha dengan Allah swt. adalah orang yang sama sekali tidak menentang takdir Nya.
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan, “Ridha bukanlah bahwa engkau tidak mengalami cobaan, ridha hanyalah bahwa engkau tidak berkeberatan terhadap hukum dan qadha Allah swt.”

Ketahuilah, kewajiban bagi hamba adalah rela terhadap ketentuan Allah swt. yang telah diperintahkan agar ia ridha dengannya. Sebab tidaklah setiap ketentuan itu mengharuskan ia ridha, atau boleh ridha dengan qadha tersebut, misalnya kemaksiatan dan banyaknya fitnah yang menimpa kaum Muslimin.
Para syeikh berkomentar, “Keridhaan adalah gerbang Allah swt. yang terbesar.” Maksud mereka adalah, bahwa barangsiapa mendapat kehormatan dengan ridha, berarti ia telah disambut dengan sambutan paling sempurna dan dihormati dengan penghormatan tertinggi.”
Abdul Wahid bin Zaid menjelaskan, “Keridhaan adalah gerbang Allah yang teragung dan surga dunia.”

Ketahuilah bahwa si hamba tidak akan mendekati derajat ridha kecuali Allah swt. ridha terhadapnya, sebab Allah swt. telah berfirman, “Allah rldha kepada mereka, dan mereka pun rela kepada Nya.” (Q.s. Al Maidah: 119).
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq menuturkan, “Seorang murid bertanya kepada gurunya, Apakah si hamba mengetahui jika Allah ridha kepadanya?’ Sang guru menjawab, ‘Tidak, bagaimana dapat mengetahuinya, sedang ridha-Nya gaib?’ Si murid berkata, ‘Sungguh ia tahu hal itu! jika aku mendapati hatiku ridha kepada Allah swt, maka aku tahu bahwa Dia ridha kepadaku.’ Maka sang guru lalu berkata, ‘Sungguh baik sekali ucapanmu itu, anak muda’. ”
Ketika Musa as. berdoa, “Ilahi, bimbinglah aku kepada amal yang mendatangkan keridhaan Mu.” Allah swt. menjawab, “Engkau tidak akan mampu melakukannya.” Musa bersujud dan terus memohon. Maka Allah swt. lalu mewahyukan kepadanya, “Wahai putra Imran, keridhaan Ku ada pada keridhaanmu menerima ketetapan Ku.”

Abu Abdurrahman ad-Darany mengatakan, “Jika si hamba membebaskan dirinya dari ingatan terhadap hawa nafsu, maka ia akan mencapai ridha.”
An-Nashr Abadzy menegaskan, “Barangsiapa ingin mencapai derajat kerelaan, hendaklah berpegang teguh apa apa yang padanya Allah telah menempatkan keridhaan-Nya.”
Abu Abdullah bin Khafif menjelaskan, “Ada dua macam ridha: Ridha dengan Allah swt. dan ridha terhadap apa yang datang dari-Nya. Ridha dengan Allah swt, berarti bahwa si hamba rela terhadap-Nya sebagai Pengatur. Dan ridha terhadap apa yang datang dari Nya berkaltan dengan apa yang telah ditetapkan Nya.”

Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan, “Jalan sang pengembara ruhani (salikin) itu lebih panjang, dan itulah jalan olah ruhani, jalan kaum terpilih (khawash) lebih singkat, tapi lebih sulit dan menuntut agar engkau bertindak sesuai dengan keridhaan dan juga ridha dengan takdir.”
Ruwaym mengatakan, “Keridhaan adalah jika Allah meletakkan neraka jahanam di tangan kanannya, maka ia tidak akan meminta agar Dia memindahkannya ke tangan kirinya.”
Abu Bakr bin Thahir berkomentar, “Keridhaan adalah menghilangkan kesedihan dari hati hingga tidak sesuatu pun yang tinggal selain kebahagiaan dan kegembiraan.”

Al-Wasithy mengajarkan, “Manfaatkanlah keridhaan sebesar-besarnya, dan jangan biarkan ia memanfaatkan dirimu, agar kemanisan dan wawasannya tidak menabirimu dari kebenaran batin yang menyangkut penglihatanmu.”
Ketahuilah bahwa kata-kata al-Wasithy tersebut sangat penting. Di dalamnya terdapat peringatan yang tersirat bagi ummat sebab ridha terhadap keadaan ruhani belaka merupakan tabir yang menabiri Si Pemberi derajat keadaan ruhani. Jika seseorang menemukan kesenangan dalam ridha dan mengalami nikmatnya ridha dalam hatinya, maka ia telah tertabiri oleh keadaannya sendiri dari musyahadah kebenaran batin. Al-Wasithy juga mengingatkan, “Waspadalah terhadap perasaan nikmat karena amal ibadat, sebab itu adalah racun yang membawa maut. ”

Ibnu Khafif berkata, “Ridha adalah tenangnya hati dengan ketetapan Allah swt. dan keserasian hati dengan apa yang menjadikan Allah swt. ridha dan dengan apa yang dipilih Nya.”
Ketika Rabi’ah al-Adawiyah ditanya, “Bilakah seorang hamba dipandang ridha?” Ia menjawab, ‘Apabila baginya penderitaan sama menggembirakannya dengan anugerah nikmat.”

Diceritakan bahwa asy-Syibly menegaskan di hadapan al-junayd, “Tidak ada daya dan kekuatan selain dengan Allah, (laa haula wa laa quwwata illa billaah),” dan al-Junayd mengatakan kepadanya, “Ucapanmu itu merupakan ungkapan dada yang sempit, dan dada sempit (sedih) karena meninggalkan ridha pada ketentuan Nya.” Asy-Sylbly lalu terdiam.
Abu Sulaiman ad-Darany mengatakan, “Ridha adalah jika engkau tidak meminta surga kepada Allah swt. atau berlindung kepada Nya dari neraka.”

Dzun Nuun al-Mishry menjelaskan, ‘Ada tiga tanda ridha, tidak punya pilihan sebelum diputuskannya ketetapan (Allah), tidak merasakan kepahitan setelah diputuskannya ketetapan, dan tetap merasakan gairah cinta di tengah tengah cobaan.”

Dikatakan kepada al-Husain putra Ali bin Abu Thalib ra, “Abu Dzar mengatakan, ‘Kemiskinan lebih kucintai daripada kekayaan, dan sakit lebih kucintai daripada kesehatan.’ Al-Husain menjawab, ‘Semoga Allah mengasihani Abu Dzar. Kalau aku sendiri, berpendapat, ‘Orang yang menaruh pilihan baik Allah swt. baginya, tidak akan berkeinginan selain dari apa yang telah dipilihkan Allah swt. baginya’.”
Al Fudhail bin ‘Iyadh mengatakan kepada Bisyr al-Hafi, “Ridha adalah lebih baik daripada hidup zuhud di dunia ini, sebab orang yang rela tidak pernah berkeinginan akan sesuatu di luar keadaannya.”

Ketika Abu Utsman ditanya tentang sabda Nabi saw, ‘Aku memohon kepada Mu ridha setelah diputuskannya ketetapan-Mu. ” Dijelaskannya, “Ini karena ridha sebelum diputuskannya ketetapan Allah, berarti adanya niat kuat untuk ridha, tetapi ridha setelah diputuskannya ketetapan adalah ridha itu sendiri.”
Abu Sulaiman berkata, “Seandainya aku ingin mengetahui sebagian kecil saja tentang ridha. Sekalipun itu akan menyebabkan aku masuk ke neraka, aku akan menjadi orang yang ridha.”

Abu Umar ad-Dimasyqi mengatakan, “Ridha adalah hilangnya kesedihan terhadap perintah yang mana pun.”
Al-Junayd berkata, “Ridha berarti meniadakan pilihan.”
Ibnu Atha’ menegaskan, “Ridha adalah mengarahkan perhatian hati pada berlalunya qadha bagi si hamba, yaitu meninggalkan ketidak senangan terhadapnya.”
Ruwaym berkata, “Ridha, tenangnya hati dalam menjalani ketetapan (Allah).”
An-Nury mengatakan, “Ridha adalah senangnya hati atas pahitnya nasib.”
AI-Jurairy mengatakan, “Barangsiapa ridha tanpa batas, Allah swt. akan mengangkat derajaatnya di luar batas.”

Abu Turab an-Nakhsyaby menjelaskan, “Siapa pun tidak akan pernah mendapatkan ridha manakala dalam hatinya ada seberat biji sawi dunia.”
Diriwayatkan oleh al-Abbas bin Abdul Muthallb, bahwa Rasulullah saw. menjelaskan, “Orang yang ridha Allah sebagai Tuhannya, akan merasakan nikmatnya iman.” (H.r. Muslim, Tirmidzi dan Ahmad).

Diceritakan bahwa Umar bin Khaththab menulis surat kepada Abu Musa al Asy’ary, “Amma ba’du… Bahwa segala kebaikan terletak didalam keridhaan. Maka jika engkau mampu jadilah orang yang ridha; jika tidak mampu, jadilah orang yang sabar.”
Dalam sebuah kisah disebutkan, bahwa Utbah al-Ghulam biasa menghabiskan malam malamnya hingga pagi dengan berucap, “jika Engkau menghukumku, aku akan mencintai Mu, dan jika Engkau mengasihi aku, aku pun tetap mencintai Mu.”
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq menuturkan, “Manusia dibuat dari lempung, dan lempung itu tiada bernilai untuk menentang keputusan Allah swt.”

Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata, “Seorang laki-laki marah kepada salah seorang budaknya, maka si budak lalu minta bantuan seorang laki-laki lainnya untuk menjadi penengah. Ketika tuannya telah memaafkannya, si budak lalu menangis, dan si penengah bertanya, ‘Mengapa engkau menangis, sedangkan tuanmu telah memaafkanmu?’ Si tuan berkata kepadanya, ia menginginkan ridhaku, dan tidak ada jalan lagi baginya untuk memperolehnya. Karena itu ia menangis ‘. ”

—(ooo)—

Muroqobah

Diriwayatkan dalam suatu hadist, bahwa malalkat jibril datang kepada Rasulullah saw. dalam rupa sebagai seorang manusia. Ia bertanya:
‘Wahai Muhammad, apakah iman itu?” Beliau menjawab, ‘Iman adalah bahwa engkau percaya kepada Allah swt, para malaikat Nya, kitab kitab Nya, utusan utusan Nya, dan kepada takdir yang baik maupun yang buruk, yang manis maupun yang pahit”. Jibril berkata, “Engkau benar.” Jarir (perawi hadis ini) berkata, “Kami semua heran atas penegasannya terhadap kebenaran jawaban Nabi, sedangkan Jibril sendiri yang bertanya.. Kemudian Jibril bertanya lagi, “Katakanlah kepadaku, apakah Islam itu?” Nabi saw. menjawab, “‘Islam yaitu hendaknya engkau menegakkan shalat, membayar zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan dan melaksanakan ibadat haji ke Baitullah”. Jibril berkata, “Engkau benar.” Kemudian ia bertanya lagi, “Katakanlah kepadaku, apakah ihsan ‘ itu?” Nabi menjawab, “Ihsan yaitu hendaknya engkau menyembah Allah seolah olah engkau melihat Nya, (namun) jika engkau tidak melihat Nya, sesungguhnya Dia melihatmu.” Jibril berkata, “Engkau benar”. (H.r. Muslitri, Tirmidzi, Abu Dawud dan Nasa’i).
Syeikh Ali ad Daqqaq berkomentar, bahwa sabda Nabi saw, “jika engkau tidak melihat Nya, sesungguhnya Dia melihatmu,” merupakan petunjuk mengenal keadaan mawas diri kepada Allah swt. (muraqabah)”, sebab, mawas diri adalah kesadaran si hamba bahwa Allah senantiasa melihat dirinya. Tetapnya ia dalam kesadaran ini merupakan muraqabah kepada Allah swt, dan milah sumber kebaikan baginya. Ia hanya akan sampai kepada muraqabah ini setelah sepenuhnya melakukan perhitungan dengan dirinya sendiri mengenai apa yang telah terjadi di masa lampau, memperbaiki keadaannya di masa kini, tetap berteguh di jalan yang benar, memperbaiki hubungannya dengan Allah swt. dengan sepenuh hati, menjaga diri agar setiap saat senantiasa ingat kepada Allah swt, taat kepada Nya dalam segala kondisi. Baru setelah ia mengetahui keadaan keadaannya, Dia melihat perbuatannya, dan Dia mendengar perkataannya. Orang yang alpa akan semua hal ini, ia akan jatuh dari titik awal wushul, lalu bagaimana ia akan mencapai taqarrub?
Al Jurairy berkata, “Orang yang belum mengukuhkan rasa takwa dan muraqabah dirinya kepada Allah swt. tidak akan mencapai mukasyafah dan musyahadah.”

Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq semoga Allah merahmatinya berkata, “Suatu ketika ada seorang raja mempunyai seorang menteri yang mendampingi di hadapannya. Sang menteri berpaling kepada salah seorang pelayan yang hadir, bukan karena curiga, tapi karena merasa adanya bisik bisik di antara para pelayan itu. Kebetulan sang raja juga sedang memperhatikan menterinya itu. Sang menteri khawatir bila sang raja akan mengira ia melihat kepada para pelayan itu karena curiga. Karena itu, sang menteri tetap mengarahkan pandangannya kepada mereka. Sejak hari itu sang menteri selalu datang kepada raja dengan mata memandang ke satu sisi. Inilah mawas diri seorang manusia terhadap sesamanya; maka bagaimana pula halnya mawas diri hamba terhadap Tuhannya?”

Saya mendengar salah seorang fakir mengabarkan, “Ada seorang raja mempunyai seorang pelayan yang mendapat perhatian lebih dari pelayan lainnya. Tidak seorang pun di antara mereka yang lebih berharga atau lebih tampan dari pelayan yang satu itu. Sang raja ditanya tentang hal ini, maka ia lalu ingin menjelaskan kepada mereka kelebihan pelayannya tersebut dari pelayan lainnya dalam pengabdian. Suatu hari ia sedang menunggang kuda bersama para pengiringriya. Di kejauhan tampak sebuah gunung bersalju. Sang raja menatap ke arah salju itu dan membungkukkan kepala. Si pelayan lalu memacu kudanya. Orang orang tidak tahu mengapa si pelayan memacu kudanya. Tidak lama kemudian ia kembali dengan membawa sedikit salju. Sang raja bertanya kepadanya, ‘Bagaimana engkau tahu bahwa aku menginginkan salju?’ Si pelayan menjawab, ‘Karena paduka menatapnya terus, dan seorang raja hanya melihat sesuatu jika mempunyai niat yang benar.’ Maka sang raja lalu berkata, ‘Aku memberinya anugerah dan kehormatan khusus, karena bagi setiap orang ada pekerjaannya sendiri, dan pekerjaannya adalah mengamati pandangan mataku dan memperhatikan keadaanku’.”
Salah seorang Sufi berkomentar, “Orang yang muraqabah kepada Allah dalam benaknya, niscaya Allah swt. akan menjaga anggota badannya.”
Ketika Abul Husain bin Hind ditanya, “Kapankah seorang gembala mengusir domba dombanya dari padang kebinasaan dengan. tongkat penjagaannya?.” Ia menjawab, “Manakala ia tahu bahwa seseorang sedang memperhatikannya.”

Ketika Ibnu Umar r.a. sedang berada dalam perjalanan, ia melihat seorang anak laki laki sedang menggembalakan kambing. Ibnu Umar bertanya kepadanya, “Maukah engkau menjual seekor kambingmu kepadaku?” Si anak menjawab, “Kambing kambing ini ini bukan milikku.” Ibnu Umar berkata, “Katakan saja kepada pemiliknya bahwa seekor serigala telah melarikannya.” Si anak berkata, “Lantas, di mana Allah?” Setelah kejadian itu, untuk beberapa waktu lamanya Ibnu Umar selalu mengatakan, “Budak itu berkata, ‘Di mana Allah’?”
Al Junayd berkata, “Barangsiapa mewujudkan muraqabah, hanyalah takut akan hilangnya bagian dari Allah swt, tidak yang lain.”

Salah seorang syeikh mempunyai beberapa orang murid, dan ia lebih menyukai salah seorang muridnya dan memberinya perhatian lebih daripada murid murid yang lain. Ketika ditanya tentang hal itu, ia menjawab, “Aku akan menunjukkan kepadamu mengapa aku bersikap demikian terhadapnya.” Lalu diberikannya kepada setiap orang muridnya seekor burung dan memerintahkan kepada mereka, “Sembelihlah burung burung itu di suatu tempat di mana tidak seorang pun akan melihatnya!” Mereka semua lalu berangkat, kemudian masing masing kembali dengan burung sembelihannya. Tetapi murid kesayangan itu kembali dengan membawa burung pemberian sang syeikh yang masih dalam keadaan hidup. Ketika syeikh bertanya, “Mengapa engkau tidak menyembelihnya ?” Si murid menjawab, “Tuan memerintahkan saya untuk menyembelih burung ini di tempat yang tidak dilihat oleh siapa pun, dan saya tidak bisa menemukan tempat seperti itu.” Mendengar jawaban muridnya itu, sang syeikh lalu berkata kepada murid murld yang lain, “Inilah sebabnya mengapa aku lebih memberikan perhatian kepadanya.”
Dzun Nuun al Mishry mengatakan, “Tanda muraqabah adalah memilih apa yang dipilih oleh Allah swt, menganggap besar apa yang dipandang besar oleh Nya dan menganggap remeh apa yang dipandang Nya remeh.”
Ibrahim an Nashr Abadzy menegaskan, “Harapan (raja’) mendorongmu untuk taat, takut (khauf) menghindarkanmu dari maksiat; dan muraqabah diri membawamu kepada jalan kebenaran hakiki.”

Ketika ditanyakan kepada Ja’far bin Nashr mengenai muraqabah, ia berkata kepada saya, “Muraqabah adalah menjaga diri terhadap sirri dikarenakan adanya kesadaran akan pengawasan Allah swt. terhadap setiap bisikan.”
Al jurairy menjelaskan, “Jalan kita di bangun atas dua bagian, yaitu hendaknya engkau memaksa jiwamu untuk muraqabah terhadap Allah swt. dan hendaknya ilmu tampak dalam perilaku lahiriahmu.”
Abdullah al Murta’isy berkomentar, “Muraqabah adalah menjaga diri atas batin sendiri dikarenakan kesadaran akan Yang Gaib dalam setiap pandangan dan ucapan.”

Ketika Ibnu Atha’ ditanya, ‘Amal ibadat apakah yang paling baik?
Ia menjawab, “Muraqabah terhadap Allah swt. di setiap waktu.”
Ibrahim al Khawwas berkata, “Kemawasan diri menghasilkan muraqabah; muraqabah menghasilkan ketulusan batin dan lahir, semata kepada Allah swt.”
Abu Utsman al Maghriby menegaskan, “Disiplin paling utama pada diri manusia dalam menempuh tharikat ini adalah introspeksi dan muraqabah, sedang aplikasinya dengan ilmu.”

Abu Utsman menuturkan, “Abu Hafs mengatakan kepadaku, ‘Manakala engkau duduk mengajar orang banyak, jadilah seorang penasihat kepada hati dan jiwamu sendiri dan jangan biarkan dirimu tertipu oleh berkumpulnya mereka di sekelilingmu, sebab mereka hanya memperhatikan wujud lahiriahmu, sedangkan Allah swt. memperhatikan wujud batinmu’.”

Abu Sa’id al Kharraz mengabarkan, “Salah seorang syeikh mengatakan kepadaku, ‘Engkau harus mengawasi batinmu dan bermawas diri terhadap Allah. Suatu ketika aku sedang bepergian melalui padang pasir, dan tiba tiba aku mendengar suara keras yang menakutkan di belakangku. Aku ingin menoleh, tapi hal itu tak kulakukan. Lalu. aku melihat sesuatu jatuh ke atas pundakku, dan aku menoleh, sedang aku menjaga batinku, lantas aku menoleh dan kulihat seekor binatang buas yang besar’.”

Muhammad al Wasithy berkata, “Amal ibadat terbaik adalah menjaga waktu. Artinya, si hamba tidak melihat ke luar batas dirinya, tidak memikirkan sesuatu pun selain Tuhannya, dan tidak menyertakan diri dengan sesuatu pun selain waktunya.”

—(ooo)—

BERSABAR


Allah swt. berfirman:
“Bersabarlah, dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah.” (Q.s. An Nahl: 127).

Diriwayatkan oleh Abu Hurairah, bahwa Aisyah menuturkan hadis berikut ini dari Rasulullah saw. yang bersabda:
“Sabar (yang sebenarnya) itu adalah pada saat menghadapi cobaan yang pertama.” (H.r. Bukhari, Tirmidzi dan Nasa’i).

Kemudian sabar dibagi dalam beberapa macam: Sabar terhadap apa yang diupayakan, dan sabar terhadap apa yang tanpa diupayakan.
Mengenai sabar dengan upaya, terbagi menjadi dua: Sabar dalam menjalankan perintah Allah dan sabar dalam menjauhi larangan Nya. Mengenai sabar terhadap hal hal yang tidak melalui upaya dari si hamba, maka kesabarannya adalah dalam menjalani ketentuan Allah yang menimbulkan kesukaran baginya.

Al-Junaid menegaskan, “Perjalanan dari dunia ke akhirat adalah mudah bagi orang beriman, tetapi hijrahnya di sisi Allah swt. adalah sulit. Dan perjalanan dari diri sendiri menuju Allah swt. adalah sangat sulit, tetapi yang lebih sulit lagi adalah bersabar bersama Allah swt.”
Ketika ditanya tentang sabar, al-Junaid menjawab, “Sabar adalah meneguk kepahitan tanpa wajah cemberut.”

Ali bin Abu Thalib r.a. mengatakan, “Hubungan antara sabar dengan iman adalah seperti hubungan antara kepala dengan badan.”
Abul Qasim al Hakim menjelaskan, “Firman Allah swt, ‘Dan bersabarlah,’ adalah perintah untuk beribadat, dan firman Nya, ‘Dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah,’ (Q.s. An Nahl: 127) adalah untuk ubudiyah. Barangsiapa naik dari derajat ‘bagi Mu’ menuju derajat ‘dengan Mu’, maka ia telah beralih dari derajat ibadat ke ubudiyah. Rasulullah saw. bersabda:
“Dengan Mu aku hidup dan dengan Mu aku mati’.”

Abu Sulaiman tentang sabar, dan ia mengatakan, “Demi Allah, kita tidak dapat bersabar dengan apa yang kita sukai, jadi bagaimana pula halnya dengan apa yang tidak kita sukai?”

Dzun Nuun berkata, “Sabar adalah menjauhi pelanggaran dan tetap bersikap rela sementara merasakan sakitnya penderitaan, dan sabar juga menampakkan kekayaannya ketika ditimpa kemiskinan di lapangan kehidupan.”

Ibnu Atha’ berkata, “Sabar adalah tetap tabah dalam malapetaka dengan perilaku adab.” Dikatakan, “Sabar adalah fana jiwa dalam cobaan, tanpa keluhan.”
Abu Utsman berkomentar, “Orang yang paling sabar adalah yang terbiasa dalam kesengsaraan yang menimpa dirinya.” Dikatakan, “Sabar adalah menjalani cobaan dengan sikap yang sama seperti menghadapi kenikmatan.”
Abu Utsman juga berkata, “Pahala yang paling besar bagi amal ibadat adalah pahala untuk kesabaran. Tidak ada pahala lain yang melebihinya. Allah swt. berjanji, “Dan sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada orang orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang mereka kerjakan”. (Q.s. An Nahl: 96).”
Amru bin Utsman mengatakan, “Sabar adalah berlaku teguh terhadap Allah swt. dan menerima cobaan cobaan Nya dengan sikap lapang dada dan tenang.”
Al Khawwas menjelaskan, “Sabar adalah menetapi ketentuan ketentuan Kitabullah dan Sunnah Rasul.”
Yahya bin Mu’adz mengatakan, “Sabar para pecinta adalah lebih besar daripada sabar orang zuhud. Betapa mengagumkan, bagaima mereka bersabar?”
Mereka telah menyenandungkan:

Kesabaran begitu indah di mana saja,
Kecuali kepadamu,
sabarmu tidaklah indah.

Ruwaym berkata, “Sabar adalah meninggalkan keluh kesah.”
Dzun Nuun berkata, “Sabar adalah meminta pertolongan kepada Allah swt.”
Syeikh Abu Ali ad Daqqaq mengatakan, “Sabar adalah seperti namanya. ” Syeikh Abu Abdurrahman melantunkan syair kepada saya, dari Abu Bakr ar Razy, dari syair Ibnu Atha’:
Aku akan bersabar untuk ridha Mu,
sedang rindu menghancurkan diriku.
Cukuplah bagiku bahwa Engkau ridha,
meskipun diriku hancur karena sabarku.

Abu Abdullah bin Khafif mengatakan, “Sabar ada tiga macam: Sabar orang yang berjuang untuk bersabar (mutashabbir), sabar orang yang sabar (shabir) dan sabarnya orang yang sangat sabar (shabbaar).”
Ali bin Abu Thalib r.a. berkata, “Sabar adalah gunung yang tak pernah terguling.”

Ali bin Abdullah al Bashry menuturkan, “Seorang laki laki datang kepada asy Syibly dan bertanya, ‘Sabar macam manakah yang tersulit bagi orang bersabar?’ Ia menjawab, ‘yaitu sabar terhadap Allah swt.’ Tetapi orang itu menyanggah, ‘Bukan!’ Asy Syibly menyarankan, ‘Sabar untuk Allah.’ Orang itu menyanggah lagi, ‘Bukan!’ Asy Syibly menjawab, ‘Sabar bersama Allah.’ Sekali lagi orang itu menyanggah, ‘Bukan!’ Asy Syibly bertanya, ‘Lantas, sabar yang mana?’ Orang itu menjawab, ‘Sabar berjauhan dengan Allah.’ Mendengar jawaban itu asy-Syibly berteriak sedemikian rupa sehingga nyaris ruhnya melayang’.”

Abu Muhammad Ahmad al Jurairy menjelaskan, “Sabar tidaklah membedakan keadaan bahagia atau menderita, disertai dengan ketentraman pikiran dalam keduanya. Bersikap sabar adalah mengalami kedamaian ketika menerima cobaan, meskipun dengan adanya kesadaran akan beban penderitaan.”

Salah seorang Sufi menyenandungkan:
Aku bersabar dan aku belum melihat kehendak Mu atas sabarku
Dan kusembunyikan petaka yang Kau kenakan pada diriku, di tempat sabar.
Takut bahwa hatiku akan menge1uh tentang deritaku.
sampai air mataku mengalir, penuh rahasia
Dan aku tak tahu.

Syeikh Abu Ali ad Daqqaq berkomentar, “Orang yang sabar akan mencapai derajat yang tinggi di dunia dan di akhirat, sebab mereka telah mendapat derajat ‘kesertaan’ di sisi Allah swt. sebagaimana firman Nya, “Sesungguhnya Allah beserta orang orang yang sabar.” (Q.s. Al Anfal: 46). Dikatakan mengenai arti firman Allah swt, “Hai orang orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan katakanlah (dirimu kepada Allah).” (Q.s. Ali 1mran: 200), bahwa sabar (shabr) adalah berada di bawah tahap berteguh hati dalam kesabaran (mushaabarah) dan di bawah tahap mengaitkan diri kepada Allah (muraabathah).” Dikatakan juga, ‘Bersabarlah’ dengan dirimu dalam taat kepada Allah swt, ‘Berteguhlah dalam kesabaran’ dengan hatimu dalam menghadapi cobaan cobaan yang berkaitan dengan Allah swt. dan ‘kaitkanlah’ jiwamu terhadap kerinduan kepada Allah swt. Juga dikatakan, ‘Bersabarlah’ kepada Allah, ‘berteguhlah dalam kesabaran’ dengan Allah, dan ‘kaitkanlah’ jiwamu dengan Allah!”
Dikatakan bahwa Allah swt. mewahyukan kepada Daud as, “Berakhlaklah dengan Akhlak Ku. Diantaranya adalah bahwa Aku adalah Yang Maha Penyabar.”

Dikatakan, “Seraplah kesabaran. Jika ia membunuhmu, engkau akan mati sebagai syahid. Jika ia menghidupimu, maka engkau akan hidup sebagai seorang yang mulia.”
Dikatakan juga, “Kesabaran untuk Allah adalah kesukaran, sabar dengan Allah adalah baqa’, sabar jauh di dalam Allah adalah cobaan, dan sabar jauh dari Allah adalah sangat hampa.”
Para Sufi bersyair:
Kesabaran berjauhan dengan Mu tercela akibatnya,
Namun terpujilah segala kesabaran yang lain.

Mereka juga membacakan:
Bagaimana sabar, orang yang lepas dari Ku laksana utara dan selatan,
Ketika orang orang bermain main di segala hal
Aku melihat cinta bermain dengan orang orang itu.

Dikatakan, “Sabar dalam mencari pemenuhan hidup adalah tanda kemenangan, dan sabar dalam kesukaran adalah tanda keselamatan.”
Dikatakan, “Bersikap teguh dalam kesabaran adalah sabar dalam bersabar, sampai kesabaran tenggelam dalam kesabaran dan kesabaran berputus asa dari kesabaran, sebagaimana dikatakan syair:
Sabar orang yang, sabar hingga kesabaran meminta pertolongan kepadanya.
Sang pecinta berseru kepada kesabaran, ‘Sabarlah’!”

Suatu ketika Syibly sedang ditahan di rumah sakit jiwa, dan sekelompok orang datang menjenguknya. Ia bertanya, “Siapa kalian ini?” Mereka menjawab, “Kami adalah sahabat sahabat tercintamu yang datang untuk mengunjungmu.” Maka Syibly lalu mulai melempari mereka dengan batu hingga mereka pun berlarian. Ia berteriak, “Wahai para pendusta jika kalian memang sahabat sahabatku, niscaya kalian akan sabar ketika aku diuji”.”
Dalam suatu riwayat disebutkan, “Demi Penglihatan Ku, apa yang dipikul oleh mereka yang memikul beban demi Aku, adalah dalam penglihatan Ku.”
Allah swt. berfirman: “Dan bersabarlah dalam menunggu ketetapan Tuhanmu, karena sesungguhnya kamu berada dalam penglihatan Kami.” (Q.s. AthThuur: 48).

Salah seorang Sufi mengabarkan, “Aku sedang berada di Mekkah – semoga Allah swt. menjaganya – dan kulihat seorang fakir sedang melakukan thawaf. Ia mengeluarkan selembar kertas dari saku bajunya, melihatnya, kemudian meneruskan thawafnya. Hari berikutnya kulihat la melakukan hal yang sama. Aku memperhatikannya selama beberapa hari, dan ia terus berbuat demikian. Lalu pada suatu hari ia berjalan mengelilingi Ka’bah, melihat kertas itu, mundur beberapa langkah, kemudian jatuh dan mati. Aku mengambil kertas yang ada di sakunya, dan di dalamnya tertulis, ‘Dan bersabarlah menunggu ketetapan Tuhanmu, karena sesungguhnya kamu berada dalam penglihatan Kami’.”

Sebagian Sufi berkata, “Aku masuk ke negeri India dan aku melihat seorang pemuda bermata satu, yang dijuluki orang ‘Si Fulan yang Sabar’. Ketika aku bertanya tentangnya, orang mengatakan kepadaku, ‘Semasa muda, seorang sahabatnya berangkat untuk bepergian jauh. Ketika sahabatnya itu berpamitan, meneteslah air mata dari salah satu kelopak matanya, namun kelopak matanya yang sebelah lagi tidak. Ia katakan kepada bola matanya yang tidak menangis itu, ‘Mengapa engkau tidak menangis atas keberangkatan sahabatku? Engkau kularang melihat dunia ini!’ Lalu ditutupnya matanya itu, dan selama enampuluh tahun belum pernah dibukanya.”

Dikatakan tentang firman Allah swt, “Maka bersabarlah kamu dengan sabar yang baik,” (Q.s. AI Ma’arij: 5), bahwa “sabar yang baik” itu adalah sabar yang mencegah diketahuinya korban yang terkena penderitaan.
Umar bin Khaththab r.a. berkata, “Seandainya kesabaran dan syukur itu adalah dua ekor unta, bagiku akan sama saja mana yang akan kukendarai.”
Ketika terkena cobaan, Ibnu Syabramah semoga Allah swt. merahmatinya biasa mengatakan, “Semua ini hanyalah awan,” dan cobaan itu akan berlalu.
Ketika Rasulullah saw. ditanya tentang iman, beliau menjelaskan:
“(Iman) adalah keteguhan hati dalam bersabar dan bersikap murah hati.” (H.r. Abu Ya’la dan Baihaqi).

As Sary ditanya tentang sabar, dan ia mulai berbicara. Lalu seekor kalajengking merayap ke kakinya dan menyengatnya beberapa kali, namun ia sama sekali tidak bergeming. Seseorang bertanya kepadanya, “Mengapa engkau tidak mencampakkannya?” Ia menjawab, “Aku malu kepada Allah swt. untuk berbicara tentang sabar sedang aku sendiri tidak bersabar.”
Dalam sebuah hadis dikatakan, “Orang orang miskin yang sabar akan bersama di majelis Allah swt. dihari Kebangkitan.”
Allah swt. mewahyukan kepada salah seorang Nabi Nya, “Aku menurunkan cobaan kepada hamba Ku, lalu ia berdoa kepada Ku. Tetapi aku menangguhkan doanya dan ia mengeluh kepada Ku. Maka Aku lalu bertanya, ‘Wahai hamba Ku, bagaimana Aku mengasihimu dari suatu yang dengannya Aku mengasihimu?”
Ibnu ‘Uyaynah berkomentar mengenai arti firman Allah swt, “Dan Kami jadikan diantara mereka itu pemimpin pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar,” (Q.s. As Sajdah: 24), bahwa artinya adalah, “Karena mereka memahami kepedulian pokok persoalan, maka Kami angkat mereka sebagai pemimpin.”
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad Daqqaq mengatakan, “Kondisi bersabar adalah jika engkau tidak berkeberatan terhadap apa yang telah ditetapkan (takdir), sedangkan menampakkan cobaan tanpa rnengeluh, maka hal ini tidaklah menghilangkan sabar. Allah swt. berfirman dalam kisah Nabi Ayyub as, “Sesungguhnya Kami dapati ia seorang yang sabar. Dialah sebaik baik hamba. Sesungguhnya ia senantiasa berpaling (kepada Kami).” (Q.s. Shaad: 44). Allah memfirmankan ini meskipun Ayyub berkata, “Sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit.” (Q.s. AI Anbiya’: 83).” Dan saya mendengar beliau mengatakan, ‘Allah menyebutkan ucapan Ayyub ini agar ucapan tersebut menjadi jalan ke luar bagi orang orang yang lemah di antara ummat lni’.”

Salah seorang Sufi mengatakan, Allah swt. berfirman, “Sesungguhnya Kami dapati ia seorang yang sabar (shabir)”. Dia tidak berfirman, “yang paling sabar (shabur),” sebab Ayyub tidaklah sabar sepanjang waktu. Sebaliknya, terkadang beliau merasa senang terhadap cobaan yang menimpa dirinya dan mendapati cobaan tersebut menyenangkan. Pada saat menyenangi cobaan tersebut, beliau bukanlah orang yang sabar; karena itu Allah tidak menyebutkan, yang paling sabar”.
Syeikh Abu Ali ad Daqqaq menegaskan, “Hakikat sabar adalah jika si hamba keluar dari cobaan dalam keadaan seperti ketika memasukinya, sebagaimana dikatakan oleh Ayyub as. pada akhir cobaan yang menimpa diri beliau, ‘Sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua Yang menyayangi.’ Ayyub memperlihatkan sikap berbicara yang layak dengan ucapannya, ‘Dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua yang menyayangi,’ tetapi beliau tidak berkata secara jelas, dengan kata kata, ‘Limpahkanlah kasih sayang-Mu kepadaku’.”

Sabar ada dua macam: Sabar para ahli lbadat (abidin) dan sabar Para pecinta (muhibbin). Mengenai sabar para ahli ibadat, adalah lebih baik jika sabar macam ini dipelihara. Mengenai sabar para pecinta sebaiknya ditinggalkan. Tentang makna kata kata ini, para Sufi membacakan syair berikut:

Di Hari Perpisahan, bahwa keputusaiiiiya
Untuk bersabar adalah satu di antara dua sangkaan-sangkaan
dan dusta dusta.

Mengenai arti syair ini, saya telah mendengar Syeikh Abu Ali menuturkan, “Yaqub as. telah menyiapkan dirinya untuk bersabar. Karenanya, beliau lalu mengatakan, ‘Maka kesabaran yang baik itulah (kesabaranku).’ Artinya, ‘Sikapku adalah bersabar dengan sabar yang baik.’ Namun belum sampai malam tiba, beliau sudah mengatakan, ‘Aduhai duka citaku terhadap Yusuf!’ (Q.s. Yusuf . 84).”

Yakin

Syeikh Abul Qasim al-Qusyairy
Allah swt. berfirman:
“… dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al Qur’an) yang telah diturunkan kepadamu dan kitab kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat.,”‘ (Q.s. Al Baqarah: 4).

Diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud, bahwa Rasulullah saw. telah bersabda:
“Janganlah engkau berusaha menyenangkan hati siapa pun dengan cara membuat murka Allah, dan janganlah memuji siapa pun atas keutamaan Allah yang diberikan, janganlah mencaci kepada siapa pun atas anugerah yang tidak diberikan Allah swt. kepadamu, sebab rezeki Allah tidaklah dibawakan kepadamu oleh kerakusan orang yang rakus, tidak pula bisa ditolak darimu oleh kebencian orang yang membenci. Dengan keadilan Nya, Allah swt, telah menempatkan ketenangan dan kesenangan hati itu dalam rasa ridha dan yakin, dan menempatkan penderitaan serta kesedihan itu dalam keraguan dan marah.” (H.r. Thabrani, Ibnu Hibban dan Baihaqi).

Abu Abdullah al Anthaky berkata, “Keyakinan minimal adalah bahwa manakala ia memasuki hati, maka ia memenuhinya dengan cahaya dan mengusir setiap keraguan dari dalamnya; dan dengan yakin, hati menjadi penuh rasa syukur dan takut kepada Allah swt.”

Ja’far al-Haddad menuturkan, “Abu Turab an-Nakhsyaby melihatku ketika aku berada di padang pasir, duduk di dekat sebuah mata air. Aku sudah enambelas hari lamanya tidak makan atau minum. Ia bertanya kepadaku, ‘Mengapa engkau duduk di sini?’ Aku menjawab, ‘Aku terombang ambing di antara ilmu dan yakin, menunggu mana yang akan menang, agar aku dapat bertindak sesuai dengannya. Jika ilmu menguasai diriku, aku akan minum; jika keyakinan yang menang, aku akan terus berjalan.’ Ia berkata kepadaku, ‘Engkau akan mendapatkan suatu derajat’.”
Abu Utsman al-Hiry menjelaskan, “Keyakinan adalah tidak adanya kepedulian terhadap hari esok.”
Sahl bin Abdullah menjelaskan, “Keyakinan datang dari tambahan iman dan realisasinya.” Dikatakannya pula, “Keyakinan adalah cabang iman dan yakin itu berada di bawah penegasan kebenaran iman (tashdiq).”
Salah seorang Sufi mengatakan, “Keyakinan adalah pengetahuan yang dipercayakan pada hati.” Ia mengisyaratkan perkataan ini, bahwa keyakinan bukanlah sesuatu yang diperoleh dengan usaha (muktasab).
Sahl menjelaskan, “Permulaan keyakinan adalah mukasyafah.” Karena itu salah seorang kaum salaf mengatakan, “Jika tabir tersingkap, maka hal itu tidaklah akan menambah keyakinanku.” Kemudian beralih ke pembuktian dan penyaksian (musyahadah).
Abu Abdullah bin Khafif menegaskan, “Keyakinan adalah Pemastian oleh rahasia hati melalui hukum-hukum kegaiban.”
Abu Bakr bin Thahir mengatakan, “Ilmu datang melalui penentangan terhadap, keraguan, tetapi dalam keyakinan tidak ada keraguan sama sekali.” Dengan demikian ia mempertentangkan ilmu yang di peroleh melalui usaha, dengan apa yang diperoleh melalui ilham.
Jadi pengetahuan seorang Sufi pada awalnya bersifat usaha, dan pada akhirnya bersifat langsung.
Saya mendengar Muhammad ibnul Husain menceritakan, bahwa salah seorang Sufi mengatakan, “Maqam pertama adalah ma’rifat, kemudian keyakinan, lalu pembenaran, disusul ikhlas, dan kemudian penyaksian (musyahadah) adanya Tuhan, lalu taat. Istilah iman, mencakup keseluruhan istilah istilah tersebut.”

Orang yang mengucapkan kata-kata ini menunjukkan bahwa hal pertama yang diperlukan adalah ma’rifat Allah swt, yang tidak dapat diperoleh, kecuali dengan memenuhi persyaratannya. Persyaratan tersebut adalah wawasan yang benar. Kemudian manakala bukti-bukti datang susul menyusul dan menghasilkan bukti, orang tersebut terlimpahi silih bergantinya cahaya batiniah, bebas dari semua kebutuhan untuk merenungkan bukti bukti; itulah keadaan yakin.
Mengenai pembenaran Al-Haq (tashidiqul haq), hal ini berhubungan dengan apa yang diinformasikan-Nya kepada seseorang dengan penuh perhatian terhadap panggilan-Nya, berkenaan dengan apa yang diinformasikan Nya kepada seseorang mengenai Af’al-Nya pada tahap awalnya. Sebab tashdiq, sifatnya informatif, sedangkan ikhlas memiliki akibat dalam pelaksanaan berbagai perintah. Setelah itu, pengungkapan tanggap si hamba dengan penuh musyahadah yang indah, setelah itu menyusul pelaksanaan tindak tanduk kepatuhan, dengan dasar perintah tauhid, sekaligus menghindari yang terlarang dalam tauhid. Dalam konteks tersebut Imam Abu Bakr bin Furak menyinggung pengertian ini ketika saya mendengar beliau mengatakan, “Dzikir dengan lisan adalah luapan yang melimpah dari kalbu.”
Sahl bin Abdullah berkomentar, ‘Adalah haram bagi hati untuk mencium bau keyakinan yang di dalamnya masih ada kepuasan terhadap yang selain Allah swt.”
Dzun Nuun al-Mishry berkata, ” Keyakinan menyeru orang untuk membatasi keinginan duniawi, dan pembatasan ini menyeru pada zuhud, dan zuhud mewariskan kebijaksanaan, dan kebijaksanaan mewariskan kemampuan untuk memandang akibat akibatnya. Ia juga mengatakan, “Ada tiga tanda keyakinan: Mengurangi bergaul dengan manusia; mengurangi pujian kepada mereka saat memperoleh hadiah; dan menghindari perbuatan mencari-cari kesalahan mereka jika mereka tidak memberi (hadiah).
Selanjutnya ada tiga tanda keyakinan atas keyakinan (yaqinul yaqin): Melihat kepada Allah swt. dalam segala sesuatu, kembali kepada-Nya dalam setiap persoalan, dan berpaling kepada-Nya untuk memohon bantuan dalam segala hal.”
Al-junayd mengatakan, “Keyakinan adalah tetapnya ilmu di dalam hati, ia tidak berbalik, tidak berpindah dan tidak berubah.”
Ibnu Atha’ mengatakan, “Sebatas derajat dimana mereka mencapai takwa kepada Allah swt, sebatas itu pula mereka akan memperoleh keyakinan.” Landasan takwa kepada Allah adalah penentangan terhadap perkara yang haram, dan menentang perkara yang haram identik dengan menentang diri sendiri. Jadi, sejauh derajat pemisahan mereka dari diri sendiri, sejauh itulah batas yang mereka capai dalam hal keyakinan. ”
Salah seorang Sufi mengatakan, “Keyakinan adalah mukasyafah, dan mukasyafah dengan tiga cara: Mukasyafah yang bersifat informatif, mukasyafah penampilan qudrat, dan mukasyafah hati terhadap hakikat iman.”
Ketahuilah bahwa dalam bahasa Sufi, mukasyafah dari segi pengungkapan sesuatu ke dalam hati, manakala hati dikuasai oleh dzikir kepada-Nya tanpa adanya keraguan sedikit pun. Terkadang istilah kasyf yang mereka maksud adalah sesuatu yang mirip dengan apa yang dilihat dalam kondisi antara tidur dan bangun. Seringkali mereka menyebut keadaan ini dengan sebutan sabaat.
Imam Abu Bakar bin Furak meriwayatkan, “Aku bertanya kepada Abu Utsman al-Maghriby, ‘Apakah ini, yang Anda telah mengatakan itu?’ Ia menjawab, ‘Aku melihat orang-orang tertentu seperti ini dan seperti itu.’ Lalu aku bertanya, Anda melihat mereka dengan wujud nyata Anda atau dengan penyingkapan (mukasyafah)?’ Ia menjawab, ‘Dengan mukasyafah’.”
Amir bin Abdul Qays menjelaskan, “Seandainya tabir (kebenaran) disingkapkan, niscaya hal itu tidak akan menambah keyakinanku.”
Dikatakan, “Keyakinan adalah penglihatan langsung yang dihasilkan oleh kekuatan iman.” Dikatakan pula, “Keyakinan adalah musnahnya tindak tindak perlawanan.”
Al-junayd menegaskan, “Keyakinan adalah berhentinya keraguan dalam penyaksian Yang Gaib.”

Saya mendengar Syiekh Abu Ali ad-Daqqaq berkata mengenai sabda Rasulullah saw. tentang Isa bin Maryam as, “Seandainya ia bertambah dalam hal keyakinan, niscaya ia akan dapat berjalan di udara.” Syeikh menjelaskan bahwa dengan ucapannya itu, Nabi saw. merujuk kepada keadaan beliau pada malam Mi’raj, sebab berkaitan dengan misteri-misteri Mi’raj itulah beliau mengatakan, “Kulihat Buraq tinggal di belakang sedang aku terus berjalan.”

Al-junayd mengabarkan bahwa ketika as-Sary ditanya tentang keyakinan, ia menjawab, “Keyakinan adalah ketenangan hatimu yang tidak tergoyahkan ketika pikiran-pikiran bergerak menembus dadamu dikarenakan keyakinanmu bahwa gerakan apa pun yang engkau lakukan tidak akan mendatangkan manfaat bagimu ataupun menolak darimu apa yang telah ditetapkan (Allah).”

Ali bin Sahl berkata, “Berada di dalam hadirat Allah swt. (hudhur) lebih diutamakan daripada keyakinan. Karena hudhur bersifat menetap, sedangkan yakin bersifat bisikan.” Dengan ucapan ini seakan akan Ali bin Sahl menempatkan keyakinan di awal keberadaan hudhur, dan menjadikan hudhur sebagai kelanjutan dari keyakinan. Ini seakan akan ia memandang mungkin dicapainya keyakinan terlepas dari keadaan hudhur, tapi situasi sebaliknya adalah tidak mungkin. Karena itu an-Nury berkata, “Keyakinan adalah musyahadah.” Maksudnya, bahwa dalam musyahadah ada keyakinan dan tiada keraguan di dalamnya, sebab musyahadah menafikan kepercayaan yang tidak kokoh.

Abu Bakr al-Warraq berkomentar, “Keyakinan adalah landasan hati dan iman disempurnakan dengannya. Allah swt. diketahui dengan keyakinan, dan akal memahami apa yang datang dari Allah.”
Al-junayd mengatakan, “Berkat keyakinan, beberapa orang manusia bisa berjalan di atas air, namun seseorang yang mati kehausan boleh jadi lebih utama derajatnya dibanding mereka.”
Ibrahim al-Khawwas menuturkan, “Di padang pasir, aku bertemu dengan seorang pemuda tampan rupawan bagaikan sepotong perak dan aku bertanya kepadanya, ‘Engkau hendak ke mana, wahai anak muda?’ Ia menjawab, ‘Ke Mekkah.’ Aku bertanya lagi, ‘Tanpa bekal, unta dan uang?’ Ia menjawab, Wahai orang yang lemah keyakinan, apakah Dia yang mampu memelihara langit dan bumi tidak mampu menyampaikan aku ke Mekkah tanpa bergantung bekal’?” Ibrahim selanjutnya menuturkan, “Ketika aku tiba di Mekkah, ku lihat pemuda itu sedang melakukan thawaf sambil berkata:
“Wahai mata yang senantiasa menangis,
Wahai jiwa kematianku yang begitu berduka,
Janganlah engkau cintai siapa pun Selain Dia Yang Maha Agung, Tempat Bergantung.

Dan ketika ia melihatku, ia pun bertanya, ‘Wahai orang tua, apakah setelah ini engkau masih berada dalam kelemahan keyakinanmu’?”
Ishaq an-Nahrajury berkata, “Jika seorang hamba menyempurnakan pengertian batiniahnya tentang yakin, maka cobaan akan menjadi nikmat baginya, dan kenyamanan menjadi malapetaka.”

Abu Bakr al-Warraq berkata, “Ada tiga aspek keyakinan: Keyakinan informatif, keyakinan akan bukti (dalalat) dan keyakinan musyahadah.”
Abu Turab an-Nakhsyaby menuturkan, “Ketika aku melihat seorang pemuda berjalan di padang pasir tanpa bekal, aku berkata dalam hati, ‘jika ia tidak punya keyakinan, niscaya akan binasa.’ Aku bertanya kepadanya, ‘Wahai anak muda, apakah engkau berada di tempat seperti ini tanpa perbekalan?’ Ia menjawab, ‘Wahai orang tua, angkatlah kepalamu. Apakah engkau melihat sesuatu selain Allah swt?’ Aku pun berkata kepadanya, ‘Sekarang, pergilah ke mana engkau mau’!”
Abu Sa’id al-Kharraz menjelaskan, “Ilmu adalah apa yang membuatmu mampu untuk bertindak, dan keyakinan adalah apa yang rnendorongmu bertindak.”
Ibrahim al-Khawwas berkomentar, “Pernah aku berupaya mencari nafkah yang memungkinkan aku memperoleh makanan yang halal. Aku menjadi nelayan. Pada suatu hari seekor ikan berenang memasuki jaringku, dan aku mengambilnya lalu melemparkan kembali jalaku ke air. Kemudian masuklah ikan lain ke dalamnya, dan sekali lagi aku melemparkan jalaku ke air, lalu menunggu. Kemudian terdengar sebuah suara galb berseru, ‘Apakah engkau tidak bisa mencari Penghidupan selain dengan cara menangkap mereka yang berdzikir kepada Kami, kemudian membunuhnya?’ Mendengar itu, aku lalu merobek-robek jalaku dan berhenti mencari ikan.”

—(ooo)—

Syukur

Allah swt. berfirman:
“Jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat pemberian Ku) kepadamu.” (Q.s. Ibrahim: 7).

Diriwayatkan oleh Yahya bin Ya’la dari Abu Khabab, dari Atha’ yang berkata, “Aku bersama Ubaid bin Umair mengunjungi Aisyah r.a. dan berkata kepadanya, ‘Ceritakanlah kepada kami sesuatu yang paling mengagumkan yang Anda lihat pada Rasulullah. saw.!’ Beliau menangis dan bertanya, ‘Adakah yang beliau lakukan, yang tidak mengagumkan? Suatu malam, beliau datang kepadaku, dan kami tidur di tempat tidur hingga tubuh beliau bersentuhan dengan tubuhku. Setelah beberapa saat, beliau berkata, ‘Wahai putri Abu Bakr, izinkanlah aku bangun untuk beribadat kepada Tuhanku!’ Aku menjawab, “Saya senang berdekatan dengan Anda,’ tapi aku mengizinkannya. Kemudian beliau bangun, pergi ke tempat kantong air dan berwudhu dengan mencucurkan banyak air, lalu shalat. Beliau mulai menangis hingga air matanya membasahi dadanya, kemudian beliau ruku’ dan terus menangis, lalu sujud dan terus menangis, lalu mengangkat kepala dan terus menangis. Terus menerus beliau dalam keadaan demikian sampai Bilal datang dan memanggil beliau untuk shalat subuh. Aku bertanya kepada beliau, ‘Apakah yang menyebabkan Anda menangis wahai Rasulullah, sedangkan Allah telah mengampuni dosa dosa Anda, baik yang dahulu maupun yang akan datang?’ Beliau menjawab, ‘Tidakkah aku menjadi seorang hamba yang bersyukur? Bagaimana aku tidak akan menangis sedangkan Allah telah menurunkan ayat ini kepadaku:
‘Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya siang dan malam, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang diturunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah matinya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi, sungguh terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mau menggunakan akal.’ (Q.s. Al Baqarah: 164).”

Dengan ayat ini, Allah swt. memiliki sifat syakur. Artinya, memberi pahala hamba yang bersyukur, sebagai balasannya adalah diterimanya syukur itu sendiri. Sebagaimana difirmankanNya, “Balasan bagi tindak kejahatan adalah kejahatan yang serupa.” (Q.s. Asy Syura: 40).

Dikatakan bahwa bersyukurnya Allah adalah pemberian balasan yang melimpah bagi amal yang sedikit, seperti kata pepatah, “Seekor binatang dikatakan bersyukur, jika ia mencari makanan melebihi jerami yang diberikan kepadanya.” Kita mungkin dapat mengatakan bahwa hakikat bersyukur adalah memuji Sang Pemberi kebaikan dengan mengingat ingat anugerah yang telah diberikan Nya. Jadi bersyukurnya seorang hamba kepada Allah swt. adalah pujian kepada Nya dengan mengingat ingat anugerah Nya kepadanya. Sebaliknya, bersyukurnya Allah swt. kepada hamba Nya adalah dengan mengingat kebaikan hamba kepada Nya. Kebaikan si hamba adalah kepatuhan kepada Allah swt, sedangkan kebaikan Allah adalah memberikan rahmat Nya kepada si hamba dengan menjadikan ia mampu menyatakan syukur kepada Nya. Syukur seorang hamba, Pada hakikatnya mencakup syukur secara lisan maupun penegasan dalam hati atas anugerah dan rahmat Allah swt.

Syukur dibagi menjadi: Syukur dengan lisan, yang berupa Pengakuan atas anugerah dalam derajat kepasrahan, dan syukur dengan tubuh, yang berarti mengambil sikap setia dan mengabdi; syukur dengan hati, adalah tentram dalam latar musyahadah dengan terus menerus melaksanakan pemuliaan. Dikatakan bahwa kaum cendekiawan bersyukur dengan lidah mereka, kaum pecinta bersyukur dengan perbuatan mereka, dan kaum ‘arifin bersyukur dengan istiqamah mereka terhadap Nya di dalam semua perilaku mereka.

Abu Bakr al Warraq berkata, “Syukur atas nikmat adalah memberikan musyahadah terhadap, anugerah tersebut dan menjaga penghormatan.”
Hamdun al Qashshar menegaskan, “Bersyukur atas anugerah adalah bahwa engkau memandang dirimu sebagai parasit dalam syukur.”
Al-junayd berkomentar, “Ada cacat dalam bersyukur, karena manusia yang bersyukur melihat peningkatan bagi dirinya sendiri; jadi ia sadar di sisi Allah swt. lebih dari bagian dirinya sendiri.”

Abu Utsman berkata, “Syukur berarti mengenal kelemahan dari syukurnya itu sendiri.”
Dikatakan, “Bersyukur atas kemampuan untuk bersyukur adalah lebih lengkap daripada bersyukur saja. Dengan cara memandang bahwa rasa bersyukur Anda datang karena Dia telah memberikan taufik Nya. Dan taufiq Nya itu termasuk nikmat yang diperuntukkan bagi diri Anda. Jadi Anda bersyukur atas kesyukuran Anda, dan kemudian Anda bersyukur terhadap kesyukuran atas kesyukuran Anda, sampai tak terhingga.”
Dikatakan, “Bersyukur adalah menisbatkan anugerah kepada pemiliknya yang sejati dengan sikap kepasrahan.”

Al-junayd mengatakan, “Bersyukur adalah bahwa engkau tidak memandang dirimu layak menerima nikmat.”
Ruwaym menegaskan, “Bersyukur adalah engkau menghabiskan seluruh kemampuanmu.”
Dikatakan, “Orang yang bersyukur adalah orang yang bersyukur atas apa yang ada, dan orang yang sangat bersyukur adalah yang bersyukur atas apa yang tidak ada.”

Dikatakan, “Orang yang bersyukur berterimaksih atas pemberian, tapi orang yang sangat bersyukur (Syakur) berterimakasih karena tidak diberi.” Dikatakan juga, “Orang yang bersyukur berterimakasih atas pemberian, dan orang yang sangat bersyukur berterimakasih atas kemelaratan.”
Dikatakan, “Orang yang bersyukur berterimakasih manakala anugerah diberikan, dan orang yang sangat bersyukur berterimakasih manakala anugerah ditunda.”

Al-junayd menjelaskan, “Suatu waktu, ketika aku masih berumur tujuh tahun, aku sedang bermain main di hadapan as-Sary, dan sekelompok orang yang sedang berkumpul di hadapannya, berbincang tentang syukur. Ia bertanya kepadaku, ‘Wahai anakku, apakah bersyukur itu?’ Aku menjawab, ‘Syukur adalah jika orang tidak menggunakan nikmat Allah untuk bermaksiat kepada Nya.’ Ia mengatakan, ‘Derajatmu di sisi Allah akan segera engkau peroleh melalui lidahmu, nak’!” Al-junayd mengatakan, ‘Aku senantiasa menangis mengingat kata kata as Sary itu.”
Asy-Syibly menjelaskan, “Syukur adalah kesadaran akan Sang Pemberi nikmat, bukan memandang nikmat itu sendiri.”
Dikatakan, “Syukur adalah kendali yang ada serta jerat bagi apa yang tiada.”

Abu Utsman berkata, “Kaum awam bersyukur karena diberi makanan dan pakaian, sedangkan kaum khawash bersyukur atas makna makna yang datang di hati mereka.”

Dikatakan bahwa Daud as. bertanya, “Ilahi, bagaimana aku dapat bersyukur kepacla Mu, sedangkan bersyukurku itu sendiri adalah nikmat dari Mu?” Allah mewahyukan kepadanya, “Sekarang, engkau benar benar telah bersyukur kepada Ku.”

Dikatakan bahwa Musa as. mengatakan dalam doa munajatnya, “Ya Allah, Engkau telah menciptakan Adam dengan Tangan Mu, dan Engkau telah begini dan begitu. Bagaimana ia bersyukur kepada Mu?” Allah Menjawab, “Ia mengetahui bahwa semua itu berasal dari Ku, dan dengan begitu pengetahuannya tentang semua itu adalah syukurnya kepada Ku.”
Diriwayatkan bahwa salah seorang Sufi mempunyai sahabat yang ditahan oleh Sultan. Sufi itu diminta supaya datang, dan sahabatnya itu mengatakan kepadanya, “Bersyukurlah kepada Allah swt.! ” Lalu sahabatnya itu didera, dan ia menulis surat kepada si Sufi, “Bersyukurlah kepada Allah swt.! ” Kemudian seorang Majusi yang sedang sakit perut didatangkan dan dibelenggu, salah satu borgol rantainya dikenakan pada kaki sahabat, dan borgol lainnya dikenakan pada kaki Majusi. Pada malam hari, si Majusi sering bangun, yang berarti sahabat itu terpaksa ikut bangun sampai si Majusi selesai melepaskan hajatnya. Ia lalu menulis surat kepada sahabatnya, “Bersyukurlah kepada Allah swt.!” Sahabatnya (si Sufi) bertanya, “Berapa lama engkau akan mengatakan kalimat ini: Cobaan apa yang lebih berat dari ini?” Sahabatnya menjawab, “Jika sabuk yang dikenakan orang kafir pada pinggangnya dikenakan pada pinggangmu, sebagaimana belenggu kakinya juga dikenakan pada kakimu, maka apa yang akan engkau perbuat?”
Seseorang mendatangi Sahl bin Abdullah dan mengatakan kepadanya, “Seorang pencuri telah memasuki rumahku dan mencuri barang barangku!” Sahl berkata, “Bersyukurlah kepada Allah swt.! Seandainya sang pencuri itu, yaitu setan, memasuki hatimu dan merusak tauhid, apa yang akan engkau perbuat?”.

Dikatakan, “Syukurnya kedua belah mata adalah bahwa engkau menyembunyikan cacat yang engkau lihat pada sahabatmu, dan syukurnya kedua telinga adalah engkau menyembunyikan cacat yang engkau dengar tentang dirinya.”

Dikatakan juga, “Syukur adalah menyibukkan diri dalam memujiNya karena Dia telah memberimu apa yang engkau tidak pantas menerimanya.”
Al-Junayd menuturkan, “Manakala as-Sary berkehendak untuk mengajarku, biasanya ia mengajukan sebuah pertanyaan kepadaku. Suatu hari ia bertanya kepadaku, ‘Wahai al-Junayd, apakah syukur itu?’ Aku menjawab, ‘Syukur adalah jika tidak satu bagian pun dari nikmat Allah swt. digunakan untuk bermaksiat kepada Nya.’ Ia bertanya lagi, ‘Bagaimana engkau sampai pada (pengetahuan) ini.’ Aku menjawab, ‘Bersama majelis-majelis Anda’.”

Diceritakan bahwa al-Hasan bin Ali pernah bergayut pada sebuah tiang dan bermunajat, “Tuhanku, Engkau telah memberi nikmat aku, namun tidak Engkau dapati aku bersyukur. Engkau telah mengujiku, namun tidak Engkau dapati aku bersabar. Namun Engkau tidak mencerabut nikmat karena aku tidak bersyukur, dan tidak melanggengkan bencana ketika kutinggalkan kesabaran. Tuhanku, tidak ada yang datang dari Yang Maha Pemurah, kecuali kemurahan.”

Dikatakan, ‘Jika tangan mu tidak bisa engkau gunakan, maka engkau mesti lebih banyak mengucap syukur dengan lisanmu. ”
Dikatakan pula, “Ada empat amal yang tidak berbuah: Mempercayakan rahasia kepada orang yang bisu, memberi nikmat kepada orang yang tidak mau bersyukur, menebar benih di tanah yang tandus, dan menyalakan lampu di bawah cahaya matahari.”

Juga dikatakan bahwa ketika Idris as. memperoleh kabar gembira pengampunan, beliau memohon diberi panjang umur. Ketika ditanya tentang permohonannya itu, beliau menjawab, “Agar aku dapat bersyukur kepada Nya, karena sebelum ini aku telah berjuang hanya untuk memperoleh ampunan.” Kemudian salah satu malaikat mengembangkan sayapnya dan membawanya ke langit.

Diceritakan bahwa salah seorang Nabi – semoga Allah swt. melimpahkan salam kepadanya – berjalan melewati sebuah batu kecil yang memancarkan air, yang membuatnya kagum. Kemudian Allah menjadikan batu itu berbicara kepadanya, katanya, “Ketika aku mendengar Allah swt. berfirman, ‘Takutlah neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.’ (Q.s. At Tahrim: 6). Aku pun menangis karena takut.” Nabi itu kemudian mendoakan, agar Allah swt. melindungi batu itu dari api neraka, dan Allah lalu mewahyukan kepadanya, ‘Aku telah menyelamatkannya dari neraka.” Maka Nabi itu lalu meneruskan perjalanannya. Ketika kembali melewati batu itu, ia melihat air menyembur darinya seperti sebelumnya, yang membuatnya heran. Allah swt. menjadikan batu itu bisa berbicara, dan Nabi itu lalu bertanya, “Mengapa engkau masih menangis sedangkan Allah telah mengampunimu?” Batu itu menjawab, “Sebelumnya adalah tangis takut dan sedih, sekarang adalah tangis syukur dan gembira.”
Dikatakan, “Orang yang bersyukur selalu meningkat karena ia berada di hadapan nikmat.”

Allah swt. berfirman, “Jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat Ku) kepadamu.” (Q.s. Ibrahim: 7).
Orang yang sabar berada bersama Allah, karena ia berada di hadirat kesaksian kepada Nya yang memberikan cobaan. Allah lalu berfirman, “Sesungguhnya Allah beserta orang orang yang sabar” (Q.s. AI Anfal: 46).

Diceritakan bahwa suatu delegasi datang kepada Umar bin Abdul Aziz r.a. Di antara mereka ada seorang pemuda, yang memulai membuka pembicaraan. Umar berkata kepadanya, “Coba, yang tua-tua dulu berbicara! ” Mendengar itu si pemuda berkata, “Wahai Amirul Mukminin, jika urusan diserahkan kepada orang berdasarkan usianya, maka banyak orang di kalangan kaum Muslimin yang lebih layak menjadi khalifah dibanding Anda.” Maka Umar berkata, “Bicaralah! Pemuda itu menjelaskan, “Kami bukanlah delegasi yang menyampaikan keinginan, bukan pula delegasi yang menyampaikan rasa takut. Mengenai keinginan, maka kemurahan Anda telah memenuhi kebutuhan kami, dan tentang soal takut, keadilan. Anda pun telah mengamankan kami dari ketakutan.” Maka Umar pun bertanya kepadanya, “Lantas, siapa kalian ini?” Ia menjawab, “Kami adalah delegasi yang menyampaikan syukur. Kami datang untuk menyampaikan terimakasih kepada Anda, dan sekarang kami akan pulang.” Dan mereka lalu bersenandung:

Alangkah malangnya bahwa syukurku adalah diam.
Atas apa yang telah kau lakukan,
sedangkan kebaikanmu berbicara.
Aku melihat anugerah darimu
dan aku menyembunyikan;
karenanya, di tangan yang pemurah
jadi pencuri.

Diceritakan bahwa Allah swt. menyampaikan wahyu kepada Musa as, ‘Aku melimpahkan rahmat kepada hamba hamba Ku: Mereka yang mendapat cobaan maupun mereka yang terampuni.” Musa bertanya, “Mengapa pula terhadap mereka yang terampuni?” Allah swt. menjawab, “Dikarenakan kecilnya syukur mereka atas dihindarkannya mereka dari penderitaan itu.”
Dikatakan, “Pujian itu bagi nafas, dan syukur atas nikmat nikmat anggota badan.”

Dikatakan pula, “Pujian sebagai permulaan dari Nya, dan syukr sebagai tebusan darimu.”
Dalam hadis shahih disebutkan, “Yang pertama dipanggil ke surga adalah mereka yang selalu memuji kepada Allah swt. dalam segala hal.”
Dikatakan, “Pujian hanya bagi Allah terhadap apa yang diberikanNya, dan syukur atas apa yang diperbuat oleh Nya.”

—(ooo)—

Qana’ah

Syeikh Abul Qasim al-Qusyairy

Allah swt. berfirman
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik.” (Q.S. An Nahl: 97).

Diriwayatkan oleh jabir bin Abdullah bahwa Rasulullah saw. telah bersabda:
“Qana’ah (menerima pemberian Allah) adalah harta yang tidak pernah sirna.” (H.r. Thabrani)

Diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw. telah bersabda:
“Jadilah orang yang wara’ maka engkau akan menjadi orang yang paling berbakti kepada Allah swt. jadilah engkau orang yang menerima (pemberian Nya), engkau akan menjadi orang yang paling bersyukur. Cintailah manusia sebagaimana (kamu mencintai) dirimu sendiri, maka engkau menjadi orang yang beriman. Perbaikilah dalam hidup bertetangga dengan tetanggamu, engkau akan menjadi orang Muslim. Dan sedikitlah tertawa, sebab banyak tertawa itu mematikan hati.” (H.r. Baihaqi).
Dikatakan, “Orang-orang miskin itu mati, kecuali mereka yang dihidupkan Allah dengan kebesaran qana’ah. ”
Bisyr al Hafi berkata, “Qana’ah adalah seorang raja yang hanya tinggal di dalam hati yang beriman.”

Abu Sulaiman ad-Darany berkomentar, “Hubungan qana’ah dengan ridha adalah seperti hubungan antara maqam wara’ dengan zuhud. Qana’ah adalah awal ridha, dan wara’ adalah awal zuhud.”
Dikatakan, “Qana’ah adalah sikap tenang dalam menghadapi hilangnya sesuatu yang biasa ada.”

Abu Bakr al-Maraghy menjelaskan, “Orang yang cerdas adalah orang yang menangani urusan dunianya dengan qana’ah dan tidak bergegas-gegas, tapi menangani urusan akhiratnya dengan penuh kerakusan dan ketergesaan, menangani urusan agamanya dengan ilmu dan ijtihad.”
Abu Abdullah bin Khafif berkata, “Qana’ah adalah meninggalkan keinginan terhadap apa yang telah hilang atau yang tidak dimiliki, dan menghindari ketergantungan kepada apa yang dimiliki.”

Dikatakan mengenai firman Allah swt, “Allah akan menganugerahi mereka rezeki yang berlimpah,” (Q.s. AI Hajj: 88), bahwa yang dimaksud di Sini adalah qana’ah.

Muhammad bin Ali at-Tirmidzy menegaskan, “Qana’ah adalah kepuasan jiwa terhadap rezeki yang diberikan.”
Dikatakan, “Qana’ah adalah menemukan kecukupan di dalam apa yang ada dan tidak menginginkan apa yang tiada.

Wahb menuturkan, “Kehormatan dan kekayaan berkelana mencari teman. Mereka berjumpa dengan qana’ah, dan mereka hinggap menetap padanya.”
Dikatakan, “Orang yang merasa qana’ah akan menemukan bubur yang lezat.” Dikatakan juga, “Orang yang selalu kembali kepada Alah swt. dalam segala hal, akan dianugerahi qana’ah.”

Dalam sebuah cerita disebutkan ketika Abu Hazim melewati seorang penjual daging yang mempunyai sejumlah daging berlemak, si penjual berkata kepadanya, ‘Ambillah sedikit, wahai Abu Hazim, karena daging ini berlemak!” Abu Hazim menjawab, ‘Aku tidak membawa uang.” Sipedagang berkata, ‘Aku beri engkau waktu untuk membayarnya.” Abu Hazim menjawab, “jiwaku masih lebih baik menunggu daripadamu.”

Salah seorang Sufi ditanya, “Siapakah orang paling qana’ah di antara ummat manusia?” Ia menjawab, “Yaitu orang yang paling berguna bagi ummat manusia dan paling sedikit upahnya.”
Dikatakan dalam kitab Zabur, “Orang yang qana’ah adalah orang yang kaya, sekalipun ia dalam keadaan lapar.”

Dikatakan, “Allah swt. menempatkan lima perkara dalam lima tempat: Keagungan dalarn lbadat, kehinaan dalam dosa, kekhidmatan dalam bangun malam, kebijaksanaan dalam perut kosong, dan kekayaan/cukup dalam qana’ah.”

Ibrahim al-Maristany berkata, “Lakukanlah pembalasan terhadap kerakusanmu dengan qana’ah sebagaimana engkau membalas dendam kepada musuhmu dengan qisas”.
Dzun Nuun al-Mishry berkata, “Orang yang qana’ah selamat dari orang orang semasanya dan berjasa atas semua orang.”
Dikatakan, “Orang yang qana’ah akan menemukan istirah dari kecemasan dan berjaya atas segala sesuatu.”

Al-Kattany mengatakan, “Barangsiapa menjual kerakusan demi qana’ah berarti telah memperoleh keagungan dan kebesaran.”
Dikatakan, “Kesedihan dan rasa gelisah menjadi panjang bagi orang yang matanya mengejar apa yang dimiliki orang lain.”
Kaum Sufi sering membacakan syair berikut:
Betapa indahnya pemuda,
dari hari hari yang lapar
lebih terhormat dari kekayaan yang disertai lapar.

Dalam suatu cerita disebutkan, “Seorang laki laki melihat seorang yang bijaksana sedang mengunyah potongan-potongan sayur yang dibuang di tempat air, dan berkata kepadanya, ‘Jika saja Anda mau mengabdi kepada sultan, niscaya Anda tidak perlu makan makanan begini.’ Orang bijak itu menjawab, ‘Dan Anda, seandainya saja Anda Mau berqana’ah dengan makanan begini, niscaya Anda tidak perlu mengabdi kepada sultan’.”
Mengenai firman Allah swt.:
“‘Sesungguhnya orang orang yang banyak berbakti benar benar berada dalam surga yang penuh kenikmatan.” (Q.s. Al Infithar: 13).

Dikatakan bahwa kata na’im adalah qana’ah di dunia. Dalam ayat berikutnya:
“Dan sesungguhnya orang orang yang durhaka benar-benar berada dalam neraka.” (Q.s. Al Infithar: 14).

Kata jahim berarti kerakusan di dunia.
Mengenal firman Allah swt.:
“Tahukah kamu, apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu? (Yaitu) melepaskan budak dari perbudakan.” (Q.s. Al- Balad:123).
Dikatakan bahwa ayat ini berarti, “membebaskan orang dari kerendahan sifat tamak”.

Dikatakan bahwa firman Allah swt, “Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait,” (Q.s. Al Ahzab: 33), berarti, “menghilangkan sifat kikir dan iri”.
Dan firman Nya selanjutnya, “Dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (Q.s. Al Ahzab: 33), berarti, “melalui sifat murah hati dan tidak pelit dalam memberi”.

Mengenal firman Allah swt, “Ia berkata, ‘Ya Tuhanku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh seorang jua pun sesudahku’.” (Q.s. Shaad: 35), berarti, “Anugerahkanlah kepadaku derajat qana’ah yang dapat membuatku sendiri, dibanding sibuk dengan persoalanku, yang dengannya aku akan merasa ridha dengan ketentuan Mu.”

Dikatakan mengenal firman Allah swt, “Aku (Sulaiman) pasti akan menghukum (burung Hud hud) dengan hukuman yang pedih,” (Q.s. An Naml: 21), bahwa ayat ini berarti, ‘Aku akan menanggalkan darinya sifat qana’ah dan memberinya cobaan dengan sifat rakus,” yakni, “Aku akan memohon kepada Allah swt. agar melakukan hal itu terhadapnya.”
Abu Yazid al Bisthamy ditanya, “Bagaimana Anda bisa sampai pada kedudukan sekarang ini?” Ia menjawab, ‘Aku mengumpulkan harta benda dunia ini lalu mengikatnya dengan tali qana’ah. Lalu aku menempatkan mereka dalam ketepil keikhlasan dan melontarkannya ke lautan putus asa. Maka aku pun bisa istirahat.”

Abdul Wahhab, paman Muhammad bin Farhan, menuturkan, “Aku sedang duduk duduk bersama al Junayd di saat musim haji, dan di sekelilingnya ada sekelompok besar orang non Arab, termasuk beberapa orang yang telah dibesarkan di lingkungan orang Arab. Seseorang datang kepadanya dengan membawa uang limaratus dinar, yang diletakkannya di hadapan al Junayd, lalu Junaid berkata, ‘Sebarkan kepada orang orang fakir,’ sambil bertanya kepadanya, Apakah kamu masih punya uang selain ini?’ Ia menjawab, Ya, aku masih punya banyak.’ Al Junayd bertanya kepadanya, Apakah kamu ingin memperoleh lebih banyak dari yang kamu miliki sekarang?’ la menjawab, ‘Ya.’ Maka al Junayd lalu berkata kepadanya, Ambillah kembali uangmu ini, sebab engkau lebih memerlukannya daripada kami.’ Junayd tidak menerimanya.”

—(ooo)—

Bahaya Pergunjingan

Syeikh Abul Qasim al-Qusyairy

Allah swt. berfirman:
“Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik saudaranya kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Menerima tobat lagi Maha penyayang. (Q.s. Al 14ujurat: 12).

Abu Hurairah r.a. meriwayatkan bahwa ada seseorang laki-laki yang ikut duduk bersama Rasulullah saw, kemudian ia pergi. Salah seorang yang hadir berkata, “Alangkah lemahnya orang itu.” Rasulullah saw. bersabda, “Engkau telah memakan daging saudaramu ketika engkau menggunjingnya.”

Allah swt. mewahyukan kepada Musa as, “Barangsiapa meninggal dengan bertobat dari menggunjing, akan menjadi orang terakhir Yang masuk surga, dan barangsiapa meninggal dengan berterus-terusan melakukan pergunjingan itu, akan menjadi orang yang pertama masuk neraka.”
Auf menuturkan, “Aku datang kepada Ibnu Sirin, aku menggunjing al Hajaj. Ibnu Sirin berkata, ‘Sesungguhnya Allah swt. adalah hakim yang paling adil, maka sebanyak yang diambilnya dari al Hajai, sebanyak itu Pula yang diberikan Nya kepadanya. Ketika engkau berjumpa dengan Allah swt. di akhirat nanti, dosa sekecil apa pun yang telah dilakukan Hajaj akan menjadi lebih besar bagimu daripada dosa terbesar yang telah dilakukan al Hajjaj’.”
Diriwayatkan bahwa Ibrahim bin Adham diundang ke sebuah pesta, dan ia pun bersedia menghadirinya. Ketika orang orang membicarakan seseorang yang tidak hadir, mereka mengatakan “Ia seorang yang kurus kering dan tidak menarik.” Ibrahim berkata “Inilah yang dilakukan nafsuku terhadap diriku: Kutemukan diriku dalam perkumpulan di mana pergunjingan dilakukan.” Ia lalu Pergi begitu saia, setelah itu ia tidak makan selama tiga hari.

Dikatakan, “Barangsiapa menggunjing orang lain adalah seperti orang yang menyiapkan ketepil. Ia menembak amal-amal baiknya sendiri dengan perbuatannya itu ke Barat dan ke Timur. Ia menggunjing seseorang dari Khurasan, seorang lagi dari Hijaz, seorang lagi dari Turki, ia mencerai beraikan amal amal baiknya sendiri, dan ketika berdiri, tak satu pun amal baiknya.”
Dikatakan, “Seorang hamba akan diberi catatan amalnya pada hari Kiamat, tetapi ia tidak melihat satu pun amal baik di dalamnya. la akan bertanya, ‘Di mana shalat, puasa dan amal amal ibadatku yang lain?’ Dikatakan kepadanya, ‘Semua amalmu telah hilang karena engkau terlibat dalam pergunjingan’.”

Dikatakan, “Barangsiapa digunjing, Allah mengampuni separo dosanya.”
Sufyan ibnul Husain mengabarkan, “Aku sedang duduk duduk dengan Iyas bin Mu’awiyah, dan menggunjing seseorang. Iyas bertanya kepadaku, Apakah engkau telah menyerang orang orang Romawi atau Turki tahun ini?’ Aku menjawab, ‘Tidak.’ Iyas berkata, ‘Orang orang Turki dan Romawi telah selamat dari seranganmu, sementara saudaramu sendiri yang Muslim tidak’!” Dikatakan, “Seorang manusia akan diberi catatan amalnya di hari Kiamat, dan ia menemukan di dalamnya amal amal baik yang tidak pernah diperbuatnya. Dikatakan kepadanya, ‘Ini adalah imbalan bagi gunjingan orang terhadapmu, yang tidak kamu ketahui’.
Sufyan ats Tsaury ditanya tentang sabda Nabi saw, “Sesungguhnya Allah membenci keluarga pemakan daging manusia.” (H.r. Baihaqi). Sufyan mengomentari, “Yang dimaksud di sini adalah orang orang yang menggunjing; mereka memakan daging manusia.”
Ketika menggunjing ditanyakan di hadapan Abdullah Ibnul Mubarak, ia berkata, “Jika aku mengunjing seseorang, niscaya aku akan menggunjing kedua orangtuaku, sebab merekalah yang paling berhak atas amal amal baikku.”

Yahya bin Mu’adz berkata, “Jadikanlah keuntungan seorang Muslim terhadap dirimu berupa tiga hal ini: jika engkau tidak bisa membantunya, maka janganlah engkau mengganggunya; Jika engkau tidak bisa memberinya kegembiraan, maka janganlah engkau rnembuatnya sedih; Jika engkau tidak bisa memujinya, maka janganlah engkau mencari cari kesalahannya.”
Dikatakan kepada Hasan al Bashry, “Si Fulan telah menggunjing Anda.” Maka al Hasan lalu. mengirimkan kue kue kepada orang yang rnenggunjingnya, dengan pesan, ‘Aku mendengar bahwa engkau telah melimpahkan amal baikmu kepadaku. Aku ingin membalas kebaikanmu.”
Diriwayatkan oleh Anas bin Malik ra, bahwa Rasulullah saw. Telah bersabda, “Jika orang melepaskan tabir rasa malu dari wajahnya, niscaya tidak akan ada masalah pergunjingan baginya.” (H.r. Ibnu Addi dan Abu asy Syeikh)
Al Junayd menuturkan, “Aku sedang duduk duduk di masjid asy Syuniziyah, menunggui jenazah agar aku bisa ikut melaksanakan shalat jenazah. Orang orang Baghdad dengan berbagai kelasnya duduk menunggu iringan tersebut. Lalu aku melihat seorang miskin yang kelihatan bekas ibadatnya mengemis dari orang banyak. Aku berkata kepada diriku sendiri, ‘Jika orang ini mau bekerja untuk memperoleh rezekinya, Itu akan lebih baik baginya.’ Ketika aku kembali ke rumah, maka seperti biasanya, aku mulai melakukan wirid di malam hari, rnenangis dan shalat, serta amalan amalan lainnya. Tetapi semua wiridku itu terasa memberatkan jiwaku, maka aku lalu tidak dapat tidur, dan hanya duduk duduk saja. Ketika aku terjaga, kantuk datang kepadaku, aku melihat si pengemis itu. Kulihat orang orang sedang meletakkan tubuhnya di atas sehamparan kain yang lebar, dan mereka memerintahkan kepadaku, ‘Makanlah daging orang ini, karena engkau telah menggunjingnya.’ Keadaan orang itu diungkapkan kepadaku, dan aku memprotes, Aku tidak menggunjingnya! Aku hanya mengatakan sesuatu kepada diriku sendiri.’ Lalu dikatakan kepadaku, ‘Perbuatan seperti itu pun tidak layak. Pergilah kepada orang itu dan meminta maaflah!’ Paginya aku terus mencari orang itu, sampai aku menemukannya sedang mengumpulkan dedaunan yang tersisa dalam air yang digunakan untuk mencuci sayur mayur. Ketika aku memberi salam kepadanya, ia bertanya, ‘Wahai Abul Qasim, apakah engkau datang ke sini lagi?’ Aku menjawab,’Tidak” Ia berkata, ‘Semoga Allah mengampuni dosa kami dan dosamu’.”

Abu Ja’far al Balkhy berkata, “Seorang pemuda dari kalangan warga Balkh sedang berada di antara kami, ia bermujahadah dan mengabdikan dirinya untuk melayani Allah. Hanya saja ia terus menerus terlibat dalam gunjingan. Ia suka mengatakan, ‘Si Fulan dan si Fulan itu demikian.’ Pada suatu hari aku melihatnya sedang mengunjungi beberapa tukang memandikan jenazah yang disebut orang sebagai ‘orang orang banci’. Ketika pemuda itu meninggalkan mereka, aku bertanya kepadanya, ‘Wahai Fulan, apa yang telah terjadi padamu?’ Ia menjawab, ‘Beginilah akibatnya atas perbuatan menggunjing. Hal itu telah mencampakkanku dalam kehinaan ini. Aku telah tergila gila kepada salah seorang banci dan aku melayani mereka atas namanya. Semua amal ibadatku sebelumnya telah musnah. Maka doakan agar Allah swt. mengasihiku’!

—(ooo)—

Dengki

Syeikh Abul Qasim al-Qusyairy

Allah swt. berfirman:
“Katakanlah, Aku berlindung kepada Tuhan yang menguasai sebuah dari kejahatan makhluk Nya,” kemudian Dia berfirman, “Dan dari kejahatan orang yang dengki apabila ia dengki”. (Q.s. AI Falaq: 1, 2 dan 5).

Di sini Allah menutup Surat, yang dijadikan sebagai perlindungan dengan menyebutkan kata dengki.
Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud bahwa Rasulullah saw. bersabda:
“Ada tiga hal yang menjadi akar semua dosa. Jagalah dirimu dan waspadalah terhadap ketiganya. Waspadalah terhadap kesombongan, sebab kesombongan telah menjadikan iblis Inenolak bersujud kepada Adam. Waspadalah terhadap kerakusan, sebab kerakusan telah menyebabkan Adam memakan buah dari pohon terlarang. Dan jagalah dirimu dari dengki, sebab dengki telah menyebabkan salah seorang anak Adam membunuh saudaranya.” (H.r. Ibnu Asakir).

Salah seorang Sufi mengatakan, “Orang yang dengki adalah orang yang tidak beriman, sebab ia tidak merasa puas dengan takdir Allah Yang Maha Esa.” Dikatakan, “Orang Yang denki tidak berjaya.”
Disebutkan dalam firman Allah swt,

“Katakanlah, Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang tampak maupun yang tersembunyi.” (Q.s. AI A’raf : 33).
Dalam beberapa kitab tertulis bahwa, “Orang yang dengki adalah musuh nikmat-Ku.”

Dikatakan pula, “Pengaruh dengki tampak padamu sebelum ia tampak pada musuhmu.”
Al Asmu’i menuturkan, “Aku melihat seorang Badui yang berumur seratus duapuluh tahun, dan aku berkata, ‘Alangkah panjangnya umur Anda.’ Ia menjawab, ‘Aku telah meninggalkan dengki, hingga umurku panjang’.”
Ibnul Mubarak mengatakan, “Segala puji bagi Allah, yang tidak menempatkan dengki dalam hati pernimpinku sebagaimana yang telah ditempatkan Nya dalam hati pendengkiku.”

Dalam salah satu hadist dikatakan, “Ada seorang malaikat di langit kelima yang amal perbuatan seorang manusia melaluinya, dan ia bersinar kemilau seperti matahari. Malaikat itu memerintahkan, ‘Berhentilah, karena aku adalah malaikat dengki. Pukullah pelaku dengki pada mukanya, sebab ia adalah seorang pendengki.”

Mu’awiyah bin Abu Sufyan berkata, ‘Aku mampu menyenangkan semua orang kecuali pendengki. Ia tidak pernah merasa puas dengan apa pun selain berhentinya kenikmatan bagi semua orang.”
Dikatakan, “Seorang pendengki adalah seorang yang paling zalim. Ia tidak membiarkan sesuatu pun tetap tinggal di tempatnya.”
Umar bin Abul Aziz menegaskan,’Aku tidak pernah melihat orang yang lebih zalim yang sama dengan kezaliman pendengki. Sebab ia senantiasa berada dalam keadaan sengsara dan nafas sesak.”

Dikatakan, “Di antara tanda tanda seorang pendengki adalah penjilat orang lain manakala orang itu berada di dekatnya, memfitnahnya manakala tidak berada di dekatnya, dan merasa senang apabila ada bencana yang menimpa diri orang lain.”
Mu’awiyah berkata, “Tidak ada sifat sifat kejahatan yang lebih tegak daripada dengki. Orang yang dengki binasa sebelum orang yang didengkinya.”

Dikatakan bahwa Allah swt. mewahyukan kepada Sulaiman putra Daud as, “Kuperintahkan engkau agar melakukan tujuh perkara, janganlah engkau menggunjing dan mendengki salah seorang hamba-Ku yang saleh.’ Sulaiman menjawab, ‘Tuhanku, cukuplah perintah itu bagiku’.”
Dikatakan bahwa Musa as. melihat seorang manusia di dekat ‘Arasy. Karena Musa ingin menempati kedudukan itu, beliau bertanya, “Apa amalnya?” Pertanyaannya itu dijawab, “Ia tidak pernah dengki terhadap manusia karena anugerah Allah swt. kepadanya.”

Dikatakan, “Seorang pendengki menjadi bingung bila melihat adanya rahmat atas diri orang lain dan merasa senang jika melihat adanya kekurangan pada diri orang lain.”
Dikatakan, “Jika engkau ingin selamat dari seorang pendengki, sembunyikanlah urusanmu darinya.”

Dikatakan pula, “Seorang pendengki sangat marah terhadap manusia yang tidak mempunyai dosa, dan bersikap kikir terhadap yang tidak ia miliki.”
Dikatakan juga, “Waspadalah jangan sampai engkau mengharapkan untuk mencintai orang yang mendengkimu, sebab ia pasti tidak akan menerima kebaikanmu.”
Kata salah seorang Sufi, “Apablla Allah swt. berkehendak memberikan kekuasaan kepada seorang musuh yang tak mengenal kasihan terhadap salah seorang hamba Nya, maka kekuasaan itu diberikan Nya kepada pendengkinya.”

Dalam syair Sufi:
Cukuplah bagimu kisah tentang seseorang
yang dikasihani oleh para pendengkinya.

Mereka juga membacakan syair berikut:
Semua permusuhan terkadang diharapkan
kematiannya
Kecuali permusuhan dari orang
yang melawanmu dengan rasa dengki.

Mereka juga membacakan syair:
Manakala Allah berkehendak menebar kebajikan
Digulunglah lidah pendengkinya,

Ibnul Mu’tazz mengatakan:
Katakan pada pendengki
ketika nafasnya terengah-engah,
‘Hai si zalim.’
Sedang ia seakan akan orang yang ditindas.

—(ooo)—

Melawan Nafsu

Syeikh Abul Qasim al-Qusyairy

Firman Allah swt.:
“Dan adapun orang orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya.” (Q.s An Naazi’aat: 40-1).

Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah, bahwa Rasulullah telah bersabda:
“Hal yang paling ku takutkan kepada ummatku adalah mengumbar hawa nafsu dan melamun panjang. Mengumbar hawa nafsu memalingkan manusia dari Al Haq, sedang melamun panjang membuat orang lupa kepada akhirat. Karena itu, ketahuilah bahwa melawan hawa nafsu adalah modal ibadat.” (H.r. Hakim dan Dailamy).

Ketika salah seorang syeikh ditanya tentang Islam, ia menjawab, “Membabat nafsu dengan pisau perlawanan. Dan ketahuilah bahwa bagi seseorang yang nafsunya telah bangkit, maka pencerahan hati yang menyebabkan sukacita jiwanya di hadapan Allah swt. akan hilang. ”
Dzun Nuun al Mishry mengatakan, “Kunci ibadat adalah tafakur. Tanda tercapainya tujuan adalah perlawanan terhadap hawa nafsu dengan meninggalkan keinginan-keinginannya.”

Ibnu Atha’ berkata, “Nafsu itu dengan sendirinya cenderung pada perilaku yang jahat. Pada saat yang sama, si hamba diperintahkan agar bersabar di dalam beradab. Jadi, hawa nafsu berperilaku sesuai dengan wataknya dengan cara menentang, dan si hamba menolak hawa nafsu dengan perjuangannya melawan tuntutan tuntutannya yang jahat.”

Al Junayd berkomentar, “Nafsu amarah yang terus menerus mendorong pada kejahatan adalah penyeru kepada kebinasaan, pembantu musuh, pengikut hawa nafsu, dan diharu biru dengan berbagai macam kejahatan.”
Abu Hafs mengajarkan, “Barangsiapa tidak mencurigai diri sendiri dalam setiap waktu, tidak menentangnya dalam setiap keadaan ruhani, dan tidak memaksakan kepada diri sendiri apa yang tidak disukai dalam hari harinya adalah manusia yang tertipu. Dan barangsiapa memberikan perhatian kepada nafsu dan menyetujui sebagian darinya identik dengan menghancurkan diri sendiri. Bagaimana bisa membenarkan bagi orang yang memiliki akal untuk menyenangi diri sendiri?
Sedangkan Yusuf a.s. yang mulia, putra dari keturunan yang mulia, Ya’qub bin Ishaq bin Ibrahim a.s. berkata, “Aku tidak membersihkan diriku dari kesalahan; sesungguhnya nafsu itu cenderung kepada kejahatan.” (Q.s.Yusuf 53).

Al Junayd menuturkan, “Suatu malam aku tidak dapat tidur, lalu aku bangun untuk melakukan wird. Tetapi aku tidak menemukan kemanisan atau kenikmatan yang biasanya kurasakan. Maka aku menjadi bingung dan berharap untuk dapat tidur saja, tapi tetap tidak dapat. Lalu aku duduk, namun demikian aku tidak dapat duduk nyaman. Maka kubuka jendela, dan aku pergi keluar. Ku lihat seorang laki laki berselimutkan mantel sedang berbaring di jalan. Ketika ia menyadari kehadiranku, ia mengangkat kepalanya dan berkata, ‘Wahai Abul Qasim, lihatlah waktu!’ Aku menjawab, ‘Tuanku, tidak ada ketentuan waktu.’ Ia berkata, ‘Bahkan aku sudah memohon kepada Sang Pembangkit hati agar menggerakkan hatimu kepadaku.’ Aku berkata, ‘Dia telah melakukannya. jadi, apa kemauan Anda?’ Ia menjawab, ‘Bilakah penyakit nafsu menjadi obatnya sendiri?’ Aku menjawab, ‘Jika nafsu menentang hawanya, maka penyakitnya menjadi obatnya.’ Kemudian laki laki itu berpaling dan berkata kepada dirinya sendiri, ‘Dengar, (hai nafsu), aku telah menjawab pertanyaanmu tujuh kali dengan jawaban seperti itu, tapi engkau menolak menerimanya sampai engkau mendengarnya dari al Junayd, dan sekarang engkau telah mendengarnya.’ Kemudian ia berlalu meninggalkan aku. Aku tidak tahu siapa dirinya dan tidak pernah bertemu lagi dengannya.

Abu Bakr ath Thamastany berkata, “Nikmat terbesar adalah jika engkau keluar dari dirimu sendiri, sebab ia adalah tabir terbesar antara dirimu dengan Allah swt.”
Sahl bin Abdullah mengatakan, “Tidak ada ibadat bagi Allah yang lebih utama dari menentang hawa nafsu. ”

Ketika ditanya tentang perkara yang paling dibenci Allah swt, Ibnu Atha’ menjawab, “Memberikan perhatian kepada diri sendiri dengan segala keadaannya. Lebih buruk dari itu adalah mengharapkan imbalan atas perbuatan perbuatannya.”

Ibrahim al Khawwas menuturkan, ‘Aku sedang berada di atas gunung al Lakam, ketika aku melihat segerombol pohon delima, timbul keinginanku untuk mencicipinya sebuah. Lalu aku naik ke atas memetik sebuah dan membelahnya, akan tetapi rasanya asam. Lalu aku melihat seorang laki laki terbaring di tanah, dikerumuni lebah. Aku berkata kepadanya, ‘Assalamu’alaikum.’ Ia menjawab, ‘Wa’alaikum salam, wahai Ibrahim,’ Aku bertanya, ‘Bagaimana engkau mengenalku?’ Ia menjawab, Tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi dari manusia yang mengenal Allah swt.’ Aku berkata, ‘Kulihat engkau berada dalam keadaan bersama Allah. Mengapa engkau tidak meminta kepada Nya agar melindungimu dari gangguan lebah lebah itu?’ Ia berkata, ‘Dan engkau, kulihat juga berada dalam keadaan bersama Allah swt. Mengapa engkau tidak meminta kepada Nya juga agar melindungimu dari keinginan makan delima? Manusia akan mengalami rasa sakit dari sengatan delima di akhirat, sementara sengatan lebah hanya terasa sakit di dunia!’ Akupun pergi berlalu meninggalkan orang itu.

Dalam satu riwayat Ibrahim bin Syaiban mengabarkan, “Selama empatpuluh tahun aku tidak pernah bermalam satu kali pun di bawah atap rumahku atau di tempat tertutup yang lain. Namun terkadang aku masih menginginkan agar bisa makan ‘adas dengan kenyang. Sayang keinginanku itu tak pernah terpenuhi. Pada suatu hari, ketika aku berada di Syam, seseorang menghidangkan semangkok penuh 4 ‘adas kepadaku. Aku makan isinya dan kemudian berangkat. Di tengah jalan aku, melihat botol botol besar berisi semacam cairan, yang kukira adalah cuka. Di antara mereka menegurku, ‘Bagaimana pendapatmu? Ini adalah botol botol anggur, dan ini guci anggur,’ Aku berkata kepada diri sendiri, ‘Adalah kewajibanku …’ Kemudian aku pun masuk ke dalam warung dan menumpahkan isi botol botol serta guci guci itu. Orang Itu mengira bahwa aku menumpahkan isi botol botol itu atas perintah sultan. Tapi ketika mengetahui bahwa itu hanya inisiatifku sendiri, Ia lalu membawaku kepada Ibnu Thaulun, yang memerintahkan agar aku didera duaratus kali dan dimasukkan ke dalam penjara. Aku tinggal di penjara beberapa waktu lamanya sampai Abu Abdullah al Maghriby, guruku, datang ke negeri itu dan membebasanku. Ketika melihatku, beliau bertanya, Apa yang telah engkau perbuat? ‘Aku menjawab, ‘Satu perut yang penuh berisi ‘adas dan duaratus deraan!’ Beliau berkata, ‘Engkau telah diselamatkan dari segala tuduhan di akhirat’.”

Dalam suatu riwayat Sary as Saqathy pernah menuturkan, “Selama tigapuluh atau empatpuluh tahun, nafsuku telah meminta kepadaku sepotong wortel yang dicelup dalam madu kurma, tetapi aku belum sempat memakannya!” Saya dengar Abul Abbas al Baghdady, menuturkan bahwa kakeknya pernah berkata, “Bencana seorang hamba adalah rasa puasnya terhadap keadaan dirinya.”

‘Isham bin Yusuf al Balkhy menghadap, kepada Hatim al Asham, ia pun diterima. Seseorang bertanya, “Mengapa Anda menerimanya.”
Hatim menjawab, “Dengan menerimanya aku. merasakan rasa hinaku sekaligus merasakan kebanggaannya. Sebaliknya, apabila aku menolaknya, aku merasakan kebanggaanku sekaligus merasakan rasa hinanya. Maka aku. memilih kebanggaannya daripada kebanggaanku dan kehinaanku daripada kehinaannya.”

Seseorang berkata kepada salah seorang Sufi, “Aku ingin melaksanakan ibadat haji dalam keadaan menyepi (tajrid).” Sang Sufi menjawab, “Lebih tadridlah sifat alpa dari dalam hatimu, kekurangseriusan dari dirimu, dan perkataan yang sia sia dari lidahmu; setelah itu tempuhlah ke mana saja engkau mau.”

Abu Sulaiman ad Darany berkata, “Orang yang melewati malam harinya dengan cukup baik akan memperoleh balasan di siang harinya, dan orang yang melewati siang dengan cara yang baik akan memperoleh balasan di malam harinya. Barangsiapa tulus dalam menjauhi hawa nafsu akan terbebas dari beban memberi makanan. Allah swt. bersifat Maha Pemurah hingga tidak berkehendak untuk menghukum hati yang menjauhi hawa nafsu demi Dia.”

Allah swt. mewahyukan kepada Daud as, “Peringatkanlah para sahabatmu terhadap sikap menuruti hawa nafsu, sebab hati yang terikat kepada hawa nafsu dunia tertutup dari Ku.”
Dikatakan bahwa seseorang sedang duduk melayang di udara, dan seseorang bertanya kepadanya, “Bagaimana engkau bisa melakukan hal ini? ” Ia menjelaskan, ‘Aku meninggalkan hawa nafsu, karenanya Allah swt. menjadikan udara tunduk kepadaku.”

Dikatakan, “Jika (pemenuhan) seribu hawa nafsu ditawarkan kepada seorang Mukmin, niscaya ia akan menolaknya dengan rasa takut kepada Allah swt. Tetapi Jika pemenuhan satu kehendak hawa nafsu ditawarkan kepada seorang pendosa, pemenuhan itu akan mengusir darinya rasa takut kepada Allah swt.” Dikatakan juga, “Janganlah engkau tempatkan kendalimu di tangan nafsu, sebab ia pasti membawamu pada kegelapan.”
Nusuf bin Asbat berkata, “Hanya takut yang sangat atau kerinduan yang bergelora sajalah yang bisa memadamkan nafsu.”
Al Khawwas berkata, “Barangsiapa meninggalkan hawa nafsu, tapi tidak menemukan pengganti dalam hatinya adalah seorang pendusta dalam meninggalkan hawa nafsu itu sendiri.”

Ja’far bin Nashr mengabarkan, “Al Junayd memberiku uang satu dirham dan menyuruhku membeli semacam buah kenari. Kubeli beberapa buah, dan ketika saat berbuka puasa tiba, ia memecah sebuah dan memakan isinya. Tapi kemudian ia memuntahkannya dan menangis. ‘Singkirkan buah buah ini!’ pintanya. Ketika aku bertanya apa yang telah terjadi, ia menjawab, ‘Sebuah suara berseru dalam hatiku, ‘Tidakkah engkau merasa malu? Engkau menjauhi satu nafsu demi untuk Ku, tapi kemudian mengambilnya lagi’!’
Kaum Sufi bersyair:
Huruf nun dari kehinaan (hawan) dari hawa telah dicuri.
Menyerah kepada hawa nafsu jatuh dalam kehinaam

—(ooo)—

Khusyu dan Tawadhu’

Syeikh Abul Qasim al-Qusyairy

Allah swt. berfirman Allah:
“Sesungguhnya beruntunglah orang orang yang beriman, mereka yang khusyu’ dalam shalatnya”.(Q.s. Al Mu’minun: 1 2)

Diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud, bahwa Rasulullah saw. bersabda:
“Tidak akan masuk surga, barangsiapa yang dalam hatinya terdapat kesombongan walau sekecil biji sawi, dan tidak akan masuk neraka barangsiapa yang dalam hatinya terdapat iman walaupun sekecil biji sawi.” Seseorang bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana jika seseorang suka berpakaian bagus;”‘ Beliau menjawab, “Allah swt. Maha Indah dan menyukai keindahan, sombong adalah berpaling dari AI Haq dan mencemooh manusia.” (H.r. Muslim).

Anas bin Malik mengabarkan, “Rasulullah saw. suka mengunjungi orang sakit, mengiringkan jenazah, mengendarai keledai dan memenuhi undangan budak-budak. Dalam peperangan melawan bani Quraidhah dan bani Nadhir, Rasul mengendarai seekor keledai yang diberi tali kendali dari ijuk korma dan di atasnya diberi pelana ijuk pula. ”
Khusyu’ adalah berkait kepada Allah swt, dan tawadhu’ adalah menyerah kepada Allah dan menjauhi sikap kontra dalam menerima hukum.

Hudzaifah berkata, “Khusyu’ adalah hal yang pertama tama hilang dari agamamu.” Ketika salah scorang Sufi ditanya tentang khusyu’, ia menjawab, “Khusyu’ adalah tegaknya hati di hadapan Allah swt.”
Sahl bin Abdullah menegaskan, “Setan tidak akan mendekati orang yang hatinya khusyu’.” Dikatakan, “Di antara tanda tanda kekhusyu’an hati seorang hamba adalah manakala ia diprovokasi, disakiti hatinya atau ditolak, maka ia semua itu diterimanya.”
Salah seorang Sufi berkomentar, “Kekhusyu’an hati adalah menahan mata dari melirik ke sana ke mari.”

Muhammad bin Ali at Tirmidzy menjelaskan, “Khusyu’ adalah begini: jika api hawa nafsu dalam diri seseorang padam, asap dalam dadanya reda dan cahaya kecemerlangan bersinar dalam hatinya, lalu hawa nafsunya mati, sementara cahaya keagungan menyinari hatinya, sehingga syahwatnya mati, dan hatinya hidup khusyu’lah semua anggota badannya.”
Al Hasan al Bashry berkata, “Khusyu’ adalah rasa takut yang terus menerus dalam hati.”
Ketika al junayd ditanya tentang khusyu’, ia menjawab, “Khusyu’ adalah jika hati menghinakan dirinya di hadapan Yang Maha Tahu kegaiban.”
Allah swt. berfirman:
“Hamba hamba Ar Rahman yaitu orang orang yang berjalan di muka bumi dengan sikap rendah hati.” (Q.s. Al Furqan: 63).
Syeikh Abu Ali ad Daqqaq mengatakan, bahwa makna ayat ini adalah hamba hamba Allah itu berjalan di muka bumi dengan penuh khusyu’ dan tawadhu’.

Saya juga mendengar beliau mengatakan, bahwa mereka adalah orang orang yang tidak memperdengarkan bunyi sandal mereka ketika berjalan.
Kaum Sufi sepakat bahwa tempat khusyu’ adalah di dalam hati. Ketika salah seorang Sufi melihat seorang laki-laki yang memperlihatkan sikap rendah hati dalam perilaku lahiriahnya, dengan mata yang memandang ke bawah dan bahu yang rendah, ia berkata kepadanya, “Wahai sahabat, khusyu’ itu di sini,” sambil menunjuk ke dadanya, bukan di sini,” sambil menunjuk bahunya.

Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. melihat seorang laki-laki sedang mengelus-elus jenggotnya dalam shalat, dan beliau lalu bersabda:
“Jika hatinya khusyu’, niscaya anggota badannya juga akan khusyu’.” (H.r. Tirmidzi).
Dikatakan, “Khusyu’ dalam shalat berarti seseorang tidak menyadari siapa yang sedang berdiri di sebelah kanan atau kirinya.
Syeikh ad-Daqqaq berkata, “Khusyu’ mirip dengan perkataan, bahwa hati nurani seseorang dikhidmatkan sambil musyahadah kepada Allah swt.” Dikatakan, “Khusyu’ adalah perasaan papa dan hina yang meresap ke dalam hati manakala menyaksikan Allah swt.”

Dikatakan pula, “Khusyu’ adalah kegentaran hati di kala hati dikuasai hakikat.”
Khusyu’ adalah mukadimah bagi luapan anugerah.
Dikatakan, “Khusyu’ adalah kegentaran hati secara tiba-tiba ketika Kebenaran terungkapkan secara tiba-tiba.”
Fudhail bin ‘Iyadh menegaskan, bahwa dirinya tidak senang melihat seseorang terlihat lebih khusyu’ daripada batinnya.
Abu Sulaiman ad-Darany berkata, “Seandainyanya semua manusia bersatu padu untuk menghinakan aku, niscaya mereka tidak akan mampu mencapai kedalaman dimana aku menghinakan diriku seridiri.

Dikatakan, “Orang yang tidak merendahkan dirinya, orang lain tidak akan menghormatinya pula.”
Umar bin Abdul Aziz tidak mau bersujud kecuali hanya di tanah.
Mujahid berkata, “Ketika Allah swt. menenggelamkan kaum Nabi Nuh, gunung-gunung bersikap congkak dan meninggikan diri, tetapi Bukit Judy merendahkan dirinya. Karena itu, Allah swt. menjadikannya sebagai tempat mendaratnya perahu Nabi Nuh as.”
Umar bin Khaththab r.a. selalu berjalan cepat-cepat, tentang ini dijelaskannya bahwa berjalan secara demikian akan membawanya lebih cepat kepada kebutuhan dan menjaganya dari keangkuhan.
Pada suatu malam Umar bin Abdul Aziz r.a. sedang menulis, lalu datanglah seorang tamu. Melihat lampu hampir padam, si tamu menawarkan diri, “Biarlah saya yang membesarkan nyalanya.” Tapi Umar menjawab, “Jangan, tidaklah ramah menjadikan tamu sebagai pelayan!” Maka si tamu lalu berkata, “Kalau begitu, biarlah saya panggilkan pelayan.” Umar menolak, “Jangan, ia baru saja pergi tidur!”
Lalu beliau sendiri pergi ke tempat penyimpanan minyak dan mengisi lampu itu. Si tamu. berseru, “Tuan lakukan pekerjaan ini sendiri, wahal Amirul Mukminin?” Umar berkata kepadanya, “Aku melangkah dari sini sebagai Umar, dan kembali ke sini masih sebagal Umar pula.”

Abu Sa’id al-Khudry r.a. meriwayatkan bahwa Nabi saw. selalu memberi makan unta unta, menyapu lantai rumah, memperbaiki sandal, menambal baju, memerah susu, makan bersama pelayan dan membantunya menggiling gandum jika pelayan lelah. Beliau tidak pernah merasa malu membawa barang-barang beliau sendiri dari pasar untuk keluarganya. Beliau biasa berjabat tangan dengan orang kaya maupun miskin, dan lebih dahulu memberi salam jika bertemu.

Nabi saw. tidak pernah mencela makanan apa pun yang dihidangkan kepada beliau, sekalipun hanya berupa kurma kering. Beliau sangat sederhana dalam hal makanan, lemah lembut dalam berperilaku, mulia dalam sikap, baik dalam berteman, wajahnya bercahaya, tersenyum tapi tanpa tertawa, sedih tapi tidak cemberut; rendah hati tapi tidak lembek, murah hati tapi tidak boros. Rasulullah saw. juga berhati lembut dan kasih sayang kepada setiap Muslim. Tidak pernah memperlihatkan tanda tanda telah makan kenyang, dan juga tidak pernah mengulurkan tangan dengan rakus.

Fudhail bin ‘lyadh berkata, “Para ulama dari Yang Maha Pengasih memiliki sikap khusyu’ dan tawadhu’, sedangkan para ulama penguasa memiliki sikap takjub dan sombong.” Ia juga berkomentar, “Barangsiapa menganggap dirinya masih berharga, berarti tidak memiliki sifat tawadhu’ sama sekali.”

Ketika Fudhail ditanya tentang tawadhu’, ia mengajarkan, “Pasrahlah kepada kebenaran, patuhi dan terimalah ia dari siapa pun yang mengatakannya.”
Ketika al junayd ditanya tentang tawadhu’, ia menjawab, “Tawadhu’ adalah merendahkan sayap terhadap semua makhluk dan bersikap lembut kepada mereka.”

Wahb berkata, “Telah tertulis dalam salah satu kitab suci, ‘Sesungguhnya Aku (Allah) mengambil sari zat dari tulang sulbi Adam, dan Aku tidak menemukan hati yang lebih tawadhu’ daripada hati Musa as. Maka Kupilih ia dan Aku berbicara langsung dengannya’.”

Ibnul Mubarak mengatakan, “Kesombongan terhadap orang kaya dan rendah hati terhadap yang miskin adalah bagian dari sifat tawadhu’.”
Abu Yazid ditanya, “Bisakah seseorang mencapai sifat tawadhu’?. Dijawabnya, “jika ia tidak menisbatkan dirinya pada suatu maqam dan haal, serta menganggap bahwa tidak seorang pun di antara ummat manusia di dunia ini yang lebih buruk dari dirinya.”
Dikatakan, “Tawadhu’ adalah anugerah Allah yang tidak pernah iri dengki orang, dan kesombongan adalah penderitaan yang tidak membangkitkan belas kasihan. Kemuliaan terletak pada sikap tawadhu’, dan orang yang mencari kemuliaan dalam kesombongan tidak akan pernah mendapatkannya.”

Ibrahim bin Syaiban menegaskan, “Kehormatan terletak di dalam sikap tawadhu’, kemuliaan di dalam takwa, dan kemerdekaan di dalam qana’ah.”
Abu Sa’id al Araby mengatakan, telah sampai kepadanya tentang Sufyan ats-Tsaury yang berkata, ‘Ada lima macam manusia termulia di dunia: Ulama yang zuhud, seorang faqih yang Sufi, seorang kaya yang rendah hati, scorang fakir yang bersyukur, dan seorang bangsawan yang mengikuti Sunnah.”

Yahya bin Mu’adz menegaskan, “Kerendahan hati adalah sifat yang sangat baik bagi setiap orang, tapi ia paling baik bagi seorang yang kaya. Kesombongan adalah sifat yang menjijikkan bagi setiap orang, tetapi ia paling menjijikkan jika terdapat pada orang yang miskin.”
Ibnu Atha’ berkomentar: “Tawadhu’ adalah menerima kebenaran dari siapa pun datangnya.”

Dikisahkan, ketika Zaid bin Tsabit sedang mengendarai kuda, Ibnu Abbas datang mendekatinya agar dapat memegang kendali kudanya. Maka Zaid lalu mencegahnya, “Jangan, wahai anak paman Rasulullah!” Ibnu Abbas berkata, “Itulah yang diperintahkan kepada kami terhadap para ulama kami.” Maka Zaid bin Tsabit meraih tangan Ibnu Abbas lalu menciumnya, sambil berkata, “Ini adalah yang diperintahkan untuk kami lakukan terhadap keluarga Rasulullah saw.”

Urwah bin az-Zubair menuturkan, “Ketika aku melihat Ummar bin Khaththab memikul segantang air di atas pundaknya, aku berkata kepadanya, ‘Wahai Amirul Mukminin, pekerjaan ini tidak patut bagi Anda.” Beliau menjawab, “Ketika para delegasi datang kepadaku, mendengarkan dan menaatiku, suatu perasaan sombong merasuk ke dalam hatiku, dan kini aku ingin menghancurkannya.” Beliau terus memikul air itu dan membawanya ke rumah seorang wanita Anshar dan mengisikannya ke dalam gentong milik wanita itu.

Abu Nashr as-Sarraj ath-Thausy mengabarkan, “Ketika Abu Hurairah r.a. menjabat amir di Madinah, ia pernah terlihat sedang memikul seikat kayu di atas punggungnya, dan berteriak teriak, ‘Beri jalan untuk amir’!”
Abdullah ar-Razy menjelaskan, “Tawadhu’ adalah tidak membedabedakan dalam memberikan pelayanan.”

Abu Sulaiman ad-Darany berkata, “Barangsiapa yang masih memberikan nilai kepada dirinya sendiri tidak akan merasakan manisnya ibadat.”
Yahya bin Mu’adz mengatakan, “Keangkuhan terhadap orang yang bersikap sombong terhadapmu dikarenakan kekayaannya, adalah sikap tawadhu’.”

Seorang laki-laki datang kepada asy-Syibly dan bertanyalah kepadanya, “Siapakah engkau?” ia menjawab, “Wahai tuanku, sebuah titik di bawah ba.” Lalu laki laki itu berkata, “Engkau adalah saksiku, sepanjang engkau menganggap rendah kedudukan dirimu sendiri.”
Ibnu Abbas r.a. mengatakan, “Salah satu bagian tawadhu’ adalah bahwa orang meminum sisa minuman yang ditinggalkan oleh saudaranya.”
Bisyr mengajarkan, “Berilah salam kepada para pecinta dunia dengan cara tidak memberi salam kepada mereka.”

Syu’alb bin Harb menuturkan, “Ketika aku sedang melakukan thawaf di Ka’bah, seorang buruh laki laki menyikutku, dan aku menoleh kepadanya. Ternyata orang itu adalah Fudhail bin ‘Iyadh, yang berkata, “WahaiAbu Shalih, jika engkau berpikiran bahwa di antara manusia yang melakukan ibadat haji ini ada yang lebih hina daripada dirimu atau diriku, maka betapa buruknya pikiranmu itu’.”

Salah seorang Sufi mengatakan, ‘Aku melihat seorang laki laki ketika sedang melakukan thawaf di Ka’bah. Ia sedang dikelilingi oleh orang orang yang menyanjung dan memujinya. Karena ulah mereka itu, hingga menghalangi orang lain dari melakukan thawaf, selang beberapa waktu setelah itu aku melihat ia meminta minta kepada orang orang yang lewat di sebuah jembatan di Baghdad. Aku terkejut dan heran, ia lalu berkata kepadaku, Aku dulu membanggakan diri di tempat di mana manusia mestinya merendahkan diri, maka Allah swt. lalu menimpakan kehinaan kepadaku di tempat di mana manusia berbangga diri.”

Ketika Umar bin Abdul Aziz mendengar bahwa salah seorang putranya telah membeli sebuah permata yang sangat mahal seharga seribu dirham. Beliau lalu menulis surat kepadanya, ‘Aku telah mendengar bahwa engkau telah membeli sebutir permata seharga seribu dirham, jika surat ini telah sampai ke tanganmu, juallah cincin itu dan berilah makan seribu orang miskin, selanjutnya buatlah cincin seharga dua dirham, dengan batu dari besi Cina, dan tulislah padanya, ‘Allah mengasihi orang yang mengetahui harga dirinya yang sebenarnya’.”

Dikatakan bahwa Jabir bin Hayawah berkomentar, “Ketika Umar bin Abdul Aziz sedang berkhutbah, ku taksir-taksir pakaian yang dikenakannya berharga sekitar duabelas dirham saja, yang terdiri dari jubah luar, surban, celana, sepasang sandal, dan selendang.”
Dikatakan bahwa ketika Abdullah bin Muhammad bin Wasi’ berjalan dengan lagak tak terpuji, ayahnya berkata kepadanya, “Tahukah kamu dengan harga berapa aku dulu membeli ibumu? Cuma tigaratus dirham. Dan ayahmu ini, semoga Allah tidak memperbanyak jumlah manusia yang sepertinya di kalangan kaum Muslimin. Lantas, dengan orangtua yang semacam ini, engkau berjalan dengan lagak begitu?”
Hamdun al-Qashshar berkata, “Tawadhu’ adalah engkau tidak memandang dirimu dibutuhkan oleh siapa pun, baik di dunia ini maupun di dalam hal agama.”

Dikatakan bahwa Abu Dzar dan Bilal -semoga Allah meridhai mereka berdua- sedang bertengkar. Abu Dzar menghina Bilal karena kulitnya yang hitam. Bilal mengadu kepada Rasulullah saw, yang lalu bersabda, “Wahai ‘Abu Dzar, sungguh masih ada sifat jahiliyah dalam hatimu!” Mendengar itu, Abu Dzar menjatuhkan dirinya ke tanah dan bersumpah tidak akan mengangkat kepalanya sampai Bilal menginjakkan kakinya pada pipinya. Ia tidak bangunbangun sampai Bilal melakukan hal itu.

Ketika al Hasan bin Ali r.a. berjalan melewati sekelompok anak-anak yang sedang makan roti, mereka mengajaknya pula makan. Beliau pun turun dari atas kendaraan dan makan bersama mereka. Kemudian beliau membawa mereka ke rumah beliau, mengajak mereka makan, memberi mereka pakaian, dan berkata, ‘Aku berhutang budi kepada mereka sebab mereka tidak memperoleh lebih dari apa yang mereka tawarkan kepadaku, sedangkan aku memperoleh keuntungan lebih dari itu.”

—(ooo)—

Lapar dan Meninggalkan Syahwat

Syeikh Abul Qasim al-Qusyairy

Allah swt. berfirman:
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sebagian ketakutan dan kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah buahan. Dan berikanlah kabar gembira kepada kepada orang orang yang sabar.” (Q.s. Al Baqarah: 155).

Berikanlah kabar gembira dengan pahala yang indah karena kesabaran mereka dalam menanggung lapar. Allah swt. berfirman:
“Dan mereka memprioritaskan (Muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu).” (Q.s. AI Hasyr: 9).

Anas bin Malik menuturkan bahwa ketika Fatimah r.a.” memberikan sekerat roti bagi Rasulullah saw, beliau bertanya, “Apa ini, wahai Fatimah?” Fatimah menjawab, “Sepotong roti yang saya masak sendiri. Hati saya tidak dapat tenang sebelum memberikan roti ini kepadamu.”

Beliau menjawab, “Ini adalah sepotong makanan pertama yang masuk ke mulut ayahmu sejak tiga hari ini.” (Hadis ini diriwayatkan oleh al Harits bin Abu Usamah dalam Musnad nya, melalui sanad yang dha’if, namun memiliki bukti kebajikan sanad dalam maknanya)
Alasan inilah yang menjadikan lapar termasuk dalam sifat kaum Sufi dan salah satu tiang mujahadah. Para penempuh suluk selangkah demi selangkah maju membiasakan berlapar lapar menahan diri dari makan, dan mereka menemukan mata air kebijaksanaan di dalam lapar. Cerita tentang mereka dalam hal ini cukup banyak.

Ibnu Salim berkata, “Etika berlapar diri adalah bahwa seseorang terus menerus tidak mengurangi porsi makanannya, kecuali sebesar telinga kucing (amat sedikit).” Dikatakan bahwa Sahl bin Abdullah tidak makan, kecuali setiap limabelas hari. Manakala bulan Ramadhan tiba, ia bahkan tidak makan sampai melihat bulan baru. Dan tiap kali berbuka hanya minum air putih saja.
Yahya bin Mu’adz menjelaskan, “Seandainya orang dapat membeli lapar di pasar, maka para pencari akhirat niscaya tidak akan perlu membeli sesuatu yang lain di sana.”

Sahl bin Abdullah berkomentar, “Ketika Allah swt. menciptakan dunia, Dia menempatkan dosa dan kebodohan di dalam kepuasan nafsu makan minum, dan menempatkan kebijaksanaan dalam lapar.”
Yahya bin Mu’adz mengatakan, “Lapar bagi para penempuh jalan Allah (murid) adalah olah ruhani (riyadhah), sebuah cobaan bagi orang-orang yang bertobat, dan siasat bagi para zahid, tanda kemuliaan bagi para ahli ma’rifat.”

Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq menuturkan, “Seseorang datang menjumpai salah seorang syeikh, dan ketika melihat sang syeikh menangis, ia bertanya, “Mengapa Anda menangis?” Sang syeikh menjawab, “Aku lapar.” Ia mencela, “Seorang seperti Anda, menangis karena lapar?” Sang syeikh balas mencela, “Diamlah! Engkau tidak mengetahui bahwa tujuan Nya menjadikan aku lapar adalah agar aku menangis”.”
Dawud bin Mu’adz mengisahkan, bahwasanya Mukhallid mengabarkan, ‘Al Hajjaj bin Furafishah sedang berada bersama kami di Syam, dan selama limapuluh malam ia tidak minum air ataupun mengisi perut dengan sesuap makanan pun.”

Abu Abdullah Ahmad bin Yahya al-Jalla’ berkata, “Abu Turab an-Nakhsyaby datang mengarungi padang pasir Bashrah ke Mekkah – semoga Allah melindungi kota ini – dan kami bertanya kepadanya tentang makanannya. Ia menjawab, ‘Aku meninggalkan Bashrah, makan di Nibaj dan kemudian di Dzat Araq. Dan dari Dzat Araq aku datang kepada kalian.’ Jadi, ia menyeberangi padang itu dengan hanya makan sebanyak dua kali.”
Setiap kali Sahl bin Abdullah lapar, ia tegar, dan setiap kali makan ia menjadi lemah.

Abu Utsman al-Maghriby berkata, “Orang yang mengabdi kepada Tuhan (rabbany) hanya makan setiap empatpuluh hari, dan orang yang mengabdi kepada Yang Abadi (shamadany) hanya makan setiap delapanpuluh hari.”
Abu Sulaiman ad-Darany menegaskan, “Kunci dunia ini adalah mengisi perut, dan kunci akhirat adalah lapar.”

Sahl bin Abdullah ditanya, “Bagaimana pendapat Anda tentang orang yang makan sekali sehari?” Dijawabnya, “Itulah makan orang beriman.” “Bagaimana dengan yang makan tiga kali sehari?” Ia mencela, “Suruh saja orang membuat gentong makanan untukmu.”
Yahya bin Mu’adz berkomentar, “Lapar adalah pelita, dan kenyang adalah api. Hawa nafsu adalah seperti kayu api yang darinya muncul api yang berkobar, dan tidak akan padam sampai ia membakar pemiliknya.”
Abu Nashr as-Sarraj ath-Thausy menuturkan, “Seorang laki laki dari kaum Sufi datang menemui seorang syeikh dan menyuguhkan sedikit makanan. Lalu ia bertanya, ‘Sudah berapa lama Anda tidak makan?’ Sang syeikh menjawab, ‘Lima hari.’ Si Sufi berkata, ‘Lapar Anda adalah lapar orang bakhil. Anda memakai pakaian (bagus) sementara Anda lapar. Itu bukanlah lapar orang fakir’!”
Abu Sulaiman ad-Darany menegaskan, “Bahwa meninggalkan sepotong daging di waktu makan malam lebih kusukai daripada berdiri melakukan shalat sepanjang malam.”

Berkata Abul Qasim ja’far bin Ahmad ar-Razy, “Beberapa hari Abul Khayr al ‘Asqalany ingin sekali mengonsumsi ikan. Lalu sejumlah ikan sampai ke tangannya melalui jalan yang halal. Tetapi ketika tangannya meraih ikan itu untuk dimakannya, lalu ia berkata, ‘Ya Allah, jika hal ini menimpa orang yang mengulurkan tangannya karena ingin memakan barang yang halal, apa pula yang akan terjadi kepada orang yang mengulurkan tangannya untuk sesuatu yang haram’?”
Saya mendengar Rustam asy-Syirazy as-Shufy menuturkan, “Abu Abdullah bin Khafif sedang menghadiri jamuan makan, tiba-tiba salah seorang muridnya bermaksud mengambil makanan mendahului sang syeikh karena laparnya. Salah seorang murid syeikh, yang ingin menegur atas ketidak sopanannya itu, menempatkan sedikit makanan di hadapan si fakir itu. Menyadari bahwa dirinya dicela karena kurang beradab, si fakir itu lalu tidak mau makan selama limabelas hari sebagai hukuman dan pendisiplinan jiwanya, serta sebagai tanda tobat atas ketidak-sopanannya itu, padahal selama ini ia telah menderita kelaparan.”

Malik bin Dinar berkata, “Barangsiapa telah mengalahkan syahwat dunia, maka itulah tindakan yang dapat memisahkan setan dari lindungannya.”
Abu Ali ar-Rudzbary mengajarkan, “Jika seorang Sufi setelah lima hari tidak makan, mengatakan, ‘Aku lapar,’ maka kirimlah ia ke pasar agar mendapatkan pekerjaan.”

Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq menuturkan ucapan seorang syeikh, bahwa penghuni neraka telah dikalahkan oleh syahwatnya atas kewaspadaan mereka, hingga mereka tercela. Beliau juga berkata, “Seseorang bertanya kepada salah seorang syeikh, Apakah Anda tidak menginginkan sesuatu?’ Sang syeikh menjawab, ‘Aku menginginkannya, akan tetapi aku menahan diri’.”
Syeikh yang lain ditanya, “Adakah sesuatu yang tuan inginkan?” Jawabnya, ‘Aku menginginkan untuk tidak ingin lagi.”

Abu Nashr at-Tammar mengabarkan, “Pada suatu malam Bisyr datang kepadaku, dan aku berkata, ‘Segala puji bagi Allah yang telah membawamu ke sini, Sejumlah kapas dari Khurasan telah sampai kepada kami; budak wanita telah menenunnya, menjualnya dan membeli sedikit daging untuk kita. Engkau bisa berbuka puasa dengan kami.’ Ia menjawab, ‘Jika aku mesti makan dengan seseorang, aku akan memilih makan denganmu.’ Lalu ia menjelaskan, ‘Telah bertahun tahun aku ingin makan terung, tetapi aku belum ditakdirkan untuk memakannya.’ Lalu aku menjawabnya, ‘Ada terung yang halal dalam makanan ini.’ Ia menjawab, ‘Bahkan sampai bersih dari bijinya’.”

Saya mendengar Abu Ahmad ash Shagir berkata, “Abu Abdullah bin Khafif menyuruhku menyuguhinya sepuluh butir kismis untuk buka puasanya setiap malam. Suatu malam aku merasa kasihan kepadanya, dan kusuguhkan limabelas butir kismis. Ia memandangku dan bertanya, ‘Siapa yang menyuruhmu (memberi limabelas kismis?)’ Lalu dimakannya sepuluh butir dan membiarkan sisanya. ”

Abu Turab an-Nakhsyaby berkomentar, “Jiwaku tidak pernah cenderung kepada hawa nafsu kecuali sekali saja: Aku ingin sekali makan roti dan telur ketika aku sedang berada dalam perjalanan. Lalu aku pun memasuki sebuah kampung. Seseorang bangkit dan memegang tanganku sambil berkata, ‘Orang ini adalah salah seorang dari perampok itu!’ Lalu orang orang di situ memukuliku tujuhpuluh kali. Seorang laki laki di antara mereka mengenaliku dan menyela, ‘Ini adalah Abu Turab an Nakhsyaby!’ Mendengar itu, mereka cepat-cepat meminta maaf kepadaku, dan laki laki itu lalu membawaku ke rumahnya karena rasa hormat dan kasihan kepadaku, dan ia menjamu aku dengan roti dan telur. Maka aku berkata kepada diri sendiri, ‘Makanlah, setelah tujuhpuluh kali pukulan’!”

—(ooo)—

Sedih

Syeikh Abul Qasim al-Qusyairy

Allah swt. berfirman:
“Dan mereka akan mengatakan (ketika berada di surga), ‘Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan kesedihan dari kita’.” (Q.s. Fathir: 34).

Diriwayatkan darl Abu Sa’id al Khudry bahwa Rasulullah saw. bersabda:
“Tidak sesuatu pun keburukan menimpa seorang hamba yang beriman, apakah itu penderitaan, penyakit, kesedihan, atau rasa sakit yang merisaukannya, kecuali Allah swt. akan mengampuni dosa-dosanya.” (H.r. Ahmad, Bukhari Muslim).

Sedih (huzn) adalah keadaan yang menyelamatkan hati tersesat lembah kealpaan. Dan kesedihan adalah salah satu sifat para ahli penempuh jalan ruhani (suluk).

Syeikh Abu Ali ad Daqqaq r.a. berkata, “Orang yang dipenuhi kesedihan mampu menempuh jalan Allah dalam waktu satu bulan, sepanjang jarak yang tidak bisa ditempuh dalam waktu satu tahun oleh orang yang tidak memiliki kesedihan.”
Dalam hadis dikatakan, “Sesungguhnya Allah mencintai setiap hati yang sedih.”
Dalarn Kitab Taurat disebutkan, “Jika Allah mencintai seorang hamba, maka Dia akan menempatkan suatu penyedih dalam hatinya, dan jika Dia membenci seorang hamba, maka ditempatkan Nya sebuah seruling dalam hatinya.”

Dikatakan bahwa Rasulullah saw. selalu berada dalam keadaan sedih dan merenung sepanjang masa.
Bisyr bin Harits mengatakan, “Sedih adalah raja, Manakala dalam sebuah tempat, tidak akan sudi menerima orang lain tinggal bersamanya. ”
Dikatakan, “Jika tidak ada kesedihan dalam hati, maka ia akan menjadi rusak, sebagaimana sebuah rumah akan menjadi roboh manakala tidak ada orang yang tinggal di dalamnya.”
Abu Sa’id al Qurasyi berkomentar, “Air mata kesedihan membuat orang buta, tetapi air mata kerinduan meredupkan pandangan, namun tidak membutakannya.

Allah swt. berfirman, “Dan kedua matanya menjadi putih karena kesedihan dan ia adalah seorang yang menahan amarahnya (terhadap anak-anaknya)”. (Q.s Yusuf:84).
Ibnu Khafif menjelaskan, “Sedih adalah mencegah diri dari bangkit mencari kesenangan.”
Rabi’ah al Adawiyah mendengar seorang laki-Iaki meratap, “Aduhai, kesedihan!” Rabi’ah menyela, “Katakanlah, kesedihan kita!” Jika engkau benar benar bersedih, niscaya engkau tidak akan bisa bernafas.”
Sufyan bin ‘Uyainah mengatakan, “Apabila ada seorang tertimpa kesedihan dan menangis di kalangan suatu kaum, maka Allah swt. akan mengasihani mereka semua karena air matanya.”

Dawud ath-Tha’y ketika tertimpa kesedihan, dan di malam hari ia akan berdoa, “Ilahi, kerinduanku terhadap Mu membuat diriku gelisah dan menghalangi antaraku dengan tidurku.” Dan Allah pun menjawab, “Bagaimana mungkin bagi seorang yang penderitaannya diperbarui setiap saat, akan mencari penghiburan dari kesedihan?”
Dikatakan, “Sedih menahan orang dari makan, sedangkan takut, menahannya dari dosa.”
Salah seorang Sufi ditanya, “Dengan apa kesedihan manusia dinilai?” Ia Menjawab, “Dengan banyaknya ratapan.”

As Sary as-Saqathy berkata, “Aku ingin sendainya kesedihan seluruh manusia di Muka bumi ini ditimpakan kepadaku.” Banyak orang telah berbicara tentang kesedihan, dan mereka semua mengatakan bahwa hanya kesedihan yang diilhami oleh kepedulian akhiratlah yang patut dipuji, sedang kesedihan karena dunia ini patut dicela. Tetapi Abu Utsman al-Hiry menjelaskan, “Kesedihan dalam semua seginya adalah suatu keutamaan dan peningkatan bagi seorang beriman, selama kesedihan itu bukan karena dosa. Sekalipun kesedihan itu tidak menghasilkan satu derajat khusus, ia akan membawakan pengampunan.”

Seorang syeikh tertentu, apabila murid-muridnya akan pergi melakukan perjalanan, ia akan berpesan, “Jika engkau melihat seorang yang sedang bersedih, sampaikanlah salamku kepadanya!”.
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata, “Salah seorang Sufi bertanya kepada matahari selagi terbenam, Apakah hari ini engkau telah menyinari seorang yang tertimpa kesedihan’?”
Orang tidak pernah melihat Hasan al-Bashry tanpa mengira bahwa ia baru saja mengalami bencana.
Ketika Fudhail bin ‘Iyadh meninggal dunia, Waki’ mengatakan, “Hari ini kesedihan telah lenyap dari muka bumi.”

Salah seorang dari kaum Muslimin generasi salaf berkata, “Sebagian besar dari apa yang ditemukan oleh seorang beriman dalam catatan amal perbuatan baiknya adalah penderitaan dan kesedihan.”
Fudhail bin ‘Iyadh berkomentar, “Kaum salaf mengatakan, ‘Setiap sesuatu ada zakatnya, dan zakat hati adalah kesedihan yang panjang’.”
Ketika Abu Utsman al-Hiry ditanya tentang kesedihan, ia menjawab, “Orang yang sedih adalah yang tidak punya waktu untuk menyibukkan diri dengan pertanyaan tentang kesedihan. Maka berjuanglah untuk mencari kesedihan, lalu bertanyalah.”

—(ooo)—

DIAM

Syeikh Abul Qasim Al-Qusyairy

Diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw. bersabda:
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah ia tidak mengganggu tetangganya. Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah menghormati tamunya. Dan barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah berkata baik atau diam.” (H.r Bukhari Musliln dan Abu Dawud).

Dari Abu Umamah, bahwasanya ‘Uqbah bin Amir bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah keselamatan itu?”
Beliau menjawab, “Jagalah lidahmu, berpuaslah dengan rumahmu, dan menangislah untuk dosa dosamu. ” (H.r. Tirmidzi).
Syeikh ad-Daqqaq berkata, “Diam mencerminkan rasa aman dan merupakan aturan yang mesti dilaksanakan; penyesalan akan mengikutinya apabila orang terpaksa mencegahnya. Seharusnya dalam diam, mempertimbangkan di dalamnya hukum syara’, perintah-perintah dan larangan larangan harus dipatuhi di dalam sikap diam. Diam pada waktu yang tepat adalah termasuk sifat para tokoh. Begitupun bicara pada tempatnya merupakan karakter yang mulia.”
Selanjutnya Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan, “Barangsiapa menahan diri untuk mengucapkan kebenaran adalah setan yang bisu.”
Diam adalah salah satu sikap yang layak dalam menghadiri majelis Sufi, karena Allah swt. berfirman, “Dan apabila dibacakan Al Quran, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.” (Q.s. AI Nraf. 204). Dan Allah swt. menjelaskan pertemuan jin dengan Rasul saw. Firman Nya, “… maka tatkala mereka menghadiri pembacaan(nya) lalu mereka berkata, ‘Diamlah kamu (untuk mendengarkannya)’.” (Q.s. Al Ahqaf 29).
Allah swt. berfirman, “… dan merendahlah semua suara kepada Tuhan yang Maha Pemurah, maka kamu tidak mendengar kecuali bisikan saja.” (Q.s. Thaaha: 108).
Betapa besar perbedaan antara seorang hamba yang diam, menjaga dirinya dari kebohongan dan fitnah, dengan hamba yang diam karena takut kepada raja yang menakutkan. Mengenai makna pernyataan ini, dibacakan baris-baris syair berikut ini:

Aku merenung, apa yang akan kukatakan saat kita berpisah,
Dan terus menerus kusempurnakan ucapan hiba,
Tiba tiba kulupakan ketika kita berjumpa,
Dan, kalau toh aku bicara, kuucapkan kata kata hampa.
Para Sufi juga mendendangkan nada-nada ini:
Betapa banyak kata-kata yang ingin kucurahkan padamu,
Hingga ketika kesempatan bertemu denganmu,
Segalanya jadi kelu.

Juga baris berikut ini:
Kulihat bicara menghiasi oranq muda,
Sedang diam adalah paling baik bagi yang tenang.
Karenanya, betapa banyak huruf yang membawa maut,
Dan betapa banyak pembicara yang berangan
Seandainya ia bisa diam.

Ada dua jenis diam: Diam lahir dan diam batin. Hati orang yang tawakal adalah diam pada ketentuan rezeki yang diberikan. Sedang orang ‘arif, hatinya diam untuk berhadapan dengan ketentuan melalui sifat keselarasan. Yang pertama adalah dengan senantiasa memperbagus perbuatannya secara kokoh, dan yang kedua, adalah merasa puas terhadap semua yang ditetapkan oleh Nya.

Alasan untuk diam boleh jadi merupakan ketakjuban yang disebabkan oleh pemahaman secara mendadak, lantaran apabila masalah tertentu tiba-tiba tampak jelas, maka kata-kata menjadi bisu dan tidak ada kefasihan maupun ucapan. Dalam situasi seperti ini, kesaksian terhapuskan dan tidak dijumpai baik pengetahuan maupun penginderaan. Allah swt. berfirman:
“(Ingatlah), hari di waktu Allah mengumpulkan para Rasul lalu Allah bertanya (kepada mereka), Apa jawaban kaummu terhadap (seruan)mu? ‘Para Rasul menjawab, “Tidak ada pengetahuan kami (tentang itu). “‘ (Q.s. Al Maidah: 109).

Prioritas dalam mujahadah adalah diam, sebab mereka mengetahui bahaya yang terkandung dalam kata-kata. Mereka juga menyadari bahaya nafsu berbicara, memamerkan sifat-sifat mengundang pujian manusia dan ambisi untuk meraih popularitas di kalangan sejawatnya karena keindahan tutur katanya. Mereka menyadari bahwa ini semua termasuk dalam kelemahan-kelemahan manusia. Ini merupakan gambaran orang yang terlibat dalam olah ruhani. Diam sebagai salah satu prinsip bagi aturan tahapan dan penyempurnaan akhlak.

Ketika Dawud ath-Tha’y berkeinginan tetap tinggal di rumah, ia memutuskan untuk menghadiri majelis Abu Hanifah, sebab ia adalah salah seorang muridnya. la duduk bersama ulama yang lain, dan tidak memberikan komentar berkenaan dengan masalah-masalah yang didiskusikan. Ketika jiwanya menjadi kuat dengan diam dan praktik diam yang dilakukan selama setahun, ia lalu tinggal di rumah dan memutuskan ber’uzlah.

Bisyr ibnul Harits mengajarkan, “Apabila berbicara menyenangkan Anda, diamlah. Apabila diam menyenangkan Anda, berbicaralah.”
Sahl bin Abdullah menegaskan, “Diam seorang hamba tidak akan sempurna, kecuali sesudah ia memaksakan diam atas dirinya.”
Abu Bakr al-Farisy mengatakan, “Apabila tanah kelahiran seorang hamba bukanlah diam, maka hamba tersebut akan berbicara berlebihan, meskipun tidak mempergunakan lidahnya. Diam tidak terbatas pada lidah, tetapi meliputi hati dan semua anggota badan.”
Salah seorang Sufi berkata, “Orang yang tidak menggunakan diam ketika berbicara, adalah tolol.”
Mumsyad ad-Dinawary berkata, “Orang-orang bijak mewarisi kebijaksanaan dengan diam dan kontemplasi.”

Kekita Abu Bakr al-Farisy ditanya tentang diam sirri, dijawabnya, “Diam sirri adalah menjauhkan diri dari kepedihan terhadap masa lampau dan masa depan.” Dikatakannya pula, “Apabila seorang hamba berbicara hanya mengenai sesuatu yang menyangkut kepentingannya, dan keharusan keharusan bicaranya, maka ia termasuk diam.”
Mu’adz bin Jabal r.a. berkata, “Kurangilah berbicara berlebihan dengan sesama manusia dan perbanyaklah berbicara dengan Tuhanmu, mudah-mudahan hatimu akan (dapat) melihat Nya.”
Dzun Nuun al-Mishry ditanya, “Di antara manusia, siapakah pelindung terbaik bagi hatinya?” Dijawab Dzun Nuun, “Yaitu orang yang paling mampu menguasai lidahnya. ”
Ibnu Mas’ud berkata, “Tidak ada sesuatu pun yang patut diikat berlama lama lebih dari lidah.”
Ali bin Bukkar mencatat, “Allah menjadikan dua pintu bagi segala sesuatu, tetapi Dia menjadikan empat pintu bagi lidah, yaitu dua bibir dan dua baris gigi.”

Konon Abu Bakr ash Shiddiq r.a. biasa mengulum sebutir batu selama beberapa tahun dengan tujuan agar lebih sedikit berbicara.
Abu Hamzah al-Baghdady adalah seorang pembicara ulung. Pada suatu ketika sebuah suara menyeru kepadanya, “Engkau berbicara, dan bicaramu sangat bagus. Sekarang tinggallah bagimu untuk berdiarn, sehingga engkau menjadi bagus!” Akhirnya ia tidak pernah lagi berbicara sampal wafat menjemputnya.

Manakala asy-Syibly sedang duduk di tengah lingkaran murid-muridnya dan mereka tidak mengajukan pertanyaan, maka ia bermaksud akan mengatakan, “Dan jatuhlah perkataan (azab) atas mereka disebabkan kezaliman mereka, maka mereka tidak dapat berkata (apa apa).” (Q.s. An Naml: 85). Terkadang seseorang yang terbiasa berbicara menjadi diam, karena ada kaum Sufi yang lebih layak dari dirinya untuk berbicara.
Ibnus Sammak menuturkan, bahwa Syah al-Kirmany dan Yahya bin Mu’adz berteman, dan mereka tinggal di kota yang sama, tetap Syah tidak menghadiri majelisnya. Ketika ditanya alasannya, menjawab, “Sudah sepatutnya begini.” Orang orang pun lantas mendesaknya terus hingga suatu hari al-Kirmany datang ke majells Yahya dan duduk di pojok di manaYahya tidak akan dapat melihatnya. Yahya pun mulai berbicara, namun secara tiba-tiba ia diam. Kemudian Yahya mengumumkan, ‘Ada seseorang yang dapat berbicara lebih baik dariku,” dan ia tidak mampu melanjutkan perkataannya itu. Maka al-Kirmany berkata, “Sudah kukatakan kepada Anda semua bahwa, adalah lebih baik jika aku tidak datang ke majelis ini.”

Terkadang seorang pembicara memaksakan diri untuk diam karena keadaan tertentu yang ada pada salah seorang yang hadir. Barangkali seseorang yang hadir tidak layak mendengar pembicaraan terkait, hingga Allah swt. mencegah lidah si pembicara demi ketentraman dan perlindungan dari mendengar pembicaraan itu. Sehingga Allah swt. menjaganya terhadap pendengar yang bukan kompetennya.

Para syeikh yang ahli mengenal tharikat ini telah menjelaskan, “Terkadang alasan diamnya seseorang adalah karena ada jin yang hadir, yang bukan kompetennya. Karena majelis Para Sufi tidak pernah sepi dari kehadiran sekelompok jin.”

Syeikh Abu Ali ad Daqqaq menuturkan, “Suatu ketika aku jatuh sakit di Marw, dan ingin kembali ke Naisabur. Aku bermimpi bahwa sebuah suara menyeru kepadaku, ‘Engkau tidak dapat meninggalkan kota ini. Ada sekelompok jin yang menghadiri majelis majelismu dan mereka memperoleh manfaat dari ceramah ceramah yang engkau berikan. Demi mereka, tinggallah di tempatmu’!”
Salah seorang ahli hikmah berkata, “Manusia diciptakan hanya dengan satu lidah, namun dianugerahi dua mata dan dua telinga, agar ia mendengar dan mau melihat lebih banyak dari berbicara.”

Ibrahim bin Adham diundang ke sebuah pesta. Ketika ia duduk, orang-orang mulai bergunjing dan memfitnah satu sama lain. Ia lalu berkata, “Kebiasaan kami adalah makan daging sesudah makan roti. Anda ini malah makan daging lebih dahulu. ” Ucapannya ini merujuk kepada firman Allah swt.:
“Maukah salah seorang di antaramu memakan daging saudaranya yang mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepada perbuatan itu.” (Q.s. Al Hujurat: 12).

Salah scorang Sufi berkata, “Diam adalah bahasa ketabahan.”
Sebagian mereka mengatakan, “Belajarlah diam sebagaimana kamu belajar berbicara. Jika bicara menjadi pembimbingmu, maka diam rnenguatkanmu.”
Dikatakan, “Menjaga lisan adalah lewat diamnya.” Ada yang mengatakan, “Lisan ibarat binatang buas, jika tidak kamu ikat akan menyerangmu.”

Abu Hafs ditanya, “Keadaan manakah yang lebih baik bagi seorang wali, diam atau berbicara?” Ia menjawab, “Jika si pembicara mengetahui ada efek negatif dari pembicaraannya, hendaklah ia tinggal diam, bila mungkin selama usia Nabi Nuh as. Tetapi jika orang yang diam mengetahui efek negatif dari diamnya, hendaklah berdoa kepada Allah swt. agar diberi waktu dua kali usia Nabi Nuh as. agar dapat berbicara (agar bisa menunjukan kebaikan).”

Dikatakan, “Diam bagi kaum awam dengan lidahnya, diam bagi kaum yang ma’rifat kepada Allah swt. dengan hatinya, dan diam bagi para pecinta (muhibbin) adalah menahan pikiran menyimpang yang menyelusup pada hati sanubari mereka.”

Sebagian sufi mengisahkan, ‘Aku mengekang lidahku selama tigapuluh tahun, sehingga aku tidak mendengar ucapanku kecuali dari kalbuku. Kemudian aku mengekang kalbuku tigapuluh tahun, sehingga tidak mendengar kalbuku kecuali dari ucapanku.”
Salah seorang Sufi mengatakan, “jika lidah Anda didiamkan, maka belum tentu Anda telah diselamatkan dari kata kata hati Anda. Jika Anda telah menjadi batang tubuh yang kering kerontang, Anda masih belum terbebas dari kata kata hawa nafsu Anda. Dan bahkan Jika Anda berjuang dengan susah payah, jiwa Anda masih belum akan berbicara dengan Anda sebab ia adalah tempat tersimpannya batin.”

Dikatakan, “Lidah seorang tolol adalah kunci menuju kematiannya.” Dikatakan juga, “jika seorang pecinta berdiam diri, maka ia akan binasa, dan jika seorang ‘arif berdiam diri, ia akan berkuasa.”

Al-Fudhail bin ‘Iyadh berkata, “Barangsiapa memperhitungkan kata-katanya dibanding amalnya, maka kata-katanya akan menjadi sedikit, kecuali apa yang berarti (menurut kebutuhannya).”

—(ooo)—

Zuhud

Syeikh Abul Qosim Al Qusyairy

Nabi saw. bersabda:
“Apabila kamu sekalian melihat seseorang yang telah dianugerahi zuhud berkenaan dengan dunia dan ucapan, maka dekatilah ia, karena ia dibimbing oleh hikmah.” (H.r. Abu Khallad dan di-takhrij oleh Abu Nu’aim dan Baihaqi).

Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan, “Pada umumnya banyak orang berbeda pendapat berkenaan dengan zuhud. Sementara orang ada yang mengatakan, ‘Zuhud bersangkutan dengan perkara yang haram saja, sebab perkara yang halal diterima Allah swt. Apabila Allah swt. memberikan berkat kepada hamba Nya berupa harta yang halal dan hamba itu bersyukur kepada Nya atas berkat itu, maka ia meninggalkan menurut upayanya, tanpa harus mengajukan hak izin untuk mengekangnya.’
Sebagian yang lain mengatakan, ‘Zuhud terhadap perkara yang haram adalah suatu kewajiban, sementara zuhud terhadap perkara yang halal adalah suatu keutamaan. Apabila hamba Yang berzuhud miskin, tetapi sabar terhadap keadaannya, bersyukur serta merasa puas atas segala sesuatu yang telah dianugerahkan Allah swt. kepadanya, maka hal itu lebih baik ketimbang berusaha menimbun kekayaan berlimpah di dunia’.”
Allah swt. telah menghimbau ummat manusia untuk bersikap zuhud berkenaan dengan perolehan kekayaan, melalui firmanNya:
“Katakanlah, ‘Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang orang yang bertaqwa’.” (Q.s. An Nisa’: 77).

Banyak ayat lainnya yang dapat dijumpai berkenaan dengan tidak berharganya dunia dan seruan untuk bersikap zuhud terhadapnya.
Sebagian orang yang mengatakan, “Apabila seorang hamba membelanjakan harta dalam ketaatan kepada Allah swt, bersabar, dan tidak mengajukan keberatan terhadap larangan-larangan syariat untuk dilakukannya dalam menghadapi kesulitan hidup, maka adalah lebih baik baginya bersikap zuhud terhadap harta yang dihalalkan.”
Sebagian yang lain berkomentar, “Seyogyanya bagi seorang hamba memutuskan untuk tidak memilih meninggalkan yang halal dengan bebannya, dan tidak pula berusaha memenuhi keperluan-keperluannya secara berlebihan, karena menyadari atas rezeki yang diberikan oleh Allah swt. Apabila Allah swt. menganugerahkan kepadanya harta yang halal, ia harus bersyukur kepada Nya. Apabila Allah swt. menentukan dirinya berada pada batas kecukupan hidup, maka hendaknya tidak memaksakan diri mencari kemewahan, karena kesabaran merupakan sesuatu yang paling utama bagi pemilik harta yang halal.”

Sufyan ats-Tsaury berkata, “Zuhud terhadap dunia adalah membatasi keinginan untuk memperoleh dunia, bukannya memakan makanan kasar atau mengenakan jubah dari kain kasar.”
Sary as-Saqathy menegaskan, “Allah swt. menjauhkan dunia dari para auliya’ Nya, menjauhkannya dari makhluk makhluk Nya yang berhati suci, dan menjauhkannya dari hati mereka yang dicintai Nya lantaran Dia tidak memperuntukkannya bagi mereka.”

Zuhud disinggung secara tidak langsung di dalam firman Nya, “(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang 1uput dari kamu, dan supaya kamu jangan terIalu gembira terhadap apa yang diberikan Nya kepadamu.” (Q.s. Al-Hadid: 23), sebab sang hamba tidaklah gembira atas apa yang dimilikinya di dunia, dan tidak pula bersedih atas apa yang tiada dimilikinya.

Abu Utsman berkata, “Zuhud adalah hendaknya Anda meninggalkan dunia dan kemudian tidak peduli dengan mereka yang mengambilnya.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan, “Zuhud adalah hendaknya Anda meninggalkan dunia sebagaimana adanya ia, bukan berkata, Aku akan membangun pondok Sufi (ribath) atau mendirikan masjid.”
Yahya bin Mu’adz mengatakan, “Zuhud menyebabkan kedermawanan berkenaan dengan hak milik, dan cinta yang mengantarkan, pada semangat kedermawanan.”
Ibnul jalla’ berkomentar, “Zuhud adalah sikap Anda memandang dunia ini hina di mata Anda, maka berpaling darinya akan menjadi mudah bagi diri Anda.”

Ibnu Khafif berkata, “Pertanda zuhud adalah adanya sikap tenang ketika berpisah dari harta milik.” Dikatakannya pula, “Zuhud adalah ketidak-senangan jiwa pada dunia, dan melepaskan urusan hak milik itu.”
An-Nashr Abadzy berkata, “Orang zuhud selalu asing di dunia, dan seorang ahli ma’rifat (‘arif) adalah orang asing di akhirat.”

Dikatakan, “Bagi orang yang benar benar bersikap zuhud, dunia akan menyerahkan diri kepadanya dengan penuh kerendahan dan kehinaan.” Oleh sebab itu, dikatakan, “Apabila sebuah topi jatuh dari langit, ia akan jatuh di atas kepala seseorang yang tidak menghendakinya.”
Al-Junayd mengajarkan, “Zuhud adalah kekosongan hati dari sesuatu yang tangan tidak memilikinya.”

Ulama salaf berbeda pandangan soal zuhud. Sufyan ats-Tsaury, Ahmad bin Hanbal, Isa bin Yunus dan lain-lainnya menegaskan, bahwa zuhud di dunia berarti membatasi angan-angan dan keinginan. Ungkapan ini sebagaimana mereka tegaskan, cenderung dipahami sebagai faktor-faktor sebab zuhud, sekaligus sebagai faktor pembangkit zuhud dan makna esensial yang mencakup disiplin zuhud itu sendiri.

Abdullah ibnul Mubarak berkomentar, “Zuhud adalah tawakkal kepada Allah swt. dipadu dengan kecintaan kepada kefakiran.”
Syaqiq al-Balkhy dan Yusuf bin Asbati juga mengatakan demikian. Jadi, ini juga merupakan satu dari tanda tanda zuhud, lantaran si hamba tidak mampu merelakan dunia kecuali dengan tawakal kepada Allah swt.
Abdul Wahid bin Zaid memberikan penjelasan, “Zuhud adalah menjauhkan diri dari dinar dan dirham.”

Abu Sulaiman ad-Darany mengatakan, “Zuhud adalah menjauhkan diri dari apa pun yang memalingkan Anda dari Allah swt.
Ketika al-Junayd bertanya tentang zuhud, Ruwaym menjawab, ‘Zuhud adalah meremehkan dunia dan menghapus bekas bekasnya dari hati.”
As-Sary berkata, “Kehidupan seorang zahid tidak akan baik apabila dirinya terpalingkan dari kepedulian terhadap jiwanya, dan kehidupan seorang ‘arif tidak akan baik apabila terlalu mementingkan jiwanya.”
Al-Junayd berkata, “Zuhud adalah mengosongkan tangan dari harta dan mengosongkan hati dari kelatahan.”

Ditanya tentang zuhud, asy-Syibly menjawab, “Zuhud adalah hendaknya Anda menjauhkan diri dari segala sesuatu selain Allah swt.”
Yahya bin Mu’adz berkata, “Tidak akan sempurna zuhud seseorang, kecuali memiliki tiga karakter ini: Berbuat tanpa disertai keterikatan, berbicara tanpa disertai ambisi, dan kemuliaan tanpa adanya kekuasaan atas orang lain.”

Abu Hafs mengatakan, “Tidak ada zuhud kecuali dalam perkara yang halal, dan di dunia ini tiada yang halal, karenanya tiada pula zuhud.”
Abu Utsman berkata, “Allah swt. memberi seorang zahid sesuatu lebih daripada sekadar yang diinginkannya, dan Dia memberikan sesuatu kepada hamba yang dicintai Nya kurang dari yang ia inginkan. Dia memberi hamba yang mustaqim sesuai yang diinginkannya.”
Yahya bin Mu’adz berkata, “Orang zuhud adalah yang mengusik hidung Anda dengan bau cuka, tetapi kaum ‘arif menyebarkan keharuman minyak kasturi.”
Hasan al-Bashry berkata, “Zuhud di dunia, hendaknya Anda membenci muatan dan pendukungnya.”
Seseorang bertanya kepada Dzun Nuun al-Mishry, “Kapan saya dapat menjauhkan diri dari dunia?” Dzun Nuun menjawab, “Ketika Anda menjauhkan diri dari nafsu.”
Muhammad ibnul Fadhl mengatakan, “Sikap memprioritaskan orang lain bagi kaum zuhud adalah pada waktu mereka berkecukupan, sedangkan kaum ksatria adalah pada waktu sangat membutuhkan.”
Allah swt. berfirman:
“Dan mereka mengutamakan (orang orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan.” (Q.s. AI Hasyr: 9).

Al-Kattany mengatakan, “Sesuatu yang tidak ditentang oleh orang Kufah, tidak oleh orang Madinah, orang Irak, juga tidak oleh orang Syria, adalah zuhud terhadap dunia, kedermawanan dan berdoa supaya ummat manusia mendapatkan kebaikan.” Artinya, tidak seorang pun yang mengatakan bahwa hal hal ini tidak terpuji.

Seseorang bertanya kepada Yahya bin Mu’adz, “Bilakah saya akan memasuki kedai tawakal, mengenakan jubah zuhud dan duduk dalam majelis bersama kaum zuhud?” Yahya menjawab, “Ketika Anda tiba pada suatu keadaan dalam olah ruhani (riyadhah) dalam diri Anda secara rahasia, sehingga sampai pada batas ketika Allah memutuskan rezeki kepada Anda selama tiga hari tidak merasakan lemah. Tetapi, apabila tujuan ini tidak tercapai, maka duduk di atas karpet kaum zuhud hanyalah kebodohan, dan saya tidak dapat menjamin bahwa diri Anda tidak akan terhinakan di tengah tengah mereka.”

Bisyr al-Hafi menegaskan, “Zuhud adalah seorang raja yang tidak menempati suatu tempat selain hati yang kosong.”
Muhammad ibnul Asy’ats al-Bikandy berkata, “Barangsiapa berbicara tentang zuhud dan menyeru manusia kepada zuhud disamping juga menginginkan sesuatu yang mereka miliki, maka Allah swt. akan melepaskan kecintaan pada akhirat dari hatinya.”
Dikatakan, “Manakala seorang hamba menjauhkan diri dari dunia, maka Allah swt. mempercayakan dirinya kepada malaikat yang menanamkan kebijaksanaan didalam hatinya.”
Seorang Sufi ditanya, “Mengapa Anda menolak dunia?” la menjawab, “Karena ia telah menolakku.”

Ahmad bin Hanbal memberikan penjelasan, “Ada tiga macam zuhud: Bersumpah menjauhi perkara yang haram adalah zuhud kaum awam, bersumpah menjauhi sikap berlebih lebihan dalam perkara yang halal adalah zuhud kaum terpilih (khawash), dan bersumpah menjauhi apa pun yang, memalingkan sang hamba dari Allah swt. adalah zuhud kaum’arifin.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq menuturkan, “Salah seorang Sufi ditanya, ‘Mengapa Anda menolak dunia?’ Dijawab sang Sufi, ‘Karena aku menarik diri dari kemewahan dan menolak menginginkannya barang sedikit pun’.”

Yahya bin Mu’adz berkata, “Dunia ini bagaikan pengantin wanita. Orang yang mencarinya akan membelai rambutnya penuh kelembutan. Sedang bagi si zahid, di dalamnya akan tampak kusam, mengacak acak rambutnya, dan membakar gaunnya. Kaum ‘arlfin, senantiasa sibuk dengan Allah swt, tidak sedikit pun menoleh pada dunia.”
As-Sary berkata, ‘Aku melaksanakan seluruh aturan zuhud dan dianugerahi segala sesuatu yang kuminta dalam doa, kecuali zuhud terhadap masyarakat. Aku belum mencapai ini, dan aku pun belum sanggup menanggungnya.”

Dikatakan, “Kaum zuhud telah mengucilkan diri dan berkumpul hanya dengan sesama mereka saja, sebab mereka menjauhi nikmat nikmat sementara, demi nikmat nikmat yang abadi.”
An-Nashr Abadzy berkomentar, “Zuhud adalah memelihara darah kaum Zahidin dan menumpahkan darah kaum Arifin.”
Hatim al-Asham mengatakan, “Kaum zuhud menghabiskan isi dompetnya sebelum dirinya, dan orang yang berperilaku zuhud menghabiskan dirinya sebelum dompetnya.”

AI-Fudhail bin ‘Iyad berkata, ‘Allah swt. menempatkan seluruh kejahatan dalam satu rumah dan menjadikan kecintaan kepada dunia sebagai kuncinya. Dia menempatkan seluruh kebaikan di rumah yang lain dan dan menjadikan zuhud sebagai kuncinya.”

—(ooo)—

Tingkatan-tingkatan Spiritual Hati (Bag 1)

Hati terdin atas tujuh tingkatan spiritual, yaitu: dada atau sanubari (shadr); hati (qalb); tempat kasih sayang makhluk, tempat pandangan, tempat kasih sayang Allah; pusat hati (suwaida); dan pusat hati yang dalam (mahjat al qalb).

1. Dada (Sanubari)
Tingkatan spiritual hati yang pertama disebut dengan dada atau sanubari (shadr), yang membentuk garis pembatas antara nafs dan hati. Beberapa orang menganggap sanubari berhubungan dengan nafs, yang menyebutnya juga dengan pemahaman (ra’y). Inilah pandangan yang diambil oleh Baba Rukha Syirazi, ketika dia mengatakan, “Istilah, pemahaman, pada umumnya menunjuk kepada nafs.” Dalam terminologi Sufi ini adalah aspek nafs yang paling dekat dengan hati, yang salah satu aliran Sufi menyebutnya sanubari.

Satu aliran Sufi menganggap dada atau sanubari merupakan tingkatan spiritual hati, sebagaimana. dimaksud oleh Najmud Din Razi, yang menulis:
Tingkat spiritual hati yang Pertama disebut dada atau sanubari, yang berada dalam permata Islam (jalan keselamatan), sebagaimana yang ditunjukkan dalam ayat Al Qur’an:
“Apakah orang-orang yang dibukakan dadanya oleh Allah untuk menerima agama Islam lalu ia mendapatkan cahaya dari Tuhannya …. ?” (XXXIX: 22).
Apabila seseorang menemukan dirinya terhalang dari cahaya Islam, maka kegelapan dan kekafiranlah yang didapatkan, sebagaimana dalam ayat: “Akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran…” (XVI: 106).

Inilah tempat godaan setan dan hasutan nafs, “yang menggoda membisikkan kejahatan ke dalam dada manusia.” (CXIV: 5). Hanya pada bagian luar hati, tabir melapisi bagian hati itu, yang tidak lebih dari tempat tipu daya setan dan hasutan nafs, yang tidak dapat menembus ke dalam hati sebelah dalam, karena bagian itu adalah tempat bersemayam Allah dan merupakan pintu bagi Sifat-Sifat Allah.
Godaan tidak memiliki akses ke dalanmnya, karena “Kami menjaganya dari tiap-tiap setan yang terkutuk.” (XV: 17)

Telah dikatakan bahwa dada atau sanubari adalah tingkatan hati, sebagaimana bagian mata yang berwarna putih untuk pupil. Inilah tempat masuk godaan, gangguan, hasrat, keinginan dan ketergantungan, yang merupakan wilayah di bawah pengaruh nafs yang memerintah (nafs ammarah), juga sebagai tempat pengetahuan dan komunikasi dari Allah dapat terdengar. Ini disebut dada, shadr (bagian depan), karena dia menyelubungi hati, yang menjadi bagian pertarna yang akan berhadapan dengan lingkungan di luar hati.

Ketika Ibn ‘Ata’ ditanya tentang bagaimana kebersihan hati dapat diperoleh, dia menjawab, “Pertama kali dengan menyadarinya melalui kebenaran keyakinan (haqq al yaqin), yaitu Al-Qur’an. Karenanya seseorang akan dianugerahkan pengetahuan keyakinan (‘ilm al yaqin), yang setelah itu akan diperlihatkan pandangan keyakinan (ain al yaqin) dan kebersihan hati akan datang. Indikasi dari hal ini adalah orang menjadi ridha dengan takdir Allah, apakah Allah memberikan kekhawatiran atau kasih sayang, dia akan melihat Allah sebagai Yang Maha Melindungi dan Yang Maha Menjaga, dan tidak menyalahkan Dia ataupun memprotesnya.

Pernah ada kesabaran dalam ketertutupan hatiku,
sekarang semua itu telah pergi,
Cinta telah membakar tempat itu
dan kesabaran tinggal di dalamnya.

2. Hati itu sendiri
Hati itu sendiri, sebagai tingkatan spiritual hati yang kedua, adalah sumber segala keyakinan, sebagaimana diperlihatkan dalam Al-Qur’an: “Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka.” (LVIII: 22).
Hati ini juga merupakan tempat cahaya akal: “Dan apakah mereka tidak mempunyai hati yang dengannya mereka dapat memahami…” (XXII: 46), dan pusat perenungan: “Karena sesungguhnya bukanlah mata itu buta, tetapi yang buta adalah hati yang di dalam dada.” (XXII: 46).

Telah dikatakan bahwa hati di dalam dada (sanubari) adalah seperti bagian berwarna gelap pada pupil mata di tengah-tengah bagian yang berwarna putih. Ini adalah tempat cahaya kekhidmatan (khusyu’), kesucian, kasih sayang, keridhaan, keyakinan, rasa takut kepada Allah, harapan, kesabaran dan kebahagiaan, dan juga merupakan sumber dasar-dasar pengetahuan. Hati untuk sanubari adalah sebagaimana air untuk sebuah kolam. Hati adalah akar, atau prinsip dasar, dan sanubari adalah cabang, atau akibat.
Dalam Al-Qur’an ketika Musa berkata, “Tuhanku lapangkanlah untukku dadaku.” (XX 25), Musa ingin dinding yang menutup dadanya dibukakan karena perasaan sesak yang dirasakan mengganggu dadanya, bukan hatinya. Dada adalah satu hal, dan hati adalah hal yang lain. Dada menerima informasi, sedangkan hati melihat informasi. Dada terpesona; tetapi bagaimana mungkin hati dapat mengerut, apabila ia dibuat bahagia dengan penyaksian (musyahadah) dalam kedekatan yang konstan (dengan Allah) dan dengan kebahagiaan pandangan serta buah buah penyaksian?

3. Tempat cinta untuk makhIuk
Tempat cinta bagi makhluk (syaghaf) merupakan sumber kebajikan yang penuh kasih sayang, cinta dan kasih sayang bagi wujud makhluk, sebagaimana ditunjukkan dalam ayat Al-Qur’an, “Sesungguhnya dia (Yusuf) telah menundukkan hatinya dengan cinta yang sangat mendalam” (XII: 30), cinta pada makhIuk adalah bagian utama dari kasih sayang bagi makhluk ciptaan (syaghaf).
Isma’il Haqqi Brusawi, seorang ahli tafsir Al-Qur’an, Ruh al-Bayan, telah mengubah urutan konvensional berkenaan dengan cinta bagi makhluk dan pandangan, menganggapnya sebagai tingkatan spiritual hati yang keempat dan ketiga.

Tingkatan ketiga adalah pandangan yang merupakan tempat penyaksian (musyahadah) kepada Allah, sebagaimana diperlihatkan dalam ayat Al-Qur’an: “Hati tidak mendustakan apa yang dilihatnya.” (LIII: 11). Tingkatan keempat adalah cinta bagi makhluk, yang menyelubungi perhentian jiwa kasih sayang (‘isyaq), sebagaimana diperlihatkan dalam ayat: “Sesungguhnya dia (Yusuf) telah menundukkan hatinya (Zulaikha) dengan cinta, yang sangat mendalam.” (XII: 30).

Apabila Tuhan Sang Penguasa Dunia ingin menarik binatang buruan yang terikat pada tali jerat keagungan ke dalam jalan agama, Dia pertama kali akan memberikan pemahaman penglihatan ke dalam dada binatang buruan itu untuk membersihkannya dari hasrat dan alat (bid’ah) dan menyusun langkah-langkahnya menuju ke jalan kebiasaan (sunnah). Kemudian Dia memberikan pernahaman penglihatan ke dalam hati binatang buruan itu untuk membersihkannya dari keduniaan dan dari karakter-karakter tercela, seperti sombong, iri hati, angkuh, munafik, tamak, dendam dan kesembronoan, yang kemudian mengarahkannya kepada jalan kebenaran. Kemudian Dia memberikan pemahaman penglihatan ke dalam pandangan binatang buruan itu, yang memutuskan hubungannya dari makhluk dan semua yang berasal darinya, membuka pandangan pengetahuan dan hikmah dalam hati, dan menjadikan cahaya petunjuk dari Tuhan sebagai anugerah istimewa. Al-Qur’an menyatakan bahwa “dia mendapatkan cahaya dari Tuhannya.” (XXXIX: 22). Kemudian Allah memberikan pemahaman penglihatan cinta terhadap makhluk kepada binatang-binatang buruan itu, yang memutuskannya dari sifat kebendaan dan menyusun langkahnya pada jalan kefanaan diri.

4. Tempat pandangan
Tingkatan spiritual hati yang keempat disebut tempat pandangan yang merupakan sumber penyaksian (musyahadah) dan tempat penglihatan (ru’yat), sebagaimana diperlihatkan dalam Al-Qur’an: “Hati tidak mendustakan apa yang dilihatnya.” (LIII: 11).
Telah dikatakan bahwa tempat pandangan adalah seperti bintik gelap pada pupil mata, yang merupakan tempat hikmah dan fokus penglihatan. Tempat pandangan berada di pusat hati, sebagaimana hati berada pada pusat dada atau sanubari.

Dia tidak menyadari
bahwa tanpa perubahan
oleh Allah,
Akal dan tempat pandangan dalam hati
akan mati.

Penglihatan yang murni (ru’yat) terpisah dari tempat pandangan yang terjadi setelah terangkatnya tabir tabir yang menutup, perkembangan jiwa dan setelah seseorang menaiki jenjang perkembangan jiwa menuju pada kedekatan (dengan Allah). Menurut Al-Qur’an: “Hati tidak mendustakan apa yang dilihatnya.” (LIII: 11).
Rasulullah bersabda, “Aku mampu memandang Tuhanku.”
Kaum Sufi berkata, “Tempat pandangan dalam hati merenungkan Esensi, tidak terbagi.”

5. Tempat kasih sayang Allah
Tempat kasih sayang Allah (habbatu al qalb) merupakan sumber semua kebajikan yang penuh kasih sayang (mahabbah) dari tempat Ketuhanan (uluhiyah), yang merupakan bagian penting bagi mereka yang benar-benar terpilih, dan yang tidak dapat berisi kasih sayang apa pun dari makhluk.

6. Pusat Hati
Pusat hati (suwaida) merupakan sumber penyingkapan pandangan (mukasyafah) dari Kegaiban dan Pengetahuan Ketuhanan (‘ilm ladunni), dan juga merupakan sumber hikmah, tempat persemayaman Rahasia rahasia Ketuhanan, dan tempat pengetahuan Nama-Nama Allah, sebagaimana diperlihatkan dalam ayat Al-Qur’an, “Dan Dia mengajarkan kepada Adam Nama-nama.” (II: 30). Di dalamnya terlihat berbagai jenis, pengetahuan yang tidak dimiliki para malaikat.

7. Pusat Hati yang paling dalam
Pusat hati yang paling dalam (mahjatu al qalb) merupakan sumber cahaya sifat-sifat Ketuhanan (uluhiyah). Rahasia dari “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam” (XVIL : 70) adalah bahwa jenis, kemuliaan (karamah) tersebut tidak pernah dianugerahkan kepada makhluk yang lain mana pun.

Beberapa syeikh Sufi tertentu menganggap bahwa berbagai spiritual hati terdiri dari empat bagian, yaitu: dada (shadr), hati dalarn pengertian yang sebenarnya, tempat pandangan dan tempat penyaksian Allah (lubb). Mereka mengatakan bagian penyaksian Allah adalah sumber ketaatan terhadap Keesaan Allah (tauhid), sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an, “Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang memiliki kasih sayang dari Allah.” (XXXIX: 21). Mereka menambahkan bahwa tempat kasih sayang Allah terdapat di dalam tempat pandangan sebagaimana cahaya pandangan terletak di dalam mata.

Hati memiliki lima lapisan, yaitu dada atau sanubari sebagai tempat Islam dijanjikan; hati itu sendiri sebagai tempat cahaya keimanan; tempat pandangan sebagai tempat perhatian Allah; kesadaran yang dalam (sirr) sebagai tempat bersemayam ketulusan; dan tempat kasih sayang makhluk sebagai tempat maqam Cinta.

—(ooo)—

Ada Wirid Karena Adanya Warid

Apabila engkau melihat seorang hamba yang diposisikan oleh Allah dalam mengamalkan wirid, sementara begitu lama anugerah (seakan) tidak datang, maka jangan anda meremehkannya terhadap apa yang sedang dianugerahkan Allah padanya. Karena engkau tidak tahu tanda-tanda atau symbol kaum ma’rifat, apalagi keagungan para pecinta Ilahi. Sebab kalau tidak ada warid pasti tidak ada wirid.

Banyak orang salah faham dengan inayah, anugerah, pertolongan Allah. Mereka sering keliru memahami, bahwa yang disebut dengan anugerah itu manakala muncul pertolongan instant yang langsung, kelihatan mata, terdengar telinga, bisa diindera, apalagi jika disertai dengan keistimewaan-keistimewaan tertentu.

Karena itu kita tidak boleh menganggap remeh, orang – atau bahkan kita sendiri – yang melakukan terus menerus wirid, dalam waktu panjang, tidak muncul perubahan atau keistemewaan tertentu. Karena, Allah memberikan keistemewaan pada orang itu melalui lambang rahasiaNya, sebagaimana rahasia para ‘arifin dan pecinta Allah yang begitu tersembunyi.

Kita tidak tahu bagaimana tanda dan symbol para airifin dan para pecinta itu. Mereka tidak tidak bisa dilihat dari karakter dan symbol-simbol religius dan asktetik, seperti kharisma, karomah atau kehebatan-kehebatan di luar nalar manusia. Bahkan mereka lebih banyak tidak diduga, tidak memiliki keistemewaan, karena mereka adalah para sirrullah (hamba rahasia Allah).
Bagaimana anda bisa tahu kepasrahan total hatinya, keridloannya pada Allah, ketenangannya pada lintasan takdir. Apalagi, para pecinta, yang memiliki kasyikan dan kerinduan dahsyat kepadaNya, bagaimana hatinya berpaling dari makhluk.

Betapa tinggi budi para Sufi. Mereka melarang meremehkan orang lain, amaliyah orang lain yang kelihatan tidak istemewa. Justru kita harus tetap mengagungkan dan menghormati.

Sulthanul Auliya Syeikh Abul Hasan asy-Syadzily ra. mengatakan, “Manakala Cahaya orang beriman yang suka bermaksiat dibuka, pasti akan memenuhi bekasnya di langit dan di bumi. Lalu bagaimana menurut anda hebatnya Cahaya orang mukmin yang sangat taat?”

Kata beliau, “Hormatilah sesama kaum mukmin, walau pun mereka sering maksiat penuh dosa. Tegakkan aturan-aturan kepada mereka, dan hampiri mereka sebagai tanda kasih sayang, jangan sampai anda merasa muak dengan mereka. Dan juga jangan mengikuti jejak orang yang sangat hati-hati terhadap apa yang diraih oleh tangan orang beriman, sementara dia sangat tidak hati-hati terhadap apa yang diberikan oleh tangan kaum musyrikin. Sebab sudah diketahui, bagaimana batu jadi hitam (Hajar Aswad) karena tangan mereka.” Maksudnya jangan mengikuti jejak orang yang belum jelas kebenaran amaliyahnya, wira’inya dan ketajaman matahatinya.

Warid itu akan menimbulkan wirid, sedangkan warid adalah anugerah agung dari Allah. Tanpa adanya anugerah agung itu seseorang tidak akan pernah bisa wirid. Maka dari itu mulialah orang yang terus menerus secara konsisten melakukan wirid, tanpa menghiraukan apakah ada keistemewaan dibalik wirirdnya atau tidak.
Tanpa warid dari Allah seseorang pasti tidak akan ada bersimpuh di depan Pintu Allah melalui ubudiyah dan wiridnya.

—(ooo)—

Limpahan Warid yang Tiba-tiba

Syeikh Ibnu ‘Athaillah As-Sakandary

Langka sekali datangnya Warid-warid Ilahi kecuali dalam sekejab tiba-tiba, agar Warid itu terjaga dari klaim-klaim para hamba, berupa persiapan-persiapan ruhani yang datang dari hamba untuk Warid itu.

Datangnya Warid (yaitu limpahan Pengetahuan Ilahiyah pada jiwa) dengan segala kekuatan, makna dan kedahsyatannya, senantiasa datang dengan tiba-tiba, tanpa diketahui kapan oleh si hamba, tanpa disadarai oleh kesiapan ruhani hamba atau pun waktu tertentu dimana hamba mempersiapkan diri.

Hampir-hampir tak ada sedikit pun kesiapan hamba ketika Warid itu tiba, walau pun terkadang munculnya Warid itu, maqom atau pun substansinya bisa dilihat tanda-tandanya. Tetapi itu pun sangat langka.
Syeikh Abdul Qadir al-Jilany pernah ditanya mengenai sifat dan karakter Warid Ilahiyah ini, agar bisa dibedakan dengan lorong-lorong syetan yang masuk alam jiwa. Beliau menjawab, “Warid Ilahi itu tiba tanpa kesiapan lebih dahulu dari seorang hamba, dan tidak hilang karena suatu sebab dari hamba, juga tidak datang pada saat dan momen tertentu. Sedangkan lorong syetan itu pada umumnya datang berbeda karakternya (sebaliknya) dengan hal tersebut.”
Kenapa datangnya tiba-tiba dan begitu mengejutkan? Menurut Syeikh Zaruq, karena tiga alasan utama:

  1. Warid itu datang dari hamparan Yang Maha Hebat, dan sesuatu yang datang dari Yang Maha Hebat tidak layak kecuali dengan cara yang hebat pula.
  1. Agar anda tidak merasa menyiapkan diri, sehingga Rahasia Keistemewaannya sirna. Karena Warid datang dari ArahNya, bukan dari kesiapan anda.
  1. Demi mengagungkan anugerahNya dan mewujudkan rasa syukur hamba.

Seorang sufi berkata, “Bila nikmat-nikmat melimpah segalanya jadi kecil dan terhapus, tetapi jika nikmat-nikmat itu istemewa, nikmat begitu terasa agung dan tersyukuri.” Renungkan hikmah ini.
Di belakang nanti akan kita temui kalimat Ibnu Athaillah yang berhubungan dengan hal ini, “Allah menutupi Cahaya-cahaya rahasiaNya dengan sesuatu yang tampak kasar di kasat mata, demi untuk mengagungkan rahasiaNya, sehingga anda tidak terjebak untuk menampakkan rahasia itu atau mempopulerkannya.”
Sesuatu yang berisfat khususiyah berhubungan dengan Rahasia Ilahiyah, tidak harus diungkapkan kecuali untuk kepentingan khusus pula, dengan cara khusus juga.
Ibnu Athaillah melanjutkan:
“Siapa saja yang anda kenal selalu menjawab semua masalah yang ditanyakan, dan mengobral apa yang diketahui dari rahasiaNya, dan mengungkapkan apa yang disaksikan di alam musyahadahnya, ingatlah, semua itu hanya menunjukkan kebodohannya.”
Inilah fenomena spiritual, dimana banyak orang yang mendapatkan Warid, dengan berbagai tingkatannya, lalu diobral-obral kepada publik, tanpa disadari ia telah terjebak dalam lembah jurang kebodohan. Hal demikian karena tiga alasan:
Kenapa ia disebut sedemikian tolol?
Pertama, ia tidak melihat strata psikhologis orang yang berbeda-beda. Karena tidak setiap penanya, harus dijawab. Tidak setiap ilmu, harus disebut bagi konsumsi publik. Tidak setiap yang disaksikan oleh alam rahasia ruhani diungkapkan.

Ada seorang yang protes, ketika bertanya tidak dijawab. “Tahukah anda, siapa yang menyembunyikan ilmu yang bermanfaat, Allah akan membelenggunya di hari kiamat dengan belenggu dari neraka?” Maka orang yang diprotes itu menjawab, “Buang saja belenggu itu, dan pergilah kamu dari sini…! Kalau sudah datang orang yang berhak menerima ilmu itu dariku dan aku tetap menyembunyikannya, baru kamu bisa membelenggu saya!”
Sayyidina Ali Karromallahu Wajhah, mengatakan, “Ajarkan kepada manusia apa yang mereka ketahui (menurut kadarnya), apakah kalian suka jika mereka mendustakan Allah dan rasulNya (gara-gara kalian mengajarkan yang mereka tidak memahami)?”
Abu Hamid Al-Ghazali menegaskan, “Terkadang banyak orang merasa menderita dengan pengetahuan hakikat, sebagaimana kepik berbau busuk akan tersiksa oleh bau aroma kasturi dan mawar.”
Suatu hari Al-junaid al-Baghdady ditanya, “Kenapa anda menjawab dua orang yang bertanya, dan pertanyaannya sama, tetapi anda menjawab pada masing-masing dengan jawaban yang tidak sama (berbeda)?” Beliau menjawab, “Jawaban itu menurut kadar jiwa orang yang bertanya, bukan menurut kadar pertanyaannya.”

Sebagian ahli bijak mengatakan, “Bertambahnya pengetahuan pada orang yang busuk, itu sama dengan bertambahnya air pada labu yang pahit, semakin bertambah, semakin berasa pahitnya.”
Kedua, waktu dan tempat itu berbeda-beda, kadang suatu masalah bisa relevan di waktu tertentu tetapi tidak di waktu yang lain. Banyak pengetahuan disampaikan pada suatu tempat, tapi disembunyikan di tempat lain, dan banyak kesaksian yang disampaikan di zaman tertentu tetapi tidak di zaman kini, pada masyarakat tertentu tetapi tidak untuk publik.
Kebodohan terletak pada kapasitasnya membaca situasi dan kondisi. Ats-Tsauiry mengatakan, “Jangan kau sampaikan pengetahuan kecuali pada ahlinya”.

Menurut pandangan Al-Junaid, “Ilmu pengetahuan harus dijauhkan dari orang yang tidak semestinya menerimanya.” Hal demikian ketika beliau ditanya, “Betapa seringnya anda mengajak di hadapan publik menuju Allah?” Beliau menjawab, “Tetapi aku mengajak publik di hadapan Allah (bukan dihadapan publik)”.

—(ooo)—

Tinggalkan komentar